Ribuan Petani di Kalimantan Terdampak Larangan Kratom
Program pemberdayaan petani dan peralihan dari kratom ke komoditas lain mendesak untuk dilaksanakan. Masa transisi tinggal dua tahun lagi.
PONTIANAK, Kompas— Ribuan petani di Kalimantan terdampak pelarangan memperdagangkan tanaman kratom (Mitragyna speciosa), yang oleh Badan Narkotika Nasional dinyatakan masuk narkotika golongan I. Upaya peralihan ke komoditas yang lain mutlak segera dilakukan agar perekonomian petani tidak terpuruk.
Kratom merupakan salah satu tanaman endemik di Indonesia, tepatnya di Kalimantan; serta di Thailand, Malaysia, dan Papua Niugini. Di sejumlah daerah di Kalimantan, kratom dikenal dengan sebutan daun sapat, kedemba, dan purik.
Pelarangan penggunaan kratom mengacu pada Surat Edaran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor HK 04.4.42.421.09.16.1740 Tahun 2016 tentang Pelarangan Penggunaan Mitragyna speciosa (Kratom) dalam Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan. Di dalam ketentuan itu disebutkan, kratom mengandung alkaloid mitragynine yang pada dosis rendah mempunyai efek stimulan dan pada dosis tinggi memiliki efek sedatif narkotika atau penenang.
Pada tahun 2017, Komite Nasional Perubahan Penggolongan Narkotika dan Psikotropika menggolongkan tanaman kratom sebagai narkotika golongan I. Selanjutnya, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Heru Winarko dalam surat Nomor B/3985/X/KA/PL.02/2019/BNN tertanggal 31 Oktober 2019, memberikan pernyataan terkait peredaran kratom. Isinya, BNN mendukung Komite Nasional Perubahan Penggolongan Narkotika dan Psikotropika yang mengklasifikasikan kratom sebagai narkotika golongan I.
Selanjutnya, BNN akan melakukan pemberdayaan alternatif tanaman kratom, khususnya di Kalimantan. BNN juga melakukan sosialisasi dan pencegahan bahaya kratom. Terakhir, BNN mendorong kementerian terkait agar menyiapkan kebijakan yang sesuai.
Pelarangan bakal berdampak bagi sebagian petani kratom di Kalimantan. Di Kabupaten Putussibau, Kalimantan Barat, kratom dibudidayakan secara luas sejak 2010. Sebelumnya, tanaman ini tumbuh liar di pinggir sungai dan di hutan. Di hulu Sungai Kapuas di sepanjang Nanga Embaloh hingga Putussibau, misalnya, bantaran sungai dipenuhi kratom.
Bingung juga kalau kratom dilarang. Kerja (menebang) kayu dan tambang dirazia, kratom juga dilarang, lalu kerja apa?
Alexander (40), petani kratom di Putussibau, mengaku, budidaya kratom menjadi mata pencariannya saat ini. Sebelumnya, ia membudidayakan tanaman karet, terutama saat harga karet di atas Rp 10.000 per kilogram. Namun, sejak harga karet anjlok menjadi Rp 6.000 per kg, ia dan petani lain menebang pohon karet dan beralih menanam kratom.
Kratom mulai menjadi komoditas primadona saat permintaan di pasaran dan harganya cukup menjanjikan. Harga daun kratom basah yang baru dipetik Rp 3.000-Rp 6.000 per kg. Sementara harga daun kratom kering di pengepul Rp 15.000-Rp 17.000 per kg. Jika sudah digiling menjadi remahan daun, dihargai Rp 20.000-Rp 22.000 per kg.
”Bingung juga kalau kratom dilarang. Kerja (menebang) kayu dan tambang dirazia, kratom juga dilarang, lalu kerja apa? Sementara belum ada komoditas pengganti kratom yang harganya bagus,” katanya.
Bupati Kapuas Hulu AM Nasir mengatakan, ada lebih dari 10.000 petani kratom di daerahnya. Produksi kratom kering tidak hanya untuk memenuhi pasar setempat, tetapi juga diekspor ke luar negeri.
