Setelah banjir besar melanda Jakarta, harapan bergantung pada upaya rekayasa hujan agar banjir tak berulang. Apalagi hujan lebat masih turun hari-hari ke depan.
Oleh
·2 menit baca
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah bertemu dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk mengurangi curah hujan yang turun di kawasan Jabodetabek lewat teknik modifikasi cuaca.
Hujan lebat disertai petir masih akan berlangsung di sejumlah kawasan hingga Kamis (23/1/2020). Menurut BMKG, hujan masih akan melanda Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi, Lampung, Jabodetabek, semua provinsi di Jawa, hingga Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Papua. Di DKI Jakarta, secara spesifik, disebutkan Jakarta Selatan dan Jakarta Timur perlu waspada.
Rekayasa hujan melalui teknologi modifikasi cuaca (TMC) sebenarnya bukan teknologi baru. Adalah Vincent Joseph Schaefer, ahli kimia dan meteorologi Amerika Serikat, yang pada tahun 1946 mencoba menyemai awan dengan menabur es kering dari pesawat, dan berhasil membentuk salju.
TMC kemudian berkembang pesat dan dipakai pada lebih dari 60 negara untuk pelbagai tujuan. AS, misalnya, menggunakan teknologi ini untuk menghambat hujan saat menerjunkan tentara dalam perang Vietnam. Thailand memanfaatkan TMC untuk mengelola produksi pertanian.
Teknologi ini masuk ke Indonesia tahun 1977 dan terus dikembangkan oleh para peneliti di Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca BPPT. TMC bisa membantu menambah, mengurangi, dan memindahkan curah hujan untuk pelbagai tujuan: mencegah curah hujan tinggi yang berpotensi banjir, mencegah kekeringan, hingga mengatasi pencemaran asap.
Namun, perlu diingat, TMC hanyalah salah satu cara mengatasi banjir. Selain biayanya mahal, pada 2013, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengucurkan Rp 13 miliar untuk mengurangi 30 persen hujan di DKI Jakarta, keberhasilan TMC ditentukan oleh banyak faktor. Dari kondisi bibit awan hingga arah dan kekuatan angin.
Oleh karena itu, pemerintah daerah di kawasan rawan banjir perlu mengupayakan penanggulangan banjir terpadu. Kawasan DKI Jakarta, misalnya, menurut Badan Informasi Geospasial, hampir 80 persen wilayahnya tertutup lantai beton dan aspal. Akibatnya, air sulit meresap, aliran permukaan (runoff) tinggi, dan terjadilah banjir. Metode naturalisasi dengan sumur resapan dan biopori baik, tetapi itu bukan solusi utama karena fungsinya lebih untuk menjaga ketersediaan air tanah. Perlu waduk, embung, dan situ untuk menampung saat turun hujan lebat dan lama.
Metode naturalisasi perlu dilengkapi dengan metode normalisasi untuk memperbesar daya tampung dan mempercepat air mengalir: mengeruk waduk dan sungai, membuat sistem drainase lengkap dengan polder dan pompa, dan kalau perlu membuat jaringan dam bawah tanah.
Kesimpulannya, jangan hanya rekayasa hujan. Mengatasi banjir perlu metode penanggulangan menyeluruh.