Empat tahun lebih menyandang status tersangka kasus korupsi, mantan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino kembali diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi kembali memeriksa Richard Joost Lino setelah hampir lima tahun ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait pengadaan tiga quay container crane di Pelindo II. Selain untuk lebih memberi kepastian hukum bagi tersangka, KPK juga menegaskan akan mengusut tuntas kasus ini.
Mantan Direktur Utama (Dirut) Pelindo II, Richard Joost Lino atau RJ Lino, tiba di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan pada Kamis (23/1/2020) sekitar pukul 10.00. Tim penyidik KPK memeriksa Lino hampir dua belas jam hingga pukul 21.43.
“Pertama saya terima kasih karena setelah menunggu (lebih dari) empat tahun akhirnya saya dipanggil juga ke sini (KPK). Saya harap proses ini bisa menjelaskan bagaimana stasus saya,” kata RJ Lino seusai diperiksa.
Dalam pemeriksaan, RJ Lino membawa tas jinjing berwarna hitam berisi dokumen. Ia pun menyampaikan, sewaktu masuk Pelindo II aset perusahaan berjumlah Rp 6,5 triliun, setelah berhenti sebagai Dirut Pelindo II, aset menjadi Rp 45 triliun. “Artinya, saya bikin kaya perusahaan,” katanya.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 18 Desember 2015, RJ Lino terakhir diperiksa oleh KPK pada 5 Februari 2016. Penyidikan atas kasus ini pun sudah berjalan lebih dari empat tahun.
Dalam Pasal 40 Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019, dikatakan, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Meski begitu, Wakil Ketua KPK, Nawawi Pamolango menegaskan, KPK tidak akan dengan mudah menggunakan instrumen surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Semua penanganan kasus korupsi harus didasari dengan kajian yuridis.
“Pemanggilan yang bersangkutan (RJ Lino) untuk diperiksa setelah sekitar lima tahun ditetapkan sebagai tersangka. Hendaklah dipahami ini sebagai langkah untuk lebih memberi kepastian hukum. Justice delayed is justice denied, yang dapat diartikan, keadilan yang terlambat adalah ketidakadilan,” ucap Nawawi.
Pelaksana tugas Juru Bicara KPK, Ali Fikri menyampaikan, KPK akan terus menyelesaikan penyidikan perkara ini sampai tuntas. Dalam waktu yang tidak lama, KPK juga akan melimpahkannya ke persidangan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi.
Finalisasi
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Achsanul Qosasi menyampaikan, BPK belum menyerahkan laporan hasil pemeriksaan (LHP). Namun, sudah dalam tahap finalisasi laporan. “Belum (menyerahkan hasil audit kepada KPK), masih dalam tahap finalisasi. Jadi, tunggu saja,” ujar Qosasi.
Ali mengatakan, secara resmi KPK memang belum menerima LHP dari BPK terkait kasus Pelindo II dengan tersangka RJ Lino. Namun sebelumnya, tim auditor BPK telah mencocokkan data yang dimiliki oleh KPK.
“Langkah tersebut sebagai bagian menyempurnakan LHP BPK. Poin-poin hasil audit yang disusun oleh tim auditor BPK pun telah disampaikan kepada KPK. Namun, untuk hasil audit final (dalam bentuk hardcopy) memang belum diserahkan,” kata Ali.
Pada 2016, Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Basaria Pandjaitan menyatakan, dalam pengadaan tiga QCC, terdapat kerugian negara yang didasarkan pada hasil perhitungan sementara dengan nilai 3,625 juta dollar AS atau setara dengan Rp 49,39 miliar. (Kompas, 19 Januari 2016)
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menilai, kalau memang KPK serius, maka harus segera melimpahkan kasus ini ke persidangan. “Jangan sampai celah dalam UU KPK baru terkait kewenangan SP3 tidak dilakukan secara objektif,” ucapnya.