Romy Hadapi Vonis Hakim Tipikor
Setelah hampir satu tahun perkaranya berjalan, bekas Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy menghadapi vonis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin ini. Selain dicabut hak politiknya, juga penjara.
JAKARTA, KOMPAS - Setelah hampir satu tahun perkaranya berjalan, bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy akan menghadapi vonis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (20/1/2020) ini. Dugaan suap dan perdagangan pengaruh dalam penentuan jabatan tinggi di lingkungan Kementerian Agama melatarbelakangi kasus dugaan korupsi itu.
Sebelumnya, dalam tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/1/2020) lalu, hak politik Romy terancam dicabut selama lima tahun. Ancaman pencabutan hak politik tersebut terjadi jika tuntutan jaksa penuntut umum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap terdakwa suap terkait proses seleksi pengisian jabatan di Kementerian Agama terbukti.
Pencabutan hak politik biasanya dilakukan setelah terdakwa menjalani pidana pokok yang dijatuhkan majelis hakim pada putusan pengadilan. Pencabutan hak politik dipertimbangkan majelis hakim untuk melindungi masyarakat dan negara agar negara tak dikelola oleh orang-orang yang terbukti menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya.
Selain pencabutan hak politik, Romy juga dituntut pidana penjara empat tahun dengan denda Rp 250 juta subsider lima bulan kurungan serta kewajiban membayar uang pengganti Rp 46,4 juta. Uang pengganti harus dibayarkan dalam jangka waktu satu bulan, atau disita harta bendanya, atau diganti penjara selama satu tahun. (Kompas, 7 Januri 2020)
"Kasusnya berawal dari operasi tangkap tangan pada pertengahan Maret 2019, Romahurmuziy yang akrab disapa Romy ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi"
Perkaranya, berawal dari operasi tangkap tangan pada pertengahan Maret 2019, Romahurmuziy yang akrab disapa Romy ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain Romy, bekas Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gresik Muafaq Wirahadi dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin juga ikut diambil dan menjadi tersangka.
Baca Juga: Jual Beli Jabatan Merajalela
Muafaq dan Haris terlebih dahulu diajukan ke pengadilan. Pada 7 Agustus 2019, keduanya menerima vonis hakim. Muafaq dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan karena dinilai terbukti memberikan suap sebesar Rp 91,4 juta kepada Romy. Pengajuan Muafaq sebagai justice collaborator juga dikabulkan.
Sementara itu, Haris divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menyuap Romy sebesar Rp 255 juta untuk memuluskan langkahnya yang pernah tersandung sanksi disiplin sebagai Ketua Kanwil Kemenag Jawa Timur. Berbeda dengan Muafaq, Haris tak memperoleh status justice collaborator.
Sebulan kemudian, berkas milik Romy baru diajukan ke meja hijau. Pada 11 September 2019, Romy menghadapi sidang perdana dengan agenda dakwaan. Bekas anggota DPR ini pun dijerat dengan dua dakwaan yang disusun secara kumulatif.
Dakwaan pertama, Romy dijerat dengan Pasal 12 huruf b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ke-1 KUHP atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ke-1 KUHP. Dalam dakwaan pertama ini, ia disebut melakukan kejahatan bersama-sama bekas Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin atas penerimaan uang sebesar Rp 325 juta dari Haris.
Dakwaan kedua, pasal yang digunakan Pasal 12 huruf b UU Tipikor juncto Pasal 64 ke-1 KUHP atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 64 ke-1 KUHP atas penerimaan uang sebesar Rp 91,4 juta dari Muafaq melalui sepupunya Abdul Wahab dan asistennya. Romy sempat mengajukan eksepsi terhadap dakwaan ini tapi ditolak hakim sehingga sidang tetap berlanjut pada agenda pembuktian.
"Romy sempat mengajukan eksepsi terhadap dakwaan ini tapi ditolak hakim sehingga sidang tetap berlanjut pada agenda pembuktian"
Dari Lukman ke Khofifah
Puluhan saksi dihadirkan dalam sidang ini, baik Haris dan Muafaq. Hingga Lukman Hakim, sepupunya Abdul Wahab, jajaran Panitia Seleksi Jabatan Tinggi di Kementerian Agama, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga memberikan kesaksian dalam sidang untuk Romy ini.
Beragam kesaksian muncul hingga mengerucut pada dugaan perdagangan pengaruh dan uang ucapan terima kasih karena merasa telah dibantu memperoleh jabatan di Kemenag. Dalam tuntutan yang dibacakan jaksa pada 6 Januari 2020, hal ini diungkap sehingga Romy dinilai melanggar Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ke-1 KUHP untuk kasus Haris dan Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 64 ke-1 KUHP untuk kasus Muafaq.
Romy sebelumnya dituntut pidana penjara selama 4 tahun dengan denda Rp 250 juta subsidair 5 bulan kurungan serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 46,4 juta yang harus dibayarkan dalam jangka waktu 1 bulan atau disita harta bendanya atau diganti penjara selama 1 tahun. Hak politiknya juga terancam dicabut selama lima tahun setelah dirinya menjalani pidana pokok yang dijatuhkan nanti.
