Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi pijakan majelis hakim untuk tidak mengabulkan tuntutan jaksa agar hak politik bekas Ketua Umum PPP Romahurmuziy dicabut. Namun, Romy tetap divonis penjara 2 tahun.
Oleh
Riana A Ibrahim
·3 menit baca
Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi pijakan majelis hakim untuk tidak mengabulkan tuntutan jaksa agar hak politik bekas Ketua Umum PPP Romahurmuziy dicabut.
JAKARTA, KOMPAS - Hak politik bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy tak dicabut majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Putusan Mahkamah Konstitusi pada 11 Desember 2019 menjadi landasan pengambilan keputusan para majelis hakim kali ini.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) meminta majelis hakim mencabut hak politik Romy selama 5 tahun pasca- pidana pokoknya terpenuhi. Namun, adanya Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang memberikan jeda 5 tahun pada bekas terpidana korupsi untuk kembali mencalonkan diri membuat hakim tak mengabulkan tuntutan jaksa itu.
”Menimbang, berdasarkan putusan MK, majelis hakim berkesimpulan, pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik diputus oleh putusan MK yang berbunyi telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah menjalani pidana berkekuatan hukum tetap. Majelis hakim sependapat dengan putusan MK sehingga tak perlu menjatuhkan pencabutan hak untuk dipilih jabatan publik dalam perkara ini,” tutur Ketua Majelis Hakim Fazal Hendri saat putusan Romy di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (20/1/2020).
"Majelis hakim sependapat dengan putusan MK sehingga tak perlu menjatuhkan pencabutan hak untuk dipilih jabatan publik dalam perkara ini”
Pidana tambahan lain berupa uang pengganti Rp 46,4 juta juga tak dijatuhkan pada Romy karena majelis hakim berpandangan uang itu tak sampai ke bekas anggota DPR itu. Padahal, sebelumnya, uang Rp 5 juta dari bekas Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin, yang tak terbukti sepanjang persidangan, dan uang Rp 41,4 juta yang diterima sepupu Romy, Abdul Wahab, justru digunakan untuk pencalonan dirinya. ”Maka, tak adil jika dibebani uang pengganti,” kata anggota majelis hakim, M Idris M Amin, menambahkan.
Meski demikian, Romy tetap terbukti bersalah melanggar Pasal 11 UU Tipikor junctoPasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP untuk kasus Haris dan Pasal 11 UU Tipikor untuk kasus Muafaq. Ia pun divonis pidana penjara 2 tahun dengan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan. Putusan ini lebih rendah dibanding tuntutannya, yakni pidana penjara 4 tahun dengan denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan.
Majelis hakim sependapat dengan JPU, Romy memakai pengaruhnya mengintervensi seleksi jabatan tinggi di Kemenag karena jabatannya sebagai Ketua Umum PPP, dan Menag Lukman Hakim Saifuddin merupakan kadernya. Jabatannya sebagai anggota DPR juga membawa pengaruh kepada orang yang ingin meminta bantuannya memuluskan tujuan.
Kasus Romy berawal dari operasi tangkap tangan pada pertengahan Maret 2019. Ia lalu ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain Romy, bekas Kepala Kantor Kemenag Gresik Muafaq Wirahadi, dan Haris, juga ikut menjadi tersangka.
Muafaq dan Haris lebih dulu diajukan ke pengadilan. Pada 7 Agustus 2019, keduanya divonis. Muafaq 1 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti memberikan suap Rp 91,4 juta kepada Romy. Pengajuan Muafaq sebagai justice collaborator juga dikabulkan.
”Majelis hakim berkesimpulan, Lukman Hakim Saifuddin mengetahui dan menghendaki perbuatan dan masing-masing dari mereka menyadari perbuatan yang dilakukannya, tetapi mereka tetap membagi peran antara satu dan lainnya”
Adapun Haris divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan karena menyuap Romy Rp 255 juta untuk memuluskan langkahnya yang pernah tersandung sanksi disiplin sebagai Ketua Kanwil Kemenag Jatim. Berbeda dengan Muafaq, Haris tak memperoleh status justice collaborator.
Keterlibatan Lukman
Majelis hakim juga menyebut mantan Menag Lukman turut serta dalam hal ini. Sebab, Lukman bersedia menjalankan arahan Romy dengan tetap mengangkat Haris meski telah memperoleh rekomendasi Komite Aparatur Sipil Negara agar tak meloloskan Haris yang tak memenuhi syarat karena terkena sanksi disiplin.
Lukman pun disebut menerima uang Rp 70 juta selama dua tahap lewat ajudannya. ”Majelis hakim berkesimpulan, Lukman Hakim Saifuddin mengetahui dan menghendaki perbuatan dan masing-masing dari mereka menyadari perbuatan yang dilakukannya, tetapi mereka tetap membagi peran antara satu dan lainnya,” ujar Idris.
Romy juga pikir-pikir setelah berkonsultasi dengan penasihat hukumnya. Jaksa juga meminta waktu untuk pikir-pikir.