JAKARTA, KOMPAS — Meskipun ada sejumlah pencapaian di bidang politik dan hukum, selama 20 tahun reformasi gerakan perempuan di Tanah Air masih diwarnai berbagai tantangan di berbagai bidang. Bahkan bidang budaya mengalami ancaman paling serius karena norma-norma intoleran mewarnai kurikulum pendidikan, termasuk pengajaran sastra, seni, dan kemanusiaan direduksi dalam pengajaran agama yang intoleran.
“Impian untuk membangun budaya politik baru berlandaskan etika kepedulian justru sedang menghadapi tantangan berat oleh sikap intoleran dan egoisme kelompok, politik brutal, dan devide et impera (pecah belah), korup, dan maraknya teror bom bunuh diri yang menggunakan perempuan dan anak sebagai martir,” ujar Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Azriana Manalu, Minggu (20/5/2018), di Jakarta.
Azriana didampingi komisioner Komnas Perempuan antara lain Mariana Amiruddin, Yuniyanti Chuzaifah, Indriyati Suparno, dan Adriana Venny menyampaikan “Refleksi 20 Tahun Reformasi, Keterlibatan Perempuan, dan Demokrasi Pasca 1998”.
Komnas Perempuan menilai narasi gerakan perempuan menghadapi tantangan berat dalam menciptakan wacana reformasi dan demokrasi. Kurikulum di semua tingkatan pendidikan diwarnai norma intoleran. Anak-anak dibentuk untuk intoleran, anti terhadap komunitas di luar dirinya, bahkan dibenarkan untuk melakukan kekerasan terhadap orang yang mereka tempatkan liyan.
Narasi gerakan perempuan menghadapi tantangan berat dalam menciptakan wacana reformasi dan demokrasi. Kurikulum di semua tingkatan pendidikan diwarnai norma intoleran.
Adapun perempuan diatur mulai dari cara berpakaian, mengembangkan kapabilitasnya, hingga memilih pasangan hidup, perkawinan, dan menentukan jumlah anak. “Norma intoleran ini justru hadir untuk menghancurkan etika kepedulian yang 20 tahun berusaha dibangun oleh gerakan perempuan,” ujar Yuniyanti.
Politik dinasti
Komnas Perempuan juga menilai iklim politik di Tanah Air selama 20 tahun terjebak dalam polarisasi politik untuk mendukung dinasti dan oligarki politik. Selain itu, ada fenomena yang berkembang yakni menguatnya politik identitas yang menyuburkan tumbuhnya gerakan-gerakan atas nama agama yang menggunakan cara terror dan mendomestikkan kembali perempuan.
Refleksi 20 Tahun Reformasi dilanjutkan dengan diskusi bersama sejumlah tokoh perempuan yakni Musdah Mulia (Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace), Ruth Indiah (Peneliti di Institut Kajian dan Strategi Pembangunan Alternatif), Ani Sucipto (pengamat politik Universitas Indonesia), Misiyah (Direktur Kapal Perempuan), Atnike Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal perempuan), dan Anindya Restuviani (aktivis Jakarta Feminist Discussion Group).
Musdah mengungkapkan meskipun reformasi telah berjalan, kehadiran perempuan di berbagai bidang bahkan di birokrasi dan legislatif tidak banyak memberikan pengaruh besar bagi program pengarusutamaan gender (PUG) yang digalakkan pemerintah. "Catatan penting, bahwa reformasi 1998 untuk mengubah ideologi perempuan ke egaliter untuk mencapai kesetaraan jender belum tercapai secara signifikan," kata Musdah.
Meskipun reformasi telah berjalan, kehadiran perempuan di berbagai bidang bahkan di birokrasi dan legislatif tidak banyak memberikan pengaruh besar bagi program pengarusutamaan gender yang digalakkan pemerintah.
Di bidang politik, menurut Ani, meskipun sudah ada pengakuan, perempuan masih belum bisa lepas dari jeratan politik dinasti. Dari sisi kebijakan, kehadiran perempuan di arena politik belum menunjukkan kekuatan yang riil.
Menurut Ruth, untuk menegakkan kembali etika kepedulian yang selama ini dibangun gerakan perempuan, solusinya perempuan harus keluar dari polarisasi politik.
"Selain itu, kesadaran kritis para perempuan di semua tingkatan harus terus didorong, jangan dibiarkan berjalan alamiah tetapi harus didesain dan dikembangkan pengetahuan perempuan," ujar Misiyah.
Karena itu, agenda ke depan gerakan perempuan haruslah memperkuat platform gerakan perempuan, membangkitkan kesadaran kritis perempuan, mengorganisasi perempuan sehingga memiliki posisi tawar yang kuat, memperkuat agenda demokratisasi yang tidak meninggalkan perempuan, serta mengakumulasi pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan.