Anak di Bawah Umur Sering Dijajakan di Lokasi Prostitusi Rawabebek
Polres Metro Jakarta Utara akan melakukan penyelidikan terhadap sindikat penjualan anak di bawah umur, terutama terkait masalah prostitusi.
JAKARTA, KOMPAS — Tempat beroperasinya kafe di Kampung Rawabebek, Penjaringan, Jakarta Utara, yang digerebek polisi karena memperdagangkan anak di bawah umur berada di kawasan prostitusi yang sudah beroperasi lebih dari 30 tahun.
Sebagian warga di sana mengakui banyak anak perempuan yang dari tampilan fisik masih di bawah umur setiap malam menjajakan diri di lokasi yang berada di tepi rel kereta api itu.
Pada Rabu (22/1/2020) sore, Kompas mendatangi lokasi kafe yang digerebek Polda Metro Jaya, Senin (13/1/2020). Di lokasi kafe itu berdiri, penerangan sangat minim sehingga suasana remang-remang. Ada sejumlah pekerja seks komersial (PSK) yang tengah duduk sembari menawarkan diri ke setiap lelaki yang melintas.
Baca juga: Polisi Bongkar Sindikat Prostitusi Anak di Jakut, Omzet Rp 2 Miliar Per Bulan
Kafe yang digerebek itu berdiri berjejer bersama sejumlah kafe lain dan berada dalam kawasan permukiman padat. Di tempat itu, warga setempat juga beraktivitas seperti biasa dengan membuka warung, bengkel las, hingga usaha salon kecantikan.
Lokasi itu juga dilengkapi dengan sejumlah tangga untuk naik ke atas rel kereta yang berada di ketinggian. Di sana, ada ratusan kamar dengan ukuran kecil yang berdiri berjejer di sisi kiri dan kanan rel sepanjang sekitar 100 meter. Jarak kamar-kamar itu dengan rel kereta api tak sampai 2 meter.
Setiono (40), salah satu warga yang tinggal berdekatan dengan tempat itu, mengatakan, tempat prostitusi itu sudah ada saat dia menetap di sana sejak lima tahun lalu. Saat malam hari, lokasi yang di siang hari terlihat seperti permukiman pada umumnya itu berubah menjadi tempat hiburan.
”Kalau malam ramai banget, ada musik, orang minum-minum (miras), dan banyak PSK. Kami sudah biasa karena saya juga, kan, usaha jualan di sini,” ucap lelaki asal Banten itu.
Baca juga: Polres Tanjung Priok Ungkap Kasus Kejahatan Daring
Ia mengatakan, PSK yang bekerja di sana sebagian merupakan perempuan pindahan dari Lokalisasi Kalijodo, yang sudah dibongkar dan ditutup Pemerintah Provinsi DKI pada Maret 2016. Lelaki itu juga sering kali berjumpa dengan banyak PSK yang dilihat dari tampilan fisik masih di bawah umur, yang menjajakan diri saat malam tiba.
”Banyak banget, ada yang datang dengan orang yang mereka panggil bos. Ada juga yang datang dengan teman atau pacar,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, petugas dari Subdirektorat 5/Remaja, Anak, dan Wanita Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya meringkus enam tersangka pengeksploitasi anak untuk prostitusi pada Senin (13/1/2020) di kafe tersebut. Dari penangkapan itu, ada 10 korban yang masih di bawah umur yang ditawarkan ke pengunjung kafe.
Baca juga: Usut Tuntas Sindikat Prostitusi Daring yang Sasar Anak-anak
Anak-anak itu dipaksa para mucikari untuk menemani pengunjung kafe dan lanjut melayani hubungan seksual dengan bayaran Rp 150.000 per konsumen. Namun, anak-anak itu hanya menerima Rp 60.000 per layanan, sedangkan Rp 90.000 atau 60 persennya dikuasai mucikari. Honor pun baru diberikan setiap dua bulan.
Sekitar 30 tahun
Wakil Ketu RT 002 RW 013, Penjaringan, Agung Tomasia mengatakan, kafe yang beroperasi di tempat itu jumlahnya ada sekitar 25 kafe. Sebagian kafe itu merupakan kafe yang sebelumnya menjalankan usaha serupa di Kalijodo.
”Ada sebagian dari Kalijodo, tetapi tidak semua. Tempat ini, kan, sudah beroperasi sekitar 30 tahun yang lalu,” ucapnya.
Meski tak menjawab pasti praktik prostitusi itu diperbolehkan atau tidak, Agung mengakui praktik prostitusi di sana memang sudah sejak lama ada. Pihak RT selama ini rutin berkoordinasi dengan Komisi HIV AIDs Jakarta Utara dengan membuka Pokja HIV AIDs. Pokja itu bertugas menekan penyebaran HIV/AIDS dengan sosialisasi dan mendeteksi PSK yang sudah tertular HIV.
”Jadi, kami sudah koordinasi dengan para pemilik kafe agar (PSK) jangan ada yang di bawah umur. Kami selalu sosialisasi dan arahkan itu. Kejadian kemarin kami tidak tahu,” ujarnya.
