Beragam dan Saling Menopang
Wihara Dharma Sukha, Wihara Dharma Rakhita, dan Wihara Budhi Asih di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mampu memutar roda ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Wihara Dharma Sukha, Wihara Dharma Rakhita, dan Wihara Budhi Asih di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mungkin tak seramai wihara daerah lain menjelang Imlek. Namun, ketiga wihara itu tidak pernah sepi. Damai yang terjaga mampu memutar roda ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Rabu (22/1/2020), Kusnan (52), seorang Muslim, naik tangga untuk menata lampion di langit-langit Wihara Dharma Sukha di Desa Weru Kidul, Kecamatan Weru. Di bawahnya, Sugianto (68), pengurus harian wihara, memegangi tangga agar Kusnan tidak terjatuh. Sesekali, kedua warga berbeda agama dan etnis ini bercanda dan tertawa bersama.
Kusnan adalah sopir toko kue di depan wihara. Tujuh tahun terakhir, ia kerap membantu melakukan banyak hal di Wihara Dharma Sukha, khususnya menjelang Imlek. ”Kebetulan saya lagi tidak kerja. Jadi, bantu-bantu di sini. Bos saya, Haji Rahmat, mengizinkan,” kata Kusnan.
Dia mengatakan, pilihannya bukan tanpa risiko. Sejumlah orang pernah menyindir karena membantu di rumah ibadah yang bukan agama yang dianutnya. Kata orang-orang itu, masih banyak pilihan lain ketimbang membantu di wihara demi uang lelah yang tak seberapa. ”Enggak apa-apa. Yang penting saya enggak mencuri. Selain keluarga tetap bisa makan, saya ikut menjaga kebersamaan antarwarga di sini,” kata bapak lima anak yang tinggal tepat di belakang wihara.
Ucapan Kusnan melegakan. Meski hanya bekerja serabutan, dia memelihara energi kerukunan antarumat beragama di desa itu. Sekitar 100 meter dari Wihara Dharma Sukha yang berdiri tahun 1389 tersebut ada Masjid Al-Arofah dan Gereja Pantekosta. Semua berlokasi di areal Pasar Kue Plered, sekitar 9 kilometer dari Kota Cirebon.
”Alhamdulillah, di sini damai-damai saja. Enggak ada masalah. Bahkan, toko-toko di depan wihara yang banyak dimiliki pak haji dan ibu hajah tutup kalau ada acara di wihara,” ujarnya. Lokasi bongkar muat barang di depan toko menjelma menjadi tempat parkir bagi tamu wihara. Begitu pula pada Minggu pagi, sebagian besar kios di pasar baru buka siang setelah jemaat beribadah di gereja.
Pada titik ini, toleransi mengalahkan kepentingan ekonomi. ”Rezeki selalu ada. Buktinya, anak saya yang terakhir mau lulus SMA,” ucap Kusnan, jebolan kelas IV SD. Sulaiman (63), penjaga Masjid Al-Arofah, menuturkan, saat masjid menggelar khitanan massal setahun sekali, wihara berpartisipasi menampilkan barongsai. ”Ini gratis. Warga dan anak-anak yang disunat jadi terhibur,” katanya.
Menurut Sugianto, keberadaan tiga tempat ibadah berbeda agama yang berdekatan dengan pasar sama sekali tidak mengurangi rezeki warga. Sejak dulu, orang keturunan Tionghoa sebelum berdagang di pasar berdoa ke wihara. Karena itu, nama lain wihara ini adalah Wihara Hok Ken Tong, artinya tempat berdoa mengharap rezeki.
Ujian
Meski demikian, kata Sugianto, ujian kebersamaan tetap ada. Pada 1965, ketegangan sempat terjadi. ”Banyak warga keturunan Tionghoa pindah ke pusat Kota Cirebon. Syukur, enggak ada bentrokan atau kerusakan. Wihara juga tidak diganggu sama sekali,” ujarnya. Idi Rasidi (68), Ketua RT 001 RW 001, Desa Weru Kidul, mengatakan, keributan datang dari luar desa, bahkan dari luar Cirebon.
