Tanpa kampanye pemanfaatan plastik, ibu-ibu di Konawe telah menjadikan plastik penghias boru, caping khas suku Tolaki. Boru berseling plastik itu menjadi cara beradaptasi dan bertahan dari kerakusan terhadap alam.
Oleh
Saiful Rijal Yunus
·4 menit baca
Duduk bersila di lantai semen rumahnya, Saminten (55) tekun menganyam daun pandan kering. Memegang jarum, jemarinya lincah menganyam, merangkai, dan menyusun pandan menjadi boru.
Gerak ritmis menganyam itu, suara jarum dan benang yang mengiris dan menembus pandan kering, sangat khas. Ada pula dengkuran halus Slamet (31), anaknya, di atas kasur kapuk tipis kelabu. Sabtu (18/1/2020) itu memang masih pagi.
Di depan Saminten, bergulung-gulung daun pandan kering, batang bambu diserut, bertumpuk limbah plastik bungkus detergen, pewangi, dan makanan ringan. Wadah plastik berisi helai bekas karung plastik yang diobrak-abrik jadi pengganti benang.
”Pakai apa saja yang ada di dekat rumah. Biar hemat juga,” ujar janda satu anak ini di Desa Baini, Sampara, Konawe, Sulawesi Tenggara, sekitar 20 kilometer dari Kendari. ”Plastik dipakai di bagian pinggir sama pucuk boru. Dulu pakai daun lanu (sejenis pandan hutan), tetapi sekarang habis diganti sawit.”
Pakai apa saja yang ada di dekat rumah. Biar hemat juga.
Saminten memang perajin boru, caping khas suku Tolaki, salah satu suku tua di kawasan ini. Meski berasal dari Sidoarjo, Jawa Timur, ia mahir membuat boru. Jahitannya rapi dan estetik. Warna plastik terkadang disatukan. Jika ada merah, semuanya merah. Atau juga berupa-rupa warna, tetapi tidak norak.
Sejak 2001, saat pindah ke Desa Baini, ia hanya menetap di rumah mengurus anak dan suami. Tetangga mengajarinya membuat boru. Baini memang sentra pembuat boru. Sejak itu, menganyam boru jadi tambahan penghasilan. Ketika itu, Satar—suaminya yang juga pengayuh becak, meninggal 15 tahun lalu—menjadikan menganyam boru pekerjaan utama.
Satu boru kecil berdiameter sekitar 30 sentimeter dijual Saminten Rp 10.000. Ukuran dua kalinya, ia jual Rp 25.000. Dari sanalah, ia mampu membeli beras, menyekolahkan Slamet hingga lulus SMA, dan memelihara Manis, kucing kesayangannya.
”Dulu, ambil pandan sama lanu di belakang rumah. Sekarang jauh ke dalam hutan. Daun lanu bahkan sudah habis, makanya diganti plastik,” ujar Saminten.
Usia membuatnya tak sanggup lagi masuk ke hutan mencari pandan. Akhirnya, ia hanya beli pandan Rp 10.000 per ikat yang bisa diolah menjadi lima boru. Sehari, maksimal ia bisa membuat tiga boru.
Hanya saja, sekarang sudah berbeda. ”Sekarang tidak bisa banyak-banyak. Daun pandan kurang. Tetapi, alhamdulillah Slamet sudah kerja di perusahaan tambang,” katanya.
Berjarak dua rumah, Hayati (50) menjaga dagangan boru di depan rumahnya. Belasan boru digantung di balai bambu dan toko kelontong miliknya. Sebagian besar buatan Saminten. Semua boru berkelir plastik di bagian pinggir dan pucuk.
Ibu tujuh anak ini menceritakan, warga mulai memakai plastik sebagai tambahan sejak 10 tahun lalu. Saat itu, daun dari pohon lanu, bagian tak terpisahkan dari boru, kian sulit ditemukan. ”Daun lanu itu beda dari pandan hutan, agak tebal. Jadi, cocok dipakai di bagian pinggir boru. Ada yang coba pakai plastik, ternyata bisa. Sejak itu, orang-orang mulai pakai plastik,” tutur Hayati.
Kini, daun lanu kian sulit ditemukan ketika perusahaan sawit mulai masuk ke wilayah tempatnya lahir itu. Ia termasuk yang menjual tanah ke perusahaan. ”Saya menyesal. Dibeli murah, lagi. Kalau tidak salah ingat, Rp 3 juta 1 hektar. Sekarang pandan susah, harus masuk jauh ke hutan dan bawa bekal,” ucapnya.
Terkikis dan hilang
Desa Baini adalah sentra pembuatan boru di Konawe, bahkan Sulawesi Tenggara. Sejak dulu, desa berisi 178 keluarga ini terkenal penghasil boru. Semua pembuatnya perempuan. Mutu boru Baini terkenal baik dan tahan lama.
Hayati belajar membuat boru dari buyutnya. ”Buyut saya dulu dimakamkan sama borunya, sesuai pesannya. Sekarang, anak gadis saya sudah tidak tahu cara bikin boru.”
Latif, Kepala Desa Baini, mengatakan, 50 persen ibu-ibu di wilayahnya perajin boru. Hasilnya dijual hingga Kolaka, Kendari, dan wilayah lain. Sejumlah inovasi dilakukan, termasuk menambahkan plastik.
Perubahan itu sebenarnya respons terhadap kondisi sekitar. Pandan hutan liar tak sebanyak dulu lagi. ”Kami berusaha agar boru, identitas desa sini, terus ada,” ucap Latif.
Masyarakat harus beradaptasi hingga kehilangan identitas
Pembangunan dan industri skala besar mengubah sebagian besar wilayah. Bukan hanya Desa Baini atau Konawe, melainkan juga Sultra. Luas kebun sawit di Sultra lebih dari 50.000 hektar, sedikit lebih kecil dari luas Jakarta.
Yulius B Pasolon, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, menjelaskan, alih fungsi lahan tidak hanya mengubah kontur wilayah, tetapi juga budaya masyarakat. Hilangnya tanaman endemis dan aneka tanaman pangan lokal membuat masyarakat perlahan kehilangan identitas.
Ia masih ingat betapa peran sagu dulu begitu penting, sejak proses kelahiran, perkawinan, hingga pemakaman masyarakat daratan di Sultra. Kini, itu semua perlahan hilang akibat berkurangnya peran tanaman.
”Akhirnya, masyarakat harus beradaptasi hingga kehilangan identitas,” ucapnya.
Saminten dan Hayati ada di garis depan tergerusnya kriya boru, identitas suku Tolaki.