Untuk keluar kandang, perusahaan membutuhkan modal guna meningkatkan kapasitas produksi. Selain itu, perusahaan dihadapkan pada persoalan kebutuhan dalam negeri yang masih tinggi.
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mendorong industri pertahanan dalam negeri bersinergi untuk meningkatkan kapasitas produksi dan sumber daya manusia. Cetak biru pun diperlukan agar industri pertahanan tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga memperluas pasar hingga ke luar negeri.
Hal itu dikatakan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, yang ditemui seusai menghadiri Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan di Jakarta, Kamis (23/1/2020). Pernyataan itu ia sampaikan di hadapan Menteri Pertahanan dan jajaran, termasuk para pemimpin industri pertahanan.
”Kalau industri pertahanan mau maju, perlu ada blue print (cetak biru) untuk 10-15 tahun ke depan. Dengan blue print yang jelas, industri baru bisa meningkatkan kapasitas produksi, teknologi, dan bahan baku,” katanya.
Tanpa cetak biru tersebut, menurut Erick, industri pertahanan hanya akan mampu bermain di kandang sendiri. Apalagi, pasar produk pertahanan sangat sempit, umumnya untuk TNI dan Polri. Kondisi itu berbeda dengan negara lain, seperti Amerika Serikat, yang melegalkan kepemilikan senjata oleh masyarakat sipil.
Untuk itu, bagi produsen alat-alat pertahanan yang sudah memiliki kemampuan berekspansi, Erick mendorong agar mereka bersinergi dengan berbagai pihak. Termasuk dengan duta besar Indonesia di luar negeri agar mencari pasar ekspor potensial. Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo.
”Pak Presiden telah bertemu duta besar. Beliau meminta 70-80 persen KPI (key performance indicators/indikator kinerja utama) di ekonomi. Produk lokal pertahanan ini bisa kita supply melalui duta besar. Saya rasa ini positif,” ujarnya.
Butuh modal
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama PT Pindad (Persero) Abraham Mose mengatakan, perusahaannya yang memproduksi alat-alat pertahanan sudah berupaya memperluas kemampuan korporasi dalam memproduksi amunisi, baik kaliber kecil maupun besar.
Produksi tersebut digunakan untuk kebutuhan TNI, Polri, kementerian yang menggunakan senjata non-pertahanan, olahragawan, dan lainnya.
Upaya itu dilakukan dengan melakukan kerja sama strategis untuk mendapatkan investor. Pindad juga memanfaatkan dana penyertaan modal negara yang disuntikkan pemerintah pusat untuk menambah kapasitas produksi lewat penambahan mesin atau pabrik.
”Sekarang, produk amunisi kaliber kecil kami masih kurang dari kebutuhan sampai 600 juta butir per tahun untuk TNI dan Polri. Akhir tahun 2019, produksi kami baru mendekati sekitar 400 juta butir per tahun,” kata Abraham.
Untuk meningkatkan kapasitas produksi perusahaan, dana yang diperlukan diperkirakan Rp 200 miliar sampai Rp 250 miliar untuk penambahan 100 juta butir amunisi per tahun.
Walaupun kebutuhan dalam negeri masih belum terpenuhi, Pindad telah mengekspor produknya ke sejumlah negara. Negara-negara yang telah bekerja sama dengan mereka antara lain Myanmar dan Filipina.
”Dalam waktu dekat (tahun 2020), kami akan ke Ghana untuk ekspor Anoa, senjata, pistol, dan amunisi. Kapasitasnya masih dibicarakan. Lalu, yang sedang dijajaki seperti Brunei Darussalam, Kamboja, dan Malaysia,” tuturnya.
Produsen kapal tempur, PT PAL Indonesia (Persero), juga telah mengekspor ke sejumlah negara, antara lain Amerika Serikat, Taiwan, Korea, dan Jerman. Tahun ini, mereka akan fokus mengekspor kapal perang ke wilayah regional, seperti Filipina, Malaysia, dan Thailand.
Namun, Direktur Utama PAL Indonesia Budiman Saleh, saat ditemui pada kesempatan yang sama, mengaku masih hati-hati dalam memenuhi pangsa pasar luar negeri. Hal itu karena kebutuhan dalam negeri yang masih tinggi.
”Untuk dalam negeri ada UU 16 (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan). Saya harus menyediakan fasilitas dan kemandirian SDM. Kalau enggak memenuhi kebutuhan dalam negeri, berarti menyalahi undang-undang,” ujarnya.
Sejauh ini, Budiman mengatakan, PAL Indonesia sudah melakukan sinergi baik dengan industri swasta dalam maupun luar negeri untuk meningkatkan kapasitas produksi. Dengan sinergi itu, perusahaan pelat merah tersebut mampu memproduksi kapal dengan komponen lokal dan mengurangi impor.
”Untuk bangun KCR (kapal cepat rudal), kami melibatkan 54 industri manufaktur swasta dalam negeri. Juga dengan pembuatan kapal rumah sakit, melibatkan 94 industri swasta. Dalam 5-10 tahun ke depan, sinergi penting buat kami,” lanjutnya.
Sinergi untuk mendapatkan transfer ilmu dan teknologi juga harus terus-menerus dilakukan. Kerja sama dengan ahli pembuat kapal dan fasilitas terkait di luar negeri juga diperlukan. Kerja sama dilakukan baik dengan mengundang ahli ke Indonesia maupun mengirim SDM ke luar negeri.
Untuk kapal angkut landing platform dock (LPD), misalnya, mereka mendapat pelatihan dari Jepang dan Korea Selatan. Belum lama ini, mereka mengirim 206 insinyur dan mekanik untuk belajar langsung di Korea Selatan guna membuat kapal selam. Untuk KCR, mereka belajar dari Jerman untuk bangun kapal lebih kecil.