Longsor dan Banjir Terus Mengancam
Berbagai upaya pencegahan dilakukan, tetapi longsor dan banjir masih mengancam sejumlah daerah di Indonesia. Para pengamat menilai, upaya belum maksimal dan tidak dipertimbangkan secara menyeluruh.
PADANG, KOMPAS Bencana longsor dan banjir melanda Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, Selasa (21/1/2020) pagi. Akses lalu lintas yang menghubungkan dua kabupaten itu sempat terputus. Sejumlah wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Barat juga terancam bencana hidrometeorologi.
Di Sijunjung, tanah longsor terjadi di Jalan Lintas Tengah Sumatera di Jorong Batang Tiau, Nagari Muaro Takung, Kecamatan Kamang Baru dan Jalan Lintas Sumbar-Riau di Jorong Batang Talang, Nagari Muaro Takung. Di Jalan Lintas Tengah, longsor menyeret satu rumah ke badan jalan.
Pelaksana Tugas Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sijunjung Henry Chaniago mengatakan, longsor di dua lokasi tersebut sempat memutus akses lalu lintas untuk dua arah. ”Sejak pukul 10.00, jalan sudah bisa dilalui, tetapi baru satu arah,” kata Henry saat dihubungi dari Padang.
Selain itu, banjir melanda permukiman dan lahan pertanian warga di sejumlah nagari (kelurahan/desa) di sekitar Daerah Aliran Sungai Batang Takung, Sijunjung. Sungai meluap akibat curah hujan tinggi. Menurut Henry, tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Kerugian dan warga terdampak sedang didata petugas BPBD dan Dinas Sosial Sijunjung.
Di Dharmasraya, banjir melanda pada Selasa pukul 04.00- 05.00. Kepala Pelaksana BPBD Dharmasraya Eldison mengatakan, banjir merendam empat kecamatan, yaitu Pulau Punjung, IX Koto, Timpeh, dan Tiumang. ”Baru empat kecamatan terpantau. Sungai Batang Pangian meluap akibat hujan deras sejak malam,” katanya. Tinggi banjir mencapai 2 meter. Jumlah keluarga dan rumah terdampak masih didata.
Banjir membuat akses lalu lintas di jalan lintas tengah Sumatera di Pulau Punjung sempat terputus. Tengah hari, tinggi banjir di jalan 60-80 cm. Senin (20/1) pukul 23.00, tebing setinggi 3 meter dan lebar 4 meter longsor di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Tidak ada korban jiwa, tetapi satu rumah rusak.
”Hujan deras turun sejak pukul 16.00 sampai 20.00 di Desa Lawen sehingga mengakibatkan tebing longsor menimpa rumah Bapak Kirno,” kata Bintara Pembina Desa Koramil 06/Kalibening Sersan Dua Ngabdurrahman saat dihubungi dari Banyumas, Jawa Tengah, Selasa. Camat Pandanarum Bariadi Jumpaedo menyatakan, telah meminta jajarannya untuk melakukan penilaian dan memastikan longsor tidak mengancam rumah-rumah lain.
”Kami punya CBAT (community based action team) Lawen dan kelompok kebencanaan lain seperti Destana (Desa Tangguh Bencana) yang sudah terlatih,” tuturnya. Menurut Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Banjarnegara Andri Sulistyo, ada 38 bencana sejak awal tahun di Banjarnegara. Sebanyak 28 bencana di antaranya berupa tanah longsor.
Longsor tebing mendominasi sekitar jalan provinsi dan kabupaten, terutama di wilayah utara, seperti Kecamatan Karangkobar, Wanayasa, dan Pejawaran. Kewaspadaan longsor ditingkatkan mengingat cuaca ekstrem diprediksi terjadi hingga Februari. Kepala BPBD Kabupaten Banjarnegara Arif Rahman sebelumnya mengatakan, 199 dari 266 desa di Banjarnegara rawan longsor.
Rusak berat
Dari Cirebon, Jawa Barat, dilaporkan, wilayah Sungai Cimanuk dan Cisanggarung rusak berat. Lahan kritis, sampah, hingga galian pasir ilegal menjadi penyebab. Banjir pun mengintai daerah aliran sungai yang dihuni 9,8 juta penduduk.
Hal itu terungkap dalam sosialisasi bertema ”Preparation of Cimanuk-Cisanggarung River Basin Flood Management Project in West Java Province and Central Java Province ADB Loan” di Cirebon, Selasa. Hadir Direktur Sungai dan Pantai Ditjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jarot Widyoko serta perwakilan pemerintah daerah di DAS Cimanuk-Cisanggarung.
Dengan luas 7.657,9 kilometer persegi, DAS berada di tujuh daerah di Jabar dan Kabupaten Brebes, Jateng. Sungai Cimanuk melintasi Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka, dan Indramayu. Adapun Sungai Cisanggarung berhulu di Kuningan, melewati Kota Cirebon, Cirebon, dan Brebes.
