Penerapan literasi digital dalam kurikulum pendidikan belum dilihat sebagai prioritas. Pendidikan menjadi prakondisi utama menuju ketahanan demokrasi dan terwujudnya masyarakat yang tidak mudah termakan hoaks politik.
Oleh
Agnes Theodora Wolkh Wagunu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan literasi digital yang sistemik menjadi prakondisi utama menuju ketahanan demokrasi dan terwujudnya masyarakat yang tidak mudah termakan hoaks politik. Dukungan politik dibutuhkan untuk mengimplementasikan literasi digital dan kemampuan berpikir kritis dalam kegiatan belajar-mengajar sehari-hari.
Pendidikan literasi digital dan berpikir kritis sejak dini menjadi penting mengingat banyaknya jumlah pemilih muda dalam pemilu ataupun pilkada. Namun, di tengah kebutuhan mendidik generasi baru pemilih itu, penerapan literasi digital dalam kurikulum pendidikan belum dilihat sebagai prioritas.
Penelitian oleh Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) yang melibatkan 56 peneliti dari 26 universitas di Indonesia pada 2017 menunjukkan, aktivitas literasi digital didominasi forum jangka pendek seperti sosialisasi atau ceramah, pelatihan atau workshop, serta seminar¬ atau diskusi. Sementara itu, kurikulum menempati urutan paling rendah ragam kegiatan literasi digital karena dianggap terlalu rumit, butuh persiapan panjang, dan memerlukan dukungan politik dari pemangku kebijakan.
Penggerak Kelas Muda Digital, Afra Suci Ramadhon, di Jakarta, Senin (20/1/2020), menilai, pemerintah dan DPR belum menunjukkan komitmen untuk mewujudkan pendidikan literasi digital berbasis kemampuan berpikir kritis dalam kurikulum. Literasi digital hanya dilihat sebagai tanggung jawab Kementerian Komunikasi dan Informatika, tanpa ada upaya kolaboratif lintas kementerian, khususnya dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk mengimplementasikan agenda literasi digital dalam kurikulum.
Indonesia tertinggal dari negara lain dalam hal pendekatan sistemik menangkal disinformasi.
”Kemampuan menggunakan teknologi dan merespons informasi yang didapat dari internet dengan bijak sudah menjadi kemampuan bertahan hidup yang perlu dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” kata Afra.
Indonesia tertinggal dari negara lain dalam hal pendekatan sistemik menangkal disinformasi. Beberapa negara maju sudah menerapkan pendidikan wajib literasi digital dan media. Indeks Literasi Media 2018 yang dikeluarkan Open Society Institute menggarisbawahi, disinformasi relatif tidak laku di tengah masyarakat yang terdidik.
Finlandia, Swedia, dan Belanda mengajarkan literasi digital kepada masyarakatnya sejak dini. Hasilnya, ketiga negara itu menjadi negara dengan daya tahan tinggi menangkal disinformasi. Senada, dalam Indeks Demokrasi 2018 yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit, ketiga negara itu juga tercatat memiliki level demokrasi paling berkualitas.
Di Australia, literasi digital dan literasi media juga diajarkan sejak taman kanak-kanak. Murid diajarkan kemampuan riset sederhana sejak dini serta aktif menggugat informasi yang diterima. Literasi media pun diajarkan sejak dini sehingga mereka bisa membedakan informasi manipulatif dari media massa.
Menunggu waktu
Wien Muldian, pegiat Perkumpulan Literasi Indonesia, yang juga Pelaksana Harian Gerakan Literasi Nasional Kemendikbud, mengatakan, di tingkat pemerintah belum ada upaya kolaboratif lintas kementerian untuk membuat peta jalan pendidikan literasi digital yang sistematis dan terstruktur.
Saat ini, tambahnya, Kemendikbud sedang mengalami masa transisi pasca-pergantian menteri sehingga gerak menuju implementasi literasi digital sedikit terkendala. Meski demikian, konsep pendidikan literasi digital seperti Finlandia dan Australia akan diterapkan di Indonesia. ”Tinggal tunggu tanggal mainnya saja,” katanya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifuddian mengatakan, DPR dan pemerintah sebenarnya mulai memberikan perhatian pada pentingnya literasi digital. Pendidikan literasi digital secara bertahap akan diimplemantasikan.
Namun, tantangan yang dihadapi tidak mudah. Guru masih tercatat sebagai salah satu aktor yang paling banyak menyebarkan misinformasi dan disinformasi. ”Perlu ada peningkatan kapasitas dan perubahan cara pandang guru. Sulit kalau guru-guru dan tenaga pengajarnya masih gaptek, tidak kritis, dan bawa-bawa afiliasi politik. Sementara melatih guru juga butuh anggaran besar,” ucap Hetifah.