Polisi Bongkar Sindikat Prostitusi Anak di Jakut, Omzet Rp 2 Miliar Per Bulan
Polisi mengungkap perdagangan 10 anak perempuan untuk bisnis prostitusi di salah satu kafe di Kampung Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara. Para pelaku diperkirakan meraup Rp 2 miliar per bulan dari bisnis kotor itu.
Oleh
J GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polisi mengungkap perdagangan sepuluh anak perempuan berusia 14 hingga jelang 18 tahun untuk bisnis prostitusi di salah satu kafe di Kampung Rawa Bebek, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Para pelaku diperkirakan meraup omzet rata-rata Rp 2 miliar per bulan dari usaha haram mereka ini.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menuturkan, petugas dari Subdirektorat 5/Remaja, Anak, dan Wanita Direktorat Reserse Kriminal Umum meringkus enam tersangka pengeksploitasi anak untuk prostitusi pada Senin (13/1/2020) di kafe tersebut. ”Sekarang ini baru sepuluh korban yang berhasil kami ungkap. Kami akan kembangkan terus,” ucapnya dalam konferensi pers di markas polda, Jakarta Selatan, Selasa (21/1/2020).
Yusri menjelaskan, keenam tersangka itu terdiri dari tiga perempuan berinisial R alias Mami Atun, A alias Mami Tuti, dan D alias Febi, serta tiga laki-laki berinisial TW, A, dan E. Mami Atun merupakan pemilik kafe sekaligus mucikari yang menawarkan anak-anak ke pengunjung kafe. Mami Tuti juga berperan sebagai mucikari.
Febi dan TW bertugas mencari dan merekrut anak-anak dari berbagai wilayah. Adapun A merupakan bawahan Mami Tuti, sedangkan E bawahan Mami Atun yang bekerja menjaga kebersihan, menjaga kamar, serta mencatat dan mengumpulkan bayaran pekerja seks komersial (PSK).
Cara kerja sindikat ini, Febi dan TW mencari calon PSK dari sejumlah lokasi, termasuk mereka yang masih berusia anak-anak. Salah satu korban diketahui polisi berasal dari Jawa Tengah. ”Mereka mengiming-imingi pekerjaan dengan penghasilan besar,” ujar Yusri.
Febi dan TW juga memanfaatkan media sosial untuk menggaet ”mangsa” mereka. Setelah mendapat anak calon PSK, mereka menjemput dan langsung membawa korban ke kafe Mami Atun. Keduanya menerima uang yang besarnya ditentukan oleh level kecantikan korban menurut Mami Atun serta mami Tuti, pada kisaran Rp 700.000-Rp 1,5 juta per anak.
Setelah korban terjual dengan harga yang disepakati, para mucikari memaksa mereka menemani pengunjung kafe dan lanjut melayani hubungan seksual dengan bayaran Rp 150.000 per konsumen. Namun, anak pekerja seks hanya menerima Rp 60.000 per layanan, sedangkan Rp 90.000 atau 60 persennya dikuasai mucikari. Honor pun baru diberikan setiap dua bulan.
Agar tidak ke mana-mana, Mami Atun dan Mami Tuti menahan ponsel para korban. Jika mereka ingin berhenti kerja, mereka mesti menebus uang sebesar Rp 1,5 juta. Pengakuan para tersangka, mereka beroperasi dua tahun ini.
Kepala Bagian Pembinaan Operasi Ditreskrimum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Pujiyarto menambahkan, kepolisian mendapatkan informasi bahwa prostitusi di kafe tersebut merupakan luberan dari lokalisasi Kalijodo setelah dibongkar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Maret 2016. Kawasan Kalijodo kemudian berganti wajah menjadi ruang publik terpadu ramah anak dan ruang terbuka hijau.
”Dalam menjalankan aksinya, para pelaku bisa dikatakan sadis,” kata Pujiyarto. Anak-anak diwajibkan melayani pria hidung belang minimal sepuluh kali per hari. Jika kurang, mereka didenda Rp 50.000 per layanan yang absen.
Selain itu, haram hukumnya bagi mereka untuk libur bekerja jika sedang menstruasi. Mereka bakal diberi obat tertentu untuk menghambat datang bulan sehingga tetap bisa melayani hasrat seksual pelanggan.
Anak-anak pekerja seks di sana juga tidak mendapat pemeriksaan kesehatan berkala sehingga dikhawatirkan sudah terinfeksi penyakit menular seksual.
Kepala salah satu balai rehabilitasi sosial anak yang memerlukan perlindungan khusus pada Kementerian Sosial, Neneng Heryani, mengatakan, pihaknya, Rabu (15/1/2020) dini hari, menerima rujukan untuk merehabilitasi dan memberikan tempat aman bagi delapan anak korban perdagangan Mami Atun dan kawan-kawan.
Awalnya, sejumlah anak datang dalam kondisi demam karena cemas dengan proses hukum yang berjalan. Kebanyakan mereka takut aktivitas mereka di kafe selama ini diketahui keluarga karena orangtua masing-masing hingga kini belum tahu.
Selama sepekan dalam perlindungan Kemensos, kedelapan anak tersebut menerima sejumlah terapi. Sebagian mulai mau membagikan alamat dan kontak keluarga. Kemensos berniat mengembalikan mereka ke orangtua masing-masing karena keluarga dinilai sebagai tempat teraman bagi mereka.
Valentina Gintings, Asisten Deputi Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sangat mengapresiasi pengungkapan Polda Metro Jaya. Sebab, berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 (SNPHAR 2018), satu dari 11 anak perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual.
Para tersangka dikenai Pasal 76I juncto Pasal 88 dan/atau Pasal 76F juncto Pasal 83 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU RI No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta. Pasal dilapis dengan Pasal 296 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 506 KUHP.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihah merekomendasikan penegak hukum juga mengenakan pasal dalam UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Karena memperdagangkan anak yang belum dewasa, ia memperkirakan hukuman penjara bagi keenam tersangka bisa lebih berat, yakni menjadi maksimal 20 tahun. Dengan cara demikian, efek jera lebih kuat.