Menurut data Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung, terdapat 378 titik kritis di DAS tersebut. Titik kritis terbanyak di Cirebon bagian timur dan Brebes. ”Tanda sungai kritis adalah di musim hujan banjir, saat kemarau keringan,” kata Jarot. Di daerah hulu, tercatat 130.000 hektar lahan kritis. Tutupan lahan hutan menjadi permukiman dan area pertanian.
Sebagai gambaran, lebar Sungai Cimanuk lama di Indramayu 30 meter, kini hanya 3 meter. Ketika daerah hulu hujan deras, Indramayu pun kebanjiran meski tidak hujan. Selain sedimentasi, okupasi bangunan liar di sempadan sungai juga memicu penyempitan aliran sungai.
Dengan pinjaman Bank Pembangunan Asia (ADB), BBWS Cimanuk-Cisanggarung bakal memetakan masalah DAS Cimanuk-Cisanggarung. Dalam waktu 18 bulan sejak November 2019, sejumlah konsultan menyiapkan rencana induk manajemen risiko banjir, survei dampak sosial dan ekonomi, hingga detail engineering design jika perlu perbaikan konstruksi.
”Besarnya (pinjaman) Rp 30 miliar. Kami harapkan, hasilnya bisa berlanjut ke pengerjaan fisik,” katanya. Kepala BBWS Cimanuk-Cisanggarung Happy Mulya mengatakan, pihaknya tidak mampu menanggulangi 378 titik kritis di DAS Cimanuk-Cisanggarung. ”Perlu ratusan miliar rupiah. Yang mendesak ditangai 178 titik,” ujarnya.
DAS Cimanuk-Cisanggarung yang rusak berat memicu banjir di daerah dengan 9,8 juta penduduk tersebut. Pekan lalu, sekitar 200 rumah di Kalijaga, Kota Cirebon, terendam banjir hingga setinggi 1 meter akibat meluapnya Sungai Cikalong. ”Untuk antisipasi banjir saat ini, kami sudah membentuk tim reaksi cepat. Kalau ada tanggul jebol, kami tangani sementara dengan bronjong,” katanya.
Kolaborasi dengan pemerintah daerah diperlukan. Pemda, misalnya, bisa menyiapkan lahan untuk pembangunan embung, menertibkan bangunan liar di sempadan sungai, serta memperketat regulasi perubahan tata guna lahan. Wakil Bupati Sumedang Erwan Setiawan mengatakan, galian pasir turut merusak DAS Cimanuk di daerahnya. ”Izinnya di pemprov,” katanya.
Tidak tuntas
Di Bandung, pemerintah kota telah membangun sejumlah infrastruktur, seperti kolam retensi dan basemen air untuk mengendalikan banjir. Namun, banjir tetap melanda saat musim hujan. Pembangunan infrastruktur dinilai belum efektif mengurangi banjir. Penyebabnya, buruknya perencanaan dan minimnya ruang terbuka hijau (RTH) sehingga daya resap air tidak optimal.
”Solusi yang dikerjakan pemerintah tidak tuntas, justru menimbulkan masalah baru,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat Meiki W Paendong dalam diskusi ”Menyoal Program Penanggulangan Banjir Kota Bandung Periode 2017-2019” di Bandung, Selasa.
Meiki mencontohkan, pembangunan basemen air di Jalan Pagarsih pada 2018. Proyek tersebut bertujuan untuk mengatasi banjir akibat luapan Sungai Citepus. Setelah basemen air dioperasikan, banjir di jalan itu berkurang. Namun, banjir di Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astanaanyar, di pinggir Sungai Citepus, semakin parah. Awal November 2019, banjir hingga 1,5 meter merendam puluhan rumah di daerah itu.
Menurut Meiki, solusi mengatasi banjir perlu dikaji menyeluruh. Dampak pembangunan infrastruktur harus dipertimbangkan matang. ”Solusi saat ini terkesan responsif dan tambal sulam. Sebaiknya pendekatan ekologis lebih diprioritaskan daripada pendekatan infrastruktur,” ujarnya.
Meiki menyoroti RTH di Kota Bandung yang masih 13 persen. Padahal, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan, RTH paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Penambahan RTH dinilai lebih efektif mengatasi banjir. ”Manfaatnya sangat besar untuk menyerap air,” ujarnya.
Peneliti Perkumpulan Inisiatif, Aang Kusmawan, mengatakan, program penanggulangan banjir di Kota Bandung belum efektif karena tidak konsisten. Pada 2017, Pemkot Bandung mengalokasikan Rp 157 miliar untuk program pengendalian banjir. ”Program ini tidak ada di 2018 dan 2019. Bisa jadi nama program berganti. Sebaiknya program berkelanjutan agar lebih efektif,” ujarnya.
Upaya lain Pemkot Bandung, membangun kolam retensi di beberapa lokasi, yakni di Cisurupan, Pajajaran, dan Gedebage. Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung juga mengeruk sedimen dan sampah di sungai-sungai di Bandung, Oktober lalu. (JOL/DKA/IKI/TAM)