Baca Juga: Menteri Agama Mengaku Telah Kembalikan Uang Rp 10 Juta
Dalam analisis yuridis yang disusun jaksa, berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, Romy adalah seorang Anggota DPR sekaligus sebagai Ketua Umum partai politik yang bisa mempengaruhi kader partainya yang menduduki jabatan menteri. Karena pengaruhnya tersebut, ia mengintervensi proses pengangkatan pejabat untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri maupun kelompoknya.
“Dengan kata lain, terdakwa menggunakan pengaruh politiknya dan mempergunakan wewenangnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi"
“Dengan kata lain, terdakwa menggunakan pengaruh politiknya dan mempergunakan wewenangnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Untuk menghindari negara ini dikelola oleh orang yang menggunakan jabatan atau kedudukannya untuk kepentingan pribadi, serta melindungi publik dari fakta, informasi, persepsi yang salah tentang calon pemimpin yang akan dipilihnya maka perlu kiranya mencabut hak Terdakwa untuk dipilih atau menduduki dalam jabatan publik,” ujar jaksa Ariawan Agustiarto.
"Memperdagankan" pengaruh
Dalam perkara ini, Romy "memperdagangkan" pengaruhnya karena Menteri Agama saat itu yakni Lukman Hakim Saifuddin merupakan kader PPP. Posisi yang bersangkutan sebagai Ketua Umum pun dimanfaatkan untuk mempengaruhi atau ikut campur dalam penentuan jabatan di lingkungan Kementerian Agama yang berujung dirinya memperoleh keuntungan.
Lukman pun berupaya mematahkan sejumlah aturan dari Panitia Seleksi dan rekomendasi dari Komisi ASN agar Haris yang tak memenuhi syarat tetap dapat memperoleh jabatan sebagai Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur sesuai titipan Romy. Romy pun terbukti memperoleh uang sebesar Rp 346,4 juta dari intervensi yang dilakukan untuk meloloskan Haris dan Muafaq. Lukman juga disebut memperoleh bagian Rp 70 juta.
“Dari doktrin dan yurisprudensi yang ada, terdapat kerjasama yang dilakukan antara Terdakwa bersama Lukman Hakim Syaifuddin. Kerjasama tersebut diwujudkan dengan adanya perbuatan berbagi peran yang dilakukan oleh Terdakwa dengan Lukman sehingga terwujudnya suatu delik,” ujar Jaksa Wawan Yunarwanto.
“Dari doktrin dan yurisprudensi yang ada, terdapat kerjasama yang dilakukan antara Terdakwa bersama Lukman Hakim Syaifuddin. Kerjasama tersebut diwujudkan dengan adanya perbuatan berbagi peran yang dilakukan oleh Terdakwa dengan Lukman sehingga terwujudnya suatu delik”
Atas tuntutan ini, Romy mengajukan nota pembelaan pada pekan lalu. Menurut Romy, tuntutan yang disampaikan jaksa tak sesuai fakta. Romy tetap bersikeras tak mengetahui adanya pemberian sejumlah uang tersebut. Bahkan ia mengaku tidak pernah meminta kepada Haris dan Muafaq, juga memerintahkan Lukman agar meloloskan keduanya.
Kendati demikian, pemberian Rp 250 juta yang diserahkan ke rumahnya diakuinya tapi diklaim telah dikembalikan kepada Haris melalui Sekretaris DPW PPP Jawa Timur Norman Zein Nahdi. Terkait dengan persoalan intervensi yang dituduhkan sesuai dengan jabatannya, Romy merasa tidak terima karena runtutan perkara dinilainya berhubungan dengan posisi Ketua Umum yang bukan penyelenggara negara.
Di sisi lain, posisinya di Komisi XI DPR tidak bermitra kerja dengan Kementerian Agama. “Kalau memang sebagai anggota komisi XI DPR dengan "besarnya kekuasaan", saya bisa mengintervensi Kemenag RI, penuntut umum mestinya menunjukkan bagaimana cara mengintervensinya dan bagaimana mekanismenya di DPR?” ungkap Romy saat membacakan pleidoinya.
Jika merujuk pada kasus sebelumnya, perkara bekas Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq mirip dengan kondisi perkara ini. Dengan kekuatannya sebagai petinggi partai dan anggota DPR saat itu, membuatnya tetap bisa mempengaruhi keputusan tertentu dari Kementerian Pertanian yang dijabat kader PKS berkaitan dengan kuota impor daging sapi. Luthfi sendiri saat itu duduk di Komisi I yang tidak bermitra kerja dengan Kementan.
Namun kini, semuanya kembali pada majelis hakim yang dipimpin Fazal Hendri. Terbukti atau tidak-kah tuntutan dari jaksa atau malah sebaliknya?