Baca juga: Lindungi Anak dari Perdagangan Orang Bermodus Prostitusi Daring
Agung menjelaskan, para PSK yang bekerja di sana ada yang terikat hubungan kerja dengan pemilik kafe. Tugas mereka melayani tamu-tamu yang berkunjung. ”Ada yang tidak ada ikatan kerja dengan pengusaha kafe. Itu mereka datangnya dari mana-mana dan jumlahnya sangat banyak,” ucapnya.
Warga diimbau aktif
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara Komisaris Wirdhanto Hadicaksono mengatakan, Polres Metro Jakarta Utara akan melakukan penyelidikan terhadap sindikat penjualan anak di bawah umur, terutama terkait masalah prostitusi. Tokoh masyarakat dan pemerintahan setempat, seperti RT dan RW, juga diimbau aktif mengawasi wilayahnya.
”Apabila ada pendatang baru, warga harus melaporkan ke RT dan RW setempat sehingga kami bisa mendata apa tujuan mereka datang ke sini. Kalau memang untuk bekerja, harus memenuhi syarat, mulai dari data kependudukan sampai batas usia yang diperbolehkan undang-undang,” katanya.
Camat Penjaringan Depika Romadi menambahkan, Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Utara sudah menyegel kafe yang memperdagangkan anak di bawah umur. Aktivitas di tempat itu selama ini sangat ramai sehingga banyak pihak tertentu yang secara diam-diam melakukan tindakan kejahatan.
”Jadi, memang tidak ada pengawasan khusus di sana selama ini. Lokasi tersebut juga sudah berapa kali kami operasi terkait penyakit masyarakat,” ucapnya.
Dalam operasi terakhir pada 2019, Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Utara berhasil menjaring sejumlah PSK yang beroperasi di tempat itu dan dilakukan pembinaan di dinas sosial. Hasil operasi itu diklaim sempat mengurangi aktivitas prostitusi di lokasi tersebut.
Jadi, memang tidak ada pengawasan khusus di sana selama ini.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihan mengatakan, sepuluh anak yang saat ini mulai direhabilitasi terlibat dalam praktik prostitusi yang sangat eksploitatif karena ada unsur pemaksaan dan penguasaan atas keputusan orang dewasa.
Oleh karena itu, kata Maryati, penanganan hukum tidak cukup hanya berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak. ”Hukum harus ditegakkan dengan berpihak pada anak. Jangan karena mereka anak-anak lalu pelaku hanya dijerat Undang-Undang Perlindungan Anak. Harus dikaji dan dilihat lagi eksekusinya. Mereka tidak bisa dikenai hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara. Itu tidak akan memberikan efek jerat,” kata Maryati.
Baca juga: Mungkinkah Ibu Kota Terbebas dari Prostitusi?
Menurut Maryati, penegakan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) perlu komitmen hukum serta melindungi hak-hak hidup dan masa depan anak-anak. Pelaku yang terlibat, mulai dari mucikari, perekrut, hingga perusahaan yang menjual jasa mereka, telah melakukan pemaksaan dan kekerasan eksploitatif yang menyebabkan trauma. Belum lagi jika anak-anak tersebut hamil, terkena penyakit, atau meninggal, pelaku harus dihukum seumur hidup.
”Nah, ini tidak ditemukan di UU Perlindungan Anak. Ini menjadi persoalan, pelaku menyasar anak-anak karena hukumannya ringan. Mereka menghasilkan omzet sebesar Rp 2 miliar per bulan. Betapa mengerikan apa yang pelaku lakukan. Eksekusi penindakan hukum lemah, seharusnya bisa di-juncto-juncto dengan peraturan atau UU yang mencerminkan kejahatan luar biasa yang pelaku lakukan kepada anak-anak,” papar Maryati.
Para tersangka dikenai Pasal 76I juncto Pasal 88 dan/atau Pasal 76F juncto Pasal 83 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU RI No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta. Pasal dilapis dengan Pasal 296 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 506 KUHP.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihah merekomendasikan penegak hukum juga mengenakan pasal dalam UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Karena memperdagangkan anak yang belum dewasa, ia memperkirakan hukuman penjara bagi keenam tersangka bisa lebih berat, yakni menjadi maksimal 20 tahun. Dengan cara demikian, efek jera lebih kuat.
Baca juga: Perkuat Regulasi dan Lembaga untuk Tangani Kasus Eksploitasi Seksual Anak Kurang Perhatian
Selain itu, Maryati juga menyoroti aspek pencegahan. Ia menilai TPPO, terutama dengan korban anak-anak, masih perlu ditingkatkan. Dari level pusat, provinsi, kabupaten, hingga kota belum menunjukan efektivitas pencegahan secara masif. TPPO 2018 dan 2019, Maryati menilai sosialisasi TPPO yang dilakukan pemerintah hanya menyasar di beberapa sekolah. Semua lembaga pemerintahan perlu terlibat dan didukung pula oleh lembaga masyarakat dan keluarga.
Selain itu, pada penanganan perlu dievaluasi. Dalam penanganan anak korban perdagangan dan prostitusi, pemerintah tidak cukup pada proses penyembuhan dan rehabilitasi semata. ”Mereka para penyintas yang harus kembali memiliki mental yang kuat. Permasalahan anak-anak ini berat dan perjalanan hidup mereka masih panjang. Artinya, negara memiliki kepentingan dan tanggung jawab untuk membentuk sikap mental,” tutur Maryati.