Luas lahan kratom yang terdata di Kapuas Hulu sekitar 507.144 hektar atau hampir delapan kali luas DKI Jakarta. Luasan itu diperkirakan baru 60-70 persen dari luasan riil lahan kratom yang tersebar di 18 kecamatan. Produksi kratom di daerah itu berkisar 300-400 ton per bulan.
Di Kalimantan Timur, kratom dijumpai di bantaran Sungai Mahakam di Kabupaten Kutai Kertanegara. Tanaman itu tumbuh liar di antara belukar dan tanaman endemik lainnya. Budidaya kratom di Kaltim mulai sejak 2015, saat ada permintaan dalam jumlah banyak dari Kalbar.
Pohon kratom bisa mencapai tinggi belasan meter, dengan diameter batangnya hingga 50 sentimeter. Daun kratom sudah bisa dipanen sejak tanaman berusia tiga bulan. Setelah itu, daun bisa dipanen tiap bulan.
Pasar kratom
Kratom diperjualbelikan di pasar lokal sebagai obat tradisional. Cara penggunaannya, kratom kering diseduh dengan air hangat layaknya minum teh ataupun kopi. Kratom biasa digunakan untuk obat sakit pinggang, susah buang air kecil, diabetes, asam lambung, dan kolesterol tinggi.
Kratom juga diekspor ke sejumlah negara. Data dari Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean (KPPBC TMP) B Pontianak, periode 1 Januari-31 Oktober 2019, total ekspor kratom remahan mencapai 433.999 kg, senilai hampir Rp 20 miliar. Ekspor di antaranya ke Peru sebanyak 51.500 kg dengan nilai 44.430 dollar AS, Kanada 120.000 kg (77.250 dollar AS), Amerika Serikat 82.000 kg (328.000 dollar AS), India 2.000 kg (Rp 20 juta), dan Singapura 9.069 kg (18.138 dollar AS).
Untuk tujuan Malaysia sebanyak 24.978 kg (49.956 dollar AS) dan 1.500 kg (Rp 27,59 juta). Untuk tujuan Hong Kong ada 97.000 kg (900.845 dollar AS) dan 34.000 kg (Rp 505 juta), serta ke China 11.952 kg (Rp 298,80 juta).
Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Kratom Indonesia (Pekrindo) Yosep berharap, ada pertimbangan yang komprehensif terkait pelarangan kratom. Konsekuensi di berbagai aspek perlu dipertimbangkan, termasuk nasib petani.
Masa transisi
Dalam forum diskusi di Pontianak, Kalbar, 5 November 2019, Heru menyatakan, masyarakat yang telanjur menanam kratom diberi tenggat masa transisi hingga 2022 untuk beralih ke komoditas lain. Selama masa transisi itu, peredaran kratom dalam bentuk bubuk atau kemasan tidak diperbolehkan. Kratom dalam bentuk tanaman masih diperbolehkan dengan pertimbangan selama ini dimanfaatkan sebagai suplemen dan obat tradisional oleh masyarakat.
”Jalan keluar untuk masa transisi ini dengan mengembangkan komoditas alternatif, misalnya tanaman singkong yang potensial. Alternatif itu bisa dibicarakan ke depan untuk daerah,” katanya.
Sementara Nasir berharap, akan ada pertemuan lanjutan lintas kementerian/lembaga di pusat. Ia mengaku masih bingung memberikan alternatif komoditas pengganti kratom.
”Selama ini kami sudah berikan bibit karet. Namun, harga karet juga anjlok,” ujarnya.
Gubernur Kalbar Sutarmidji menuturkan, pihaknya sedang mengkaji alternatif komoditas pengganti, jika memang kratom ke depan sepenuhnya dilarang.
Kepala Dinas Pertanian dan Hortikultura Kalbar Florentinus Anum mengatakan, hingga kini belum ada program khusus untuk alternatif pengganti kratom. Namun, jika petani harus beralih dari kratom, diharapkan kembali ke komoditas pertanian yang ada, misalnya padi, ubi, dan tanaman hortikultura.