Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan, dirinya tidak ingin Rusia kembali ke era Uni Soviet di mana pemimpin berkuasa seumur hidup tanpa ada mekanisme transisi kekuasaan yang baik.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
MOSKWA, MINGGU -- Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan, dirinya tidak ingin Rusia kembali ke era Uni Soviet di mana pemimpin berkuasa seumur hidup tanpa ada mekanisme transisi kekuasaan yang baik.
Putin, yang telah berkuasa di Rusia selama dua dekade itu, juga berpendapat bahwa rencana transisi kekuasaan bagi Rusia sangat krusial. Pernyataan itu disampaikan Putin kepada veteran Perang Dunia II di St Petersburg, Sabtu (18/1/2020). Pernyataan itu disampaikan beberapa hari setelah proposal perubahan besar-besaran dalam sistem politik di Rusia menyebabkan Perdana Menteri Dmitry Medvedev bersama jajaran pemerintahannya mengundurkan diri.
Para veteran menyampaikan pertanyaan kepada Putin, apakah ia dapat mempertimbangkan untuk menghilangkan klausul batas maksimal masa kepresidenan dalam konstitusi. ”Akan sangat mengkhawatirkan jika kita kembali pada situasi pertengahan tahun 1980-an di mana kepala negara berkuasa, satu per satu, hingga akhir hidup mereka dan meninggalkan posisi presiden tanpa menyiapkan kondisi yang diperlukan bagi transisi kekuasaan,” kata Putin. ”Jadi terima kasih, tetapi saya pikir akan lebih baik tidak kembali ke masa itu.”
Akhir era Soviet dikenal sebagai kepala negara berusia tua, seperti Leonid Brezhnev, Yuri Andropov, dan Konstantin Chernenko, yang semuanya berkuasa sampai meninggal sehingga memicu perebutan kekuasaan. Putin menyatakan, dirinya memahami kekhawatiran sejumlah kalangan akan kesinambungan kekuasaan.
”Bagi banyak orang, hal ini terkait dengan kekhawatiran stabilitas di masyarakat, stabilitas negara—stabilitas internal dan eksternal—saya sepenuhnya memahami ini,” ujarnya. Namun, Putin mengatakan, dirinya ingin membatasi masa kerja presiden hingga maksimal dua periode. Ia menolak gagasan presiden Rusia seumur hidup.
Sebelumnya, alih-alih menyatakan rencana memperpanjang kekuasaannya seperti tahun 2011, Putin mengajukan proposal amendemen konstitusi yang akan memberikan kekuasaan lebih kepada parlemen Rusia. Dalam amendemen dinyatakan bahwa parlemen bisa memilih perdana menteri dan anggota kabinet, termasuk membatasi kekuasaan presiden. Menurut Putin, amendemen ini merupakan langkah untuk memperkuat demokrasi di Rusia.
Konstitusi juga dapat memberikan peran yang lebih besar kepada Dewan Negara, badan konsultatif yang akan beranggota gubernur regional dan pejabat federal. Semua itu, ujar Putin saat berdiskusi dengan anggota parlemen, Kamis (16/1), bisa ”memperkuat peran masyarakat sipil dan partai politik dalam membuat keputusan penting pembangunan negara kita”.
Usulan amendemen oleh Putin itu kemudian memicu mundurnya PM Dmitry Medvedev beserta jajaran kabinetnya. Secara mengejutkan, Putin kemudian memilih seorang pejabat yang kurang dikenal, Mikhail Mishustin, sebagai perdana menteri baru. Mishustin sebelumnya adalah kepala layanan pajak.
Rusia kini menunggu, siapa saja menteri yang dipertahankan dalam jajaran pemerintahan yang baru. Mishustin dikenal para pejabat pemerintah sebagai ”manajer yang efektif” dan memiliki keahlian di bidang keuangan yang bisa membawa Rusia bangkit dari keterpurukan ekonomi.
Banyak kalangan menilai usulan amendemen konstitusi tidak lain adalah strategi Putin memperluas cengkeraman politiknya ketika masa jabatannya sebagai presiden berakhir pada tahun 2024. Reformasi konstitusi memungkinkan Putin menjadi perdana menteri atau pemimpin Dewan Negara.
Namun, banyak warga Rusia justru melihat usulan amendemen konstitusi sebagai perubahan yang positif dibandingkan dengan sebuah langkah politik Putin untuk tetap berkuasa. Namun, bagi pemimpin oposisi, seperti Alexei Navalny, Putin tetap mencari cara agar ”tetap menjadi pemimpin seumur hidup, tertinggi”.(AFP/AP/REUTERS/ADH)