Revitalisasi Monumen Nasional kini tersandera keputusan presiden di era Soeharto yang belum dicabut hingga sekarang. Masih ada aturan terkait Monas yang belum dicabut.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
Pembangunan Tugu Monumen Nasional belum pernah tuntas sesuai desain asli sejak pemerintahan Presiden Soekarno. Revitalisasinya pun kini tersandera keputusan presiden di era Soeharto yang belum dicabut hingga sekarang.
Nunus Supardi (76), penulis buku 50 Tahun Monas, di Jakarta, Kamis (23/1/2020), mengatakan, Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 25/1995 itu diterbitkan untuk proyek pembangunan lahan parkir dan pusat perbelanjaan di bawah tanah, tepat di bawah kawasan Monas.
Harian Kompas, Rabu (19/11/1997), memberitakan, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengatakan bahwa pembangunan pusat-pusat ekonomi DKI Jakarta akan mulai dilakukan di bawah tanah. Kawasan Monas akan menjadi proyek pertama.
Menurut Sutiyoso, pembangunan bawah tanah akan diprioritaskan di pusat-pusat kota yang menjadi jantung perekonomian dan mobilitas. Pembangunan bawah tanah di kawasan Monas berupa lahan parkir yang mampu menampung 2.340 unit kendaraan dengan dilengkapi sarana belanja terpadu.
Akan tetapi, rencana itu kemudian banyak ditentang. Karena pembangunan kawasan komersial di bawah kawasan cagar budaya itu dinilai mengurangi nilai budaya dan sakralitas Monas. Selanjutnya rencana itu tak lagi disebut setelah pergolakan politik tahun 1997-1998 dari Orde Baru ke Reformasi.
“Setelah itu, tidak pernah ada kabar kelanjutan lagi dari rencana tersebut. Tapi Kepres sepertinya tak pernah dicabut,” kata Nunus.
Keputusan Presiden Nomor 25/1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka ditandatangani Presiden Soeharto tertanggal 2 Mei 1995. Keputusan itu menyebutkan adanya rencana pembangunan kawasan Monumen Nasional (Monas) itu bertujuan untuk lebih mewujudkan citra Tugu Monumen Nasional sebagai lambang perjuangan bangsa serta memberikan kebanggaan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia.
Keputusan itu dilengkapi dengan peta rancangan kawasan parkir dan pusat perbelanjaan bawah tanah. Dalam rangka pembangunan itu, dibentuk Komisi Pengarah yang diketuai Menteri Sekretaris Negara dan Badan Pelaksana Pembangunan Kawasan Medan Merdeka yang dipimpin Gubernur DKI Jakarta. Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pelaksana mempertimbangkan pendapat dan pengarahan dari Komisi Pengarah.
Kendati rencana pembangunan itu tak pernah berjalan, Keputusan Presiden itu yang menjadi dasar hukum bagi Komisi D DPRD DKI Jakarta untuk menghentikan revitalisasi yang tengah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai tak jalani tahapan konsultasi pada Badan Pembina. "Ada tahapan yang dilewati tak dilakukan," kata Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah.
Sementara itu, Asisten Sekretaris Daerah Bidang Pembangunan dan Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta Yusmada Faizal mengatakan, revitalisasi dinilai tak perlu dikonsultasikan karena menurut aturan, DKI Jakarta mempunyai kewenangan pengelolaan Monas.
Nunus mengatakan, pengelolaan kawasan Monas idealnya dikonsultasikan ke berbagai pihak karena Monas bukan hanya milik DKI Jakarta. Secara prinsip, Monas tetap merupakan tugu bangsa.
Pengelolaan Monas diserahkan ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 26 Agustus 1978, yaitu dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan selaku Ketua Panitia Pembina Tugu Nasional Daoed Joesoef kepada Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo.
Dalam surat serah terima itu disebutkan, hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan berada di bawah Panitia Pembina Tugu Nasional. ”Jadi sebaiknya tetap harus konsultasi ke pusat,” kata Nunus.
Hingga sekarang, proses revitalisasi Monas masih berlangsung. Dalam peta tata ruang Jakartasatu.jakarta.go.id, kawasan Monas merupakan ruang terbuka hijau (RTH) yang merupakan aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Adapun peruntukannya disebutkan sebagai hutan kota untuk kegiatan sosial budaya.
Kawasan ini merupakan salah satu taman terluas di DKI Jakarta. Luas kawasan Monas yang didominasi taman dan pepohonan mencapai sekitar 480.000 meter persegi. Luasan ini mencapai sekitar 0,48 persen dari luas total RTH DKI Jakarta yang saat ini diperkirakan mencapai 14,9 persen dari luas DKI Jakarta atau sekitar 98,5 kilometer persegi.
Adapun revitalisasi Plaza Selatan yang dilakukan pada lahan seluas 34.841 meter persegi itu setara sekitar 0,03 persen dari seluruh luas RTH Jakarta. ”Sangat kecil sekali dari total RTH,” kata Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Kota, dan Pertanahan DKI Jakarta Heru Hermawanto.
Kendati kecil, revitalisasi ini menuai kritik karena luas RTH DKI Jakarta saat ini pun belum mencapai target luasan 30 persen dari luas keseluruhan wilayah. Apalagi selama ini penggantian atau relokasi pohon yang ditebang dalam proses pembangunan dinilai tak jelas. ”Kami kritik bukan berarti anti pembangunan, tapi ingin agar penanaman pohon yang ditebang ini juga jelas dilaporkan,” kata Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki.