Sekolah masih belum menjadi tempat yang ramah bagi anak. Guru sebagai tulang punggung pendidikan di sekolah bisa menjadi pelopor terwujudnya sekolah ramah anak.
Oleh
Aguido Adri
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekolah perlu segera menerapkan sekolah ramah anak untuk melindungi anak-anak didik dari kekerasaan hingga permasalahan yang memengaruhi psikis anak. Guru dituntut tidak hanya sebagai pendidik, tetapi juga bisa menempatkan diri sebagai teman yang dapat membantu penyelesaian masalah.
Sekolah ramah anak merupakan ekosistem sekolah yang aman, bersih, sehat, berbudaya, serta mampu memberikan jaminan, pemenuhan, penghargaan, dan partisipasi anak di lingkungan sekolah. Melalui sekolah ramah anak, sekolah tidak hanya menjadi ruang belajar yang kaku dan guru yang hanya berperan sebagai pendidik.
”Kita tidak bisa melihat sekolah hanya sebagai institusi. Sekolah merupakan rumah bagi anak-anak. Begitu pula guru, peran mereka sebagai pendidik saja tidak cukup jika melihat perkembangan pendidikan dan anak-anak saat ini. Memosisikan sebagai teman bisa membuat anak terbuka dengan permasalahannya,” kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto, Selasa (21/1/2020).
Kesan sekolah yang kaku, kata Susanto, perlu dihilangkan sehingga anak-anak merasakan suasana nyaman dan terlindungi. ”Jika ada masalah, anak-anak datang ke gurunya karena ruang komunikasi sudah terbangun dengan baik. Jika hubungan guru dan anak didik kaku, mereka segan cerita sehingga peserta didik memendam permasalahnnya sendiri.
Hal senada diutarakan Sekretaris Komisi E (Bidang Pendidikan) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Johny Simanjuntak. Ia prihatin dengan kasus yang menimpa SN. Menurut Johny, Jakarta terlambat mewujudkan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan. Dari catatannya, sejauh ini baru ada 315 sekolah ramah anak di Jakarta dari sekitar 5.000 sekolah yang ada. Sekolah yang dimaksud dalam kategori SD, SMP, dan SMA.
”Dengan kekuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sekitar Rp 80 triliun, tidak sulit bagi Pemprov DKI Jakarta mewujudkan sekolah ramah anak. Selama ada kemauan serius dengan melibatkan banyak pihak, program itu bisa terwujud,” kata Johny.
Kasus bunuh diri yang dilakukan SN menjadi pelajaran penting semua pihak. Kasus itu menjadi bukti bahwa sekolah belum menjadi ”rumah kedua” siswa setelah tempat tinggalnya sendiri. Sekolah, katanya, harus bisa menjadi ruang yang sehat, menyenangkan, dan tempat siswa menuangkan ekspresinya. Sayang sekali, kondisi itu belum terwujud di sekolah tempat SN belajar.