Komitmen Politik Dibutuhkan untuk Terapkan Literasi Digital dalam Kurikulum
Pendidikan literasi digital dan berpikir kritis di Indonesia perlu dilakukan secara sistemik untuk mencegah dampak negatif kemunculan hoaks yang berpotensi menciderasi demokrasi
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pendidikan literasi digital yang sistemik merupakan prakondisi utama menuju ketahanan demokrasi dan terwujudnya masyarakat yang tidak mudah termakan hoaks politik. Dukungan politik dari pemangku kebijakan dibutuhkan untuk mengimplementasikan literasi digital dan kemampuan berpikir kritis dalam kegiatan belajar-mengajar sehari-hari.
Pendidikan literasi digital dan berpikir kritis sejak dini menjadi penting mengingat jumlah pemilih generasi muda akan mendominasi. Pada Pemilu 2019 lalu saja, mengacu pada data Badan Pusat Statistik, pemilih milenial sudah mencapai 37,7 persen serta pemilih pemula mencapai 12,7 persen dari total pemilih. Pada Pemilu 2024, tren dominasi pemilih muda diprediksi akan semakin meningkat.
Di tengah kebutuhan mendidik generasi baru pemilih itu, di Indonesia, penerapan literasi digital dalam kurikulum pendidikan belum dilihat sebagai prioritas. Penelitian oleh Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) yang melibatkan 56 peneliti dari 26 universitas di Indonesia pada 2017 menunjukkan, aktivitas literasi digital didominasi forum jangka pendek seperti sosialisasi atau ceramah, pelatihan atau workshop, serta seminar atau diskusi.
Sementara itu, kurikulum menempati urutan paling rendah ragam kegiatan literasi digital karena dianggap terlalu rumit, butuh persiapan panjang, dan harus melibatkan dukungan politik dari pemangku kebijakan.
Dampak negatif kemunculan hoaks di bidang politik dan momentum bonus demografi menjadi alarm serius untuk mulai mendidik generasi baru pemilih sejak dini. Penggerak Kelas Muda Digital Afra Suci Ramadhon di Jakarta, Senin (20/1/2020) mengatakan, pendidikan literasi digital berbasis kemampuan berpikir kritis harus diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan dasar sampai menengah-atas.
Sayangnya, pemerintah dan DPR belum menunjukkan komitmen untuk mewujudkan hal itu. Literasi digital dilihat sebagai tanggung jawab Kementerian Komunikasi dan Informatika, tanpa ada upaya kolaboratif lintas kementerian, khususnya dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengimplementasikan agenda literasi digital dalam kurikulum.
“Di era digital, itu sudah menjadi keharusan. Kemampuan menggunakan teknologi dan merespons informasi yang didapat dari internet dengan bijak sudah menjadi kemampuan bertahan hidup yang perlu dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
Indonesia saat ini tertinggal dari negara lain dalam hal pendekatan sistemik menangkal disinformasi. Beberapa negara maju dengan kesadaran literasi digital tinggi sudah menerapkan pendidikan wajib literasi digital dan media. Indeks Literasi Media 2018 yang dikeluarkan oleh Open Society Institute mengarisbawahi, disinformasi relatif tidak laku di tengah masyarakat yang terdidik.
Finlandia, Swedia, dan Belanda mengajarkan literasi digital berbasis kemampuan berpikir kritis kepada masyarakatnya sejak dini. Hasilnya, ketiga negara itu menjadi negara dengan daya tahan tinggi menangkal penyebaran disinformasi. Senada, dalam Indeks Demokrasi 2018 yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit, ketiga negara itu juga tercatat memiliki demokrasi paling berkualitas.
Daya tahan demokrasi di Finlandia tidak hanya berpatok pada daya berpikir kritis masyarakatnya, tetapi juga etika elite politik dan pemerintah. Saat pemilihan umum, pemerintah dan elite politik kompak mengangkat narasi kampanye mengimbau masyarakat memilih secara independen dan kritis dalam merespons berita dari media arus utama maupun media sosial.
Di Australia, pendidikan literasi digital serta literasi media juga sudah diajarkan sejak tingkat taman kanak-kanak. Murid-murid diajarkan kemampuan riset sederhana sejak dini. Dalam mengerjakan tugas sekolah, murid-murid didorong untuk aktif menggugat informasi yang mereka terima dan membiasakan diri belajar dengan membaca dari banyak sumber. Teknik pembuatan berita pun dipelajari anak-anak sejak dini sehingga mereka bisa membedakan informasi manipulatif yang muncul dari media-media arus utama.
“Kurikulum pendidikan literasi digital dikemas dengan metode praktikal dan berbasis latihan, tidak hanya teoretis dan hafalan. Akan lebih berdampak jika literasi digital dan kemampuan berpikir kritis diajarkan sejak kecil, karena anak-anak belum terkontaminasi berbagai nilai-nilai politik, agama, dan ideologi,” kata Afra.
Menunggu waktu
Wien Muldian, Pegiat Perkumpulan Literasi Indonesia, yang juga Pelaksana Harian Gerakan Literasi Nasional Kemendikbud mengatakan, di tingkat pemerintah, belum ada upaya kolaboratif lintaskementerian untuk bersama-sama memetakan peta jalan pendidikan literasi digital yang sistematis dan terstruktur.
Peta jalan pembelajaran digital itu, ujarnya, mencakup empat hal utama, yaitu metode dan strategi pembelajaran, medium pembelajaran, evaluasi pembelajaran, serta pembelajaran digital itu sendiri atau metode e-learning.
Wien mengatakan, saat ini Kemendikbud sedang mengalami masa transisi pasca pergantian Menteri, sehingga gerak menuju implementasi literasi digital sedikit terkendala. Meski demikian, ujarnya, konsep pendidikan literasi digital yang menyatu dengan kurikulum pendidikan seperti Finlandia dan Australia akan diterapkan di Indonesia.
“Tinggal tunggu tanggal mainnya saja,” katanya.
Ia menggarisbawahi, kemampuan berpikir kritis sebenarnya sudah masuk dalam kurikulum saat ini dalam konteks mengedepankan pendidikan berbasis keahlian atau spesialisasi. Namun, kendala ada di tingkat penerapan. Rezim otonomi daerah membuat pemerintah pusat sulit memastikan sekolah-sekolah di daerah menerapkan pendidikan literasi dan kemampuan berpikir kritis itu.
“Kita memang belum siap. Sehebat apapun konsep literasi digital yang dirancang pemerintah pusat, praktiknya tetap ditentukan oleh pemerintah daerah. Jika pemda tidak bergerak, sama saja,” ujarnya.
Lebih lanjut, implementasi pendidikan literasi digital dalam kurikulum sekolah juga menyimpan persoalan rumit terkait kemampuan tenaga pengajar. Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifuddian mengatakan, DPR dan pemerintah sebenarnya mulai memberi perhatian pada pentingnya literasi digital.
Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, misalnya, sudah didorong masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020 atas usul inisiatif pemerintah. Secara bertahap, ujarnya, dalam waktu lima tahun ke depan, pendidikan literasi digital dan berpikir kritis juga akan pelan-pelan diimplementasikan dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah.
Meski demikian, tantangan yang dihadapi tidak mudah. Guru masih tercatat sebagai salah satu aktor yang paling banyak menyebarkan misinformasi dan disinformasi.
“Perlu ada peningkatan kapasitas dan perubahan cara pandang guru. Sulit kalau guru-guru dan tenaga pengajarnya masih gaptek, tidak kritis, dan bawa-bawa afiliasi politik. Sementara, melatih guru juga butuh anggaran besar,” katanya.