”Jangan hitung untung-rugi bagi kerja politik. Jangan cari keuntungan pribadi atau kelompok dari tugas ideologis ini”. Potongan pidato politik Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri itu menyiratkan peringatan akan pentingnya semangat ideologi dalam kerja politik. Bagi Megawati, setiap kader partai adalah pejuang ideologi yang selalu mengutamakan perjuangan untuk rakyat.
Megawati menegaskan, pidato politik yang ia sampaikan dalam Rapat Kerja Nasional I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) merupakan instruksi langsung dari ketua umum yang harus ditaati oleh semua kader. Instruksi ini merupakan perintah kepada seluruh kader agar sadar dengan tugas ideologi. ”Saya tidak akan melindungi kader yang tidak taat terhadap instruksi partai,” kata Megawati dalam forum yang diselenggarakan bertepatan dengan ulang tahun ke-47 PDI-P di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat (10/1/2020).
Megawati meminta semua kader PDI-P di seluruh Indonesia untuk bersemangat mewujudkan cita-cita rakyat dan jangan sekali-kali memunggungi rakyat Indonesia. Bagi kader yang tidak mau mengikuti instruksinya, ”Silakan kalian pergi keluar dari PDI-P,” kata Megawati.
Megawati merupakan pemimpin partai politik yang sukses menjaga soliditas partai ketika menghadapi krisis kepemimpinan. Megawati pula yang berhasil mengawal proses transformasi organisasi dan ideologi sehingga partai terselamatkan dari ancaman perpecahan. Melalui sosoknya, Megawati melambungkan nama PDI-P sebagai simbol perlawanan terhadap kemapanan kekuasaan Orde Baru.
Sejarah mencatat, Megawati menjadi magnet politik yang kuat di akhir masa kekuasaan rezim Soeharto. Sosoknya memantulkan kekuatan rakyat kecil melawan penguasa dan mampu menggerakkan dukungan politik yang kuat kepada PDI-P dengan ideologinya. Kini, PDI-P berada di atas angin sebagai partai penguasa yang berhasil memenangi pemilu legislatif dan pemilihan presiden dua kali berturut-turut. Dua pemilu terakhir ini memberikan berkah kepada Megawati dan kader PDI-P untuk duduk di puncak kekuasaan politik.
Setelah melewati empat dasawarsa dalam berpolitik, tentu PDI-P sudah memiliki garis perjuangan yang baku untuk mewujudkan cita-cita ideologisnya. Bagi PDI-P, ideologi formal yang dianut adalah Pancasila 1 Juni 1945. Untuk mengoperasionalisasikannya, PDI-P menciptakan garis-garis perjuangan yang diterjemahkan ke dalam program dan perilaku para kader.
Visi misi dan platform partai menjadi aspek terpenting karena berisi gambaran besar kondisi masyarakat yang hendak dicapai dan hal-hal fundamental yang menjadi prioritas perjuangan partai.
Dalam Dasaprasetya PDI-P, tertulis arah perjuangan partai berorientasi kepada kesejahteraan rakyat dengan bertumpu pada pemenuhan hak-hak rakyat kecil di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Arah perjuangan ini menjadi pedoman bagi kader PDI-P, baik yang memegang jabatan di struktur partai maupun di eksekutif dan legislatif, untuk saling konsolidasi dalam merumuskan aspirasi rakyat.
Partai ini dideklarasikan 10 Januari 1973. Saat itu namanya masih Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Semenjak reformasi, PDI bertransformasi menjadi PDI-P sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru. Peralihan organisasi dari PDI ke PDI-P diikuti transformasi ideologis yang lebih relevan dan realistis dengan kondisi politik setelah Orde Baru.
Transformasi
PDI-P memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan eksistensinya, baik sebagai kelompok ideologis maupun organisasi partai politik. Dalam rentang waktu perjuangan tersebut, PDI-P selalu menghadapi konflik internal dalam mendefinisikan paham kolektif yang menjadi ideologi bersama.
Sebagaimana diketahui, PDI-P merupakan kelanjutan dari PDI yang secara organisasi adalah hasil fusi lima partai politik peserta Pemilu 1971 dan 1955. Kelimanya ialah PNI, Parkindo, Partai Katolik, Murba, dan IPKI. Ketika fusi pada 1973, PDI belum memiliki sebuah paham kolektif yang bisa mengintegrasikan perbedaan karakter dan ideologi unsur-unsur fusi. Setiap unsur fusi masih mempertahankan ideologinya meskipun secara politik telah membaur di dalam wadah partai yang baru.
Untuk memuluskan program fusi, Orde Baru memaksa PDI untuk membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh ideologi masa lalu yang dibawa oleh kelompok yang menjadi unsur fusi. PDI harus ”mengordebarukan” dirinya. Artinya, semua ideologi masa lalu ditanggalkan dan diganti dengan ideologi baru yang senapas dengan semangat Orde Baru.
Pengordebaruan bisa diterima sebagai bentuk kompromi idealisme perjuangan dengan pragmatisme politik di hadapan penguasa. Marhaenisme memang kuat pengaruhnya, tetapi paham ini identik dengan PNI sehingga sudah pasti tidak akan direstui oleh Orde Baru karena dianggap mewarisi semangat Orde Lama yang memiliki watak progresif-revolusioner.
Sebagai langkah kompromistis, tokoh PDI menyiasati pengordebaruan dirinya dengan mentransformasikan Marhaenisme ke dalam istilah lain yang menjadi tiga watak dan ciri PDI, yakni Demokrasi Indonesia, Kebangsaan Indonesia, dan Keadilan Sosial. Sikap kompromi ini membuat PDI eksis secara ideologis meskipun secara politik partai ini terus ”diobok-obok” oleh penguasa. Puncak dari perlawanan PDI terjadi pada Pemilu 1997 dan berlanjut pada 1998 yang mengantarkan Megawati sebagai ketua umum hingga sekarang.
Saat ini, PDI-P telah menggapai kekuasaan selama dua periode pemerintahan. Masalahnya, gema wong cilik atau keberpihakan kepada rakyat kecil semakin lama semakin sayup terdengar. Sebagai gantinya, banyak kader partai mulai melupakan hakikat kehadiran mereka dalam kancah politik di negara ini.
Wajar saja jika kemudian Megawati berteriak lantang mengingatkan kader tidak menunggangi rakyat demi kepentingan pribadi mereka. Untuk membersihkan kader yang pragmatis dan oportunis dari partai, sudah sepantasnya Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengusir mereka atau tidak memberikan perlindungan dari kasus hukum mereka.(Sultani/Litbang Kompas)