Peristiwa itu dikenal dengan gedoran karena rumah warga Tionghoa digedor-gedor. ”Warga kami yang Muslim malah menjaga rumah warga keturunan Tionghoa yang ditinggalkan sehingga tidak terjadi perusakan,” katanya.
Kerukunan antarumat beragama juga terasa di Wihara Budhi Asih di Jalan Kantor Pos, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon. Hanya terpisah jalan, di depan wihara berdiri Gereja Bethel Indonesia Arjawinangun. Tidak lebih dari 100 meter, terdapat Masjid Besar Fadhlullah Arjawinangun.
Menjelang Imlek, tak tampak keramaian di wihara siang itu, Kamis (23/1). ”Hanya satu dua yang datang berdoa di sini. Banyak yang pindah ke Kota Cirebon,” kata Taskim (70), penjaga wihara. Beragama Islam, bapak 10 anak dan 14 cucu itu merasa tidak masalah bekerja di wihara tiga tahun terakhir ini. ”Penghasilannya bisa buat makan. Dulu kerja saya serabutan, seperti jadi tukang becak atau buruh,” kata warga Desa Gintung tersebut.
Setiap pagi, Taskim datang untuk membersihkan wihara. Jika hujan, ia mengepel lantai wihara yang basah akibat rembesan dari atap. Begitu azan berkumandang, ia segera ke masjid untuk shalat. ”Sejak 1966 saya di sini, tidak pernah ada konflik antarumat beragama. Natal kemarin, tokoh agama Islam datang ke gereja untuk silaturahmi,” kata Jaja (76), warga setempat.
Sejahtera bersama
Berjarak 10 kilometer dari Arjawinangun, kerukunan agama juga menjadi motor kesejahteraan warga di Kecamatan Jamblang. Herwanto Siswandi, pengurus Wihara Dharma Rakhita atau dikenal sebagai Wihara Jamblang, menuturkan, toleransi sudah ada sejak wihara dibangun sekitar abad ke-15.
Meski tidak ada data pasti siapa yang mendirikan wihara, menurut Herwanto, waktu pembangunannya tidak jauh beda dengan pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Kota Cirebon, sekitar 16 kilometer dari wihara.
Masjid yang dibangun tahun 1480 itu merupakan peninggalan Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Sanga atau sembilan tokoh penyebar agama Islam di Jawa. ”Satu kayu wuwungan wihara berasal dari pohon yang sama dengan kayu untuk Masjid Agung Sang Cipta Rasa,” ujar Herwanto sambil menunjukkan balok hitam di bagian atap wihara.
”Penyebar agama Islam Sunan Gunung Jati menghormati budaya dan agama lain,” kata Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat membenarkan kisah itu. Bahkan, menurut Arief, Putri Ong Tien, istri Sunan Gunung Jati, sempat mampir ke wihara di Jamblang.
Menurut Kuwu (Kepala Desa) Jamblang Nurlaelah, keberagaman menjadikan Jamblang, sebuah desa seluas 1,3 kilometer persegi, sebagai salah satu pusat perdagangan, seperti kue, otomotif, dan emas. Pedagang asal kecamatan tetangga, seperti Plered dan Arjawinangun, juga berbelanja di Jamblang.
”Akan tetapi, krisis ekonomi pada 1990-an membuat ekonomi di Jamblang terpuruk. Kami coba membangun kawasan pecinan Jamblang melalui pariwisata,” ujar Nurlaelah. Ia akan mengalokasikan anggaran dari dana desa untuk pengembangan kawasan kota tua Jamblang. Salah satu unggulannya adalah nasi jamblang Cirebon yang terkenal itu.
Meskipun Imlek di wihara-wihara di Kabupaten Cirebon tidak seramai daerah lain, damai dan keguyubannya terbukti tak pernah mati. Perbedaan agama dan etnis tak membuat warga saling menjauh, tetapi erat membangun kesejahteraan bersama sejak berabab-abad silam.