Pengiriman pasukan Eropa merupakan bagian dari tindak lanjut Konferensi Berlin tentang Libya. Konferensi itu menekankan pentingnya penguatan embargo senjata ke Libya.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
BERLIN, SENIN — Eropa mempertimbangkan pengiriman tentara ke Libya. Tentara Eropa akan memastikan embargo dan gencatan senjata benar-benar dipatuhi, serta proses perdamaian bisa berjalan di Libya.
”Gencatan senjata membutuhkan pihak yang mengurusnya. Tak bisa mengatakan sekarang gencatan senjata lalu melupakan itu. Ada yang harus memantaunya, mengelolanya,” kata Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Joseph Borrell, Senin (20/1/2020), di Berlin.
Bersama menteri luar negeri negara-negara Eropa, Borrell berkumpul di Berlin untuk menindaklanjuti hasil Konferensi Berlin tentang Libya. Konferensi yang berlangsung pada Minggu (19/1/2020) itu mendorong gencatan dan embargo senjata lebih ketat di Libya.
Kubu utama dalam perang saudara Libya sekarang, Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) pimpinan Perdana Menteri Libya Fayez al-Sarraj dan Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar dipasok senjata dan pasukan oleh negara asing. GNA, LNA, dan pendukungnya hadir dalam konferensi di Berlin, Jerman.
Borrell setuju Eropa mengaktifkan lagi Operasi Sophia. Patroli bersama Eropa di lepas pantai Libya itu berlangsung pada 2015-2019 untuk memastikan embargo senjata dan mencegah penyelundupan manusia. Tahun lalu, operasi itu dihentikan.
Pekan lalu, Borrell sudah menyinggung soal pengerahan tentara Eropa ke Libya.
Dalam pertemuan para menlu Eropa, ide itu kembali dibahas. Inggris, Italia, dan Yunani menyatakan siap terlibat. Adapun Jerman masih menimbangnya.
”Jika ada gencatan senjata, mungkin ada peluang melakukan yang kami mampu, mengirim orang, ahli, untuk memantau gencatan senjata,” kata PM Inggris Boris Johnson.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan, perdamaian Libya bergantung pada warga negara Libya. ”Hanya proses yang dimiliki dan dipimpin orang Libya yang bisa membawa perdamaian selamanya,” katanya.
Tergantung Libya
Von der Leyen dan Borrell meminta peserta Konferensi Berlin menahan diri dari melakukan hal-hal yang membahayakan gencatan senjata. ”Kesepakatan sudah dicapai. Langkah maju yang penting,” kata Von der Leyen.
”Jelas sekali, akhir dari semua ini tergantung keputusan orang Libya. Semua usaha untuk mendorong dialog berkelanjutan dengan mereka telah gagal. Perbedaan terlalu besar di setiap pihak,” kata Menlu Rusia Sergey Lavrov seusai konferensi.
”Meski demikian, rekomendasi dari Konferensi Berlin menambah gagasan-gagasan yang dapat ditawarkan masyarakat internasional kepada warga Libya agar mereka bisa menyepakati kondisi yang mendorong dialog,” kata Lavrov.
Ia merujuk pada penolakan Haftar dan Sarraj untuk berbicara secara langsung meski keduanya sama-sama berada di Berlin. Hal serupa terjadi dalam pertemuan di Moskwa, Rusia, 13 Januari 2020. Haftar meninggalkan lokasi perundingan tanpa menandatangani naskah kesepakatan damai.
Dibandingkan dengan pertemuan yang gagal di Moskwa, menurut Lavrov, ada kemajuan di Berlin. ”Mereka (GNA dan LNA) setuju mengutus masing-masing lima orang dalam komite gencatan senjata yang dibuat PBB. Komite itu akan mempertimbangkan semua masalah terkait gencatan senjata,” katanya.
Menlu Jerman Heiko Maas mengatakan, Konferensi Berlin hanya langkah awal. Pertemuan para menlu Eropa kemarin dan pertemuan menlu peserta konferensi pada Februari 2020 adalah tindak lanjut dari konferensi itu.
Pertemuan Februari nanti digelar atas undangan Utusan Khusus PBB untuk Libya Ghassan Salameh. ”Kami akan melibatkan UE dalam proses itu. Embargo senjata akan dibawa ke DK PBB,” ujarnya.
Ia tak bisa memastikan apakah proses perundingan para pihak bertikai akan segera berlanjut. Sarraj dan Haftar bukan hanya tak mau saling berbicara. Pasukan mereka tetap baku tembak saat gencatan senjata. (AP/REUTERS)