Banyak Anak Usia Sekolah Papua Belum Terjangkau Pendidikan
Oleh
P Tri Agung Kristanto
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS - Pendidikan bagi anak-anak di Papua hingga kini masih butuh perhatian, tak hanya dari pemerintah, tetapi dari masyarakat yang peduli pula. Tak sedikit anak usia sekolah di Papua yang belum terjangkau pendidikan dasar.
Selain karena alasan geografis, lokasi tinggal anak-anak usia sekolah itu jauh dari gedung sekolah dasar (SD) terdekat, tak sedikit gedung sekolah yang didirikan oleh pemerintah kurang dimanfaatkan pula. Sekolah itu tak memiliki guru atau guru di sekolah itu tak setiap hari ada.
Kondisi itulah yang tergambar dalam kunjungan Kompas menyertai James Riady, pendiri Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP), dan rombongan selama empat hari, sejak Minggu (24/2/2019) hingga Rabu (27/2), di Kabupaten Jayapura, Boven Digoel, Yahukimo, Intan Jaya, dan Tolikara di Papua.
Selain pendidikan, warga pedalaman Papua memerlukan layanan kesehatan dasar pula. Seperti di Kampung Daboto, Kabupaten Intan Jaya, yang berjarak lebih dari 400 kilometer dari Jayapura, ibu kota Papua, semula tidak memiliki pusat layanan kesehatan.
Layanan kesehatan terdekat dari kampung itu bisa dijangkau dengan jalan kaki selama dua hari. Sejak tiga tahun lalu, Rumah Sakit Siloam, yang dimiliki keluarga Riady, membuka klinik di kampung itu dengan dilayani seorang dokter dan dua perawat.
Layanan kesehatan terdekat dari kampung itu bisa dijangkau dengan jalan kaki selama dua hari.
Kekurangan guru
Data Kementerian Kesehatan tahun 2017 menunjukkan, jumlah penduduk berusia kurang dari 15 tahun, yang dapat dijangkau pendidikan usia dini dan pendidikan dasar, di Papua sekitar 971.000 orang. Angka partisipasi kasar pendidikan dasar, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Papua tahun 2017, adalah 92,94 persen. Angka partisipasi kasar pendidikan dasar di lima kabupaten yang dikunjungi, yaitu antara 62,87 persen (Tolikara) hingga 106,19 persen (Boven Digoel).
Namun, James menduga ada banyak lagi anak-anak usia pendidikan dasar di Papua yang tak menikmati haknya. Mereka bisa saja terdaftar sebagai siswa, tetapi setiap hari tidak bersekolah. ”Lihat saja, selama kami melakukan kunjungan, ada bangunan SD yang tertutup sebab gurunya tak pernah datang,” katanya.
Di Sentani, Selasa, Bupati Jayapura Mathius Awoitauw juga mengakui, pendidikan di Papua memerlukan perhatian yang lebih, baik dari pemerintah maupun warga yang peduli. Pendidikan bagi anak-anak, terutama pendidikan dasar, di Jayapura juga menghadapi masalah pelik karena kekurangan guru. Tidak banyak orang yang bersedia ditempatkan di sekolah yang terpencil.
”Kami masih kekurangan guru,” ujar Mathius. Untuk mengatasi persoalan kelangkaan guru itu, Pemerintah Kabupaten Jayapura menggandeng organisasi kemasyarakatan peduli pendidikan dengan memberikan gaji bagi guru dari lembaga itu.
Selama kami melakukan kunjungan, ada bangunan SD yang tertutup sebab gurunya tak pernah datang.
Sebaliknya, menurut James, jumlah guru yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil tidak masalah. Selain membuka di Sentani, Jayapura, Sekolah Lentera Harapan (SLH) yang diprakarsai YPHP bersama Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPPH) bagi warga kurang mampu, dibuka pula di Kampung Korupun dan Nalca (Yahukimo), Mamit dan Karubaga (Tolikara), dan Daboto (Intan Jaya).
SLH di Mamit yang dibuka sejak enam tahun lalu kini memiliki 253 siswa dengan 19 guru, yang berasal dari Papua dan daerah lain di seluruh Indonesia. Bahkan, sebagian besar guru-guru itu tak ingin dipindahkan dari Papua.
”Komitmen pada pendidikan bagi mereka yang kurang mampu itu yang lebih penting,” kata James. Pelatihan Guru (Teacher Collage) Universitas Pelita Harapan menghasilkan sarjana pendidikan (guru) yang siap ditugaskan ke daerah. Selain daerah terpencil di Papua, SLH juga dibangun di tujuh provinsi lain di Indonesia.
Sejumlah guru SLH menuturkan, pendidikan dasar di Papua juga mendapatkan tentangan tradisi. Masih ada suku di Papua yang melarang anak perempuan ke sekolah.