Kejaksaan Agung Diminta Tangani Kasus Jiwasraya secara Independen
Kejaksaan Agung diminta menjaga independensi dalam menangani dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Ini karena pengacara tersangka Benny Tjokro merupakan mantan wakil jaksa agung.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung diminta menjaga independensi dalam menangani dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Hal ini untuk menyikapi keberadaan pengacara tersangka Benny Tjokro yang pernah menjadi wakil jaksa agung, yakni Muchtar Arifin. Komisi Kejaksaan menyatakan tidak perlu khawatir akan independensi jaksa karena pihaknya juga turut mengawasi penanganan perkara itu.
Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah menetapkan dan menahan lima tersangka dugaan korupsi Jiwasraya. Mereka adalah mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan dan Investasi Jiwasraya Harry Prasetyo, mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan, Direktur Utama PT Hanson Internasional Tbk Benny Tjokro, serta Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat.
Benny Tjokro menunjuk Muchtar Arifin sebagai kuasa hukumnya. Muchtar pernah menjabat sebagai wakil jaksa agung dan sudah pensiun pada pertengahan 2009.
Terkait hal ini, pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, yang dihubungi pada Selasa (21/1/2020), di Jakarta, menjelaskan, secara psikologis kemungkinan ada pengaruh karena Muchtar merupakan senior di kejaksaan. Oleh sebab itu, ia meminta Kejagung fokus untuk membuktikan dugaan.
Ia melanjutkan, Kejagung bisa memanggil ahli hukum yang mampu menjelaskan potensi pidana dari aksi korporasi. Hal ini untuk memperkuat penyidikan yang sedang berlangsung.
”Jadi, kalau memang memenuhi unsur pidana, jaksa harus maju terus, tidak boleh ada keengganan,” katanya.
Dalam Rapat Kerja Komisi III DPR bersama Kejagung, kemarin, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P, Ichsan Soelistio, membahas keberadaan Muchtar sebagai pengacara Benny. Ia mengingatkan agar Kejagung tidak mengalami konflik kepentingan.
”Mohon independen karena ada komitmen dari Kejagung untuk tegak lurus terhadap hukum. Jangan sampai terjadi konflik kepentingan,” ujarnya.
Jaksa Agung ST Burhanuddin memastikan independen dalam penanganan perkara. Hal itu dibuktikan dengan penetapan dan penahanan Benny.
”Kalau kedatangan beliau (Muchtar) bukan untuk membawa perkara, bagaimanapun diterima karena dia senior saya. Tetapi, kalau terkait kasus ini dan membawa kasusnya, mohon maaf, akan kami tolak,” ucap Burhanuddin.
Ia menjamin, tidak ada perlakuan khusus dalam dugaan korupsi Jiwasraya ini. Kejagung tidak akan pandang bulu dalam mengungkap perkara.
”Kan, orang banyak mempermasalahkan terkait BT (Benny Tjokro). Saya tidak kenal dia. Meskipun kenal, dengan segala risiko saya akan ungkap kasus ini,” ujarnya.
Tak perlu khawatir
Menyikapi dinamika diskusi di DPR, Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak menjelaskan, Komjak turut mengawasi proses penanganan perkara itu. Komjak bisa menginterupsi jika penanganan perkara tidak sesuai prosedur.
Ia menyebutkan, publik tidak perlu meragukan integritas jaksa karena prosedur penanganan perkara sangat ketat. Tidak mungkin ada faktor-faktor di luar teknis hukum yang bisa mengintervensi penanganan perkara.
Kalau Jaksa Agung ada indikasi main-main, sejak awal tidak akan naik-naik kasus ini.
Di sisi lain, lanjutnya, keseriusan Gedung Bundar (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus) dalam menangani dugaan korupsi Jiwasraya terlihat dari atensi yang diberikan Jaksa Agung. Menurut dia, kasus Jiwasraya masuk kategori sulit karena berkaitan dengan investasi dan hal-hal teknis di bidang ekonomi.
”Kalau ada indikasi main-main, sejak awal tidak akan naik-naik kasus ini,” katanya.
Ia menjelaskan, tidak ada aturan yang ditabrak ketika jaksa atau mantan wakil jaksa agung menjadi pengacara. ”Tidak boleh dong karena beliau (Muchtar) mantan wakil jaksa agung lalu berprasangka negatif. Hukum, ya, hukum,” ucapnya.
Ia justru mendorong DPR untuk membantu penyidikan Kejagung dengan memanggil pihak-pihak yang secara kewenangan terkait dengan kasus ini. Misalnya saja dengan memanggil Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian BUMN.
”Hasil keterangan rapat dengar pendapat bersama para pihak berwenang di DPR itu nantinya bisa menjadi bahan bagi penegak hukum untuk mengembangkan kasus ini,” ujarnya.