Sepanjang belum bisa mengusulkan calon secara mandiri, Partai Solidaritas Indonesia dinilai akan kesulitan meyakinkan partai lain di koalisi. Sebab, setiap partai punya pertimbangan tersendiri.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Solidaritas Indonesia menjaring calon kepala daerah melalui konvensi. Tujuannya adalah memberikan kesempatan secara terbuka bagi individu berkualitas untuk menjadi calon kepala daerah dan menghindari politik biaya mahal.
Selama belum bisa mengusung calon secara mandiri, sebagaimana amanat undang-undang (UU), Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dinilai akan kesulitan meyakinkan partai lain di koalisi. Sebab, setiap partai punya pertimbangan tersendiri dalam penentuan calon kepala daerah.
Ketua Umum PSI Grace Natalie, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (20/1/2020), menjelaskan, rata-rata calon kepala daerah harus mengeluarkan uang sangat besar untuk mendapat dukungan partai. Berdasarkan pengalamannya sewaktu menjadi konsultan politik, ada calon kepala daerah yang mengaku dimintai uang miliaran rupiah untuk memperoleh dukungan partai.
”Karena besarnya biaya itu, individu-individu berkualitas enggan berkompetisi di pemilihan kepala daerah (pilkada). Atas dasar itulah PSI membuka konvensi di daerah-daerah di mana PSI memiliki fraksi sendiri (Tangerang Selatan, DKI Jakarta, Surabaya, dan Ende),” ujarnya.
Ada calon kepala daerah yang mengaku dimintai uang miliaran rupiah untuk memperoleh dukungan partai.
Tangerang Selatan (Tangsel) dan Surabaya masuk ke dalam daftar 270 daerah yang akan menggelar Pilkada 2020. Menurut Grace, konvensi untuk Tangsel sudah dimulai sejak Sabtu (18/1/2020). Pendaftaran peserta hingga saat ini masih dibuka.
Sedikitnya ada 18 orang di Tangsel yang mengikuti seleksi terbuka dan telah lolos seleksi administrasi. Mereka adalah anak Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nurazizah, mantan Koordinator Indonesia Corruption Watch Ade Irawan, dan Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Tangsel Muhamad.
Mereka diwawancarai oleh tim juri. Orang yang dipilih menjadi juri antara lain ekonom Faisal Basri, mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibid Samad Rianto, ahli psikologi politik Hamdi Muluk, dan Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte.
Selain itu, ada juga mantan panitia seleksi KPK Natalia Subagyo, mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, dan pesohor Ernest Prakasa.
Setelah melalui tahap wawancara, peserta konvensi akan diuji melalui debat publik. ”PSI kemudian melakukan survei terkait potensi keterpilihan setiap peserta, lalu menetapkan hasil konvensi,” ujar Grace.
Grace menjelaskan, di Tangerang Selatan dan Surabaya, partainya tidak bisa mengusung calon kepala daerah sendiri sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. UU itu mengharuskan partai politik atau gabungan partai politik memiliki sedikitnya 20 persen jumlah kursi di DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu legislatif di wilayah tersebut.
Untuk itu, PSI akan berkoalisi dengan partai lain. PSI akan intens berkomunikasi dengan partai-partai yang juga tidak bisa mengusung calon sendiri. Patokan kesamaan visi dan ideologi partai juga tetap menjadi pertimbangan dalam membangun koalisi.
”Kami akan meyakinkan mereka bahwa partai juga berfungsi sebagai intermediasi bagi calon berkualitas. Sebab, kalau sudah ada barrier berupa politik uang, saringannya bukan lagi kualitas calon,” katanya.
Kami akan meyakinkan mereka bahwa partai juga berfungsi sebagai intermediasi bagi calon berkualitas. Kalau sudah ada barrier berupa politik uang, saringannya bukan lagi kualitas calon.
Sementara itu, peneliti CSIS, Arya Fernandes, menyatakan, strategi PSI bukanlah barang baru dalam dinamika politik di Indonesia. Golkar dan Demokrat pernah melakukan hal serupa dalam konteks pemilihan presiden.
Meskipun begitu, ia mengapresiasi upaya PSI yang menyeleksi calon kepala daerah secara terbuka. Akan tetapi, PSI akan menghadapi tantangan dalam koalisi lantaran tak bisa mengajukan calon sendiri.
”Meskipun ada konvensi, dalam koalisi nanti posisinya menjadi agak rumit karena kalkulasi di setiap partai terkait pemilihan calon berbeda-beda. Apakah kandidat itu populer atau membawa dampak terhadap partai itu pada pemilu selanjutnya atau tidak, dan lain-lain,” katanya.
Ditambah lagi, lanjut Arya, proses pemberian dukungan oleh partai kerap kali dicederai oleh politik uang. Hal itu berpotensi untuk menghambat calon yang diseleksi secara terbuka.