”Omnibus Law” Sektor Keuangan Dinilai Belum Mendesak
Persoalan di sektor keuangan bukan tumpang tindih aturan, melainkan implementasi peraturan. Sebagai contoh, pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Aturan sudah tegas, tinggal implementasi aturan yang perlu ditingkatkan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Omnibus law sektor keuangan yang sedang disusun pemerintah, yaitu Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, dinilai belum mendesak. Ini karena permasalahan di sektor keuangan bukan tumpang tindih aturan, melainkan implementasi peraturan.
Pemerintah tengah merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang disusun melalui mekanisme omnibus law. Omnibus law sektor keuangan ini menjadi salah satu prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.
Omnibus law sektor keuangan akan mengakomodasi sejumlah undang-undang di bidang ekonomi dan keuangan, antara lain UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, UU Bank Indonesia, UU Otoritas Jasa Keuangan, UU Lembaga Penjamin Simpanan, dan UU Keuangan Negara.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam berpendapat, penyusunan RUU melalui mekanisme omnibus law ditujukan untuk mengatasi masalah tumpang tindih aturan, sedangkan tumpang tindih peraturan di sektor keuangan dilihatnya sangat minim, bahkan tidak ada.
”Permasalahan di sektor keuangan bukan karena adanya aturan yang tumpang tindih, melainkan pelaksanaan aturannya,” kata Piter yang dihubungi di Jakarta, Kamis (23/1/2020).
Menurut Piter, penyebab kegagalan Jiwasraya dan perusahaan asuransi lainnya dalam pembayaran klaim polis bukan karena tumpang tindih peraturan. Masalahnya adalah lemahnya pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap lembaga-lembaga keuangan nonbank tersebut. Jadi, solusi yang tepat adalah penguatan pengawasan.
Untuk ini, lanjutnya, tidak perlu omnibus law. Harus diakui bahwa pengawasan OJK terhadap perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan nonbank belum sama. Padahal, aturan perundang-undangan dengan jelas mengamanatkan OJK untuk mengawasi ketiga lembaga itu.
”Tinggal bagaimana OJK melaksanakan amanah undang-undang itu sebaik mungkin. OJK harus memacu kualitas,” kata Piter. Undang-undang dimaksud adalah UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah mengusulkan beberapa prioritas RUU untuk masuk Prolegnas, antara lain RUU Bea Meterai, RUU Perpajakan, serta RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Untuk RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, di dalamnya mencakup beberapa hal, seperti pembentukan lembaga penjamin polis asuransi, peraturan mengenai keberadaan teknologi finansial, serta penguatan pengawasan oleh OJK.
”Selama ini, kerangka untuk penanganan dan pencegahan krisis masih belum sempurna sehingga diperlukan beberapa peraturan perundang-undangan yang mampu menjawab hal itu,” kata Sri Mulyani.
Dari hasil simulasi krisis teridentifikasi bahwa masih ada kekurangan landasan hukum bagi otoritas sektor keuangan untuk melakukan tindakan antisipasi krisis. Karena itu, diperlukan penyempurnaan dan pembaruan aturan di setiap otoritas sektor keuangan, yakni Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Di sisi lain, ujar Sri Mulyani, UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan belum mampu mencakup sektor keuangan secara keseluruhan. Landasan hukum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) itu hanya fokus pada permasalahan bank sistemik.
”Masalah dalam lembaga keuangan nonbank tidak tecermin dalam UU No 9/2016. KSSK tidak mempunyai wadah bersama untuk mengatasi masalah lembaga keuangan nonbank,” ujar Sri Mulyani.
Saat ini persoalan terkait lembaga keuangan nonbank, termasuk perasuransian, ditangani oleh aturan di setiap otoritas sektor keuangan. Otoritas masih memungkinkan untuk berkoordinasi, tetapi tidak kuat karena tidak ada payung hukum bersama. Upaya menjaga sektor keuangan jadi prioritas utama.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menambahkan, industri jasa keuangan, baik bank maupun lembaga nonbank, saling terkait. OJK tengah menyiapkan rencana induk atau masterplan tahun 2020-2024 yang fokus untuk menyelaraskan berbagai aturan di perbankan dan lembaga nonbank.
OJK juga menyusun tiga fokus utama reformasi industri keuangan nonbank, yakni penguatan pengawasan berbasis risiko yang meliputi aspek kehati-hatian dan tata kelola manajemen risiko, reformasi institusional yang meliputi penetapan status pengawasan, serta reformasi infrastruktur yang meliputi sistem informasi dan pelaporan kepada OJK.