Sepeninggal Penulis Cerita yang Menjadi Gila
Barang-barang bekas di gudang yang pernah ditiduri Sapono sudah aku singkirkan.
Aroma gudang ini sungguh terasa menyesakkan, bukan hanya karena seseorang pernah tinggal di sini dengan segala kekhasannya, tapi juga peristiwa hadirnya sosok itu. Kini, tak ada lagi jejak lelaki sinting itu di sini.
Sebenarnya dia tak pernah membuat masalah dengan atau tanpa keberadaanku di sini. Sapono selalu menyenangkan bagi anak-anak dan tentu bagi istriku, yang tak lain kakak kandungnya.
Istriku tidak tega membiarkan Sapono hidup sendiri sejak orang tua mereka tiada. Setelah proses pemakaman orang tuanya, ia mengajakku bicara di kamar.
"Sapono harus di sini, karena kalau dia hidup sendirian, bisa-bisa dia buat masalah besar," kata istriku dengan hati-hati.
Mulanya aku tidak setuju. Ada seorang lelaki bujang, umur tiga puluhan, tak terlalu waras, tiba-tiba ditampung di rumah kami, yang dihuni dua anak kami. Bagiku, merawat dan menjaga anak-anak tidak bisa sembarangan. Termasuk juga tidak bisa menyatukan mereka dalam satu atap dengan seorang paman yang tidak lagi waras.
Perdebatan panjang terjadi beberapa hari antara aku dan istri, tetapi kami berdua tak sampai bertengkar. Kami hanya adu argumen tentang apa manfaat dan kerugian dari keputusan yang bakal kami ambil nantinya. Setelah empat malam berdebat, diputuskan Sapono bisa tinggal di rumah kami.
Aku tidak pernah mempersoalkan kehadiran Sapono, kecuali cemas bahwa saudara iparku itu memberi pengaruh buruk ke anak-anak. Tapi, semua ini sekadar ketakutanku dan kuharap saja tidak ada sesuatu yang terjadi nantinya. Tak ada tindakan Sapono yang membuat anak-anak berubah, sebab iparku itu tidak pernah berbuat aneh-aneh di depan mereka.
Sapono malah sering membacakan dongeng untuk anak-anak, yang kadang-kadang dia karang sendiri, entah bagaimana caranya, sehingga di beberapa poin terdengar lucu oleh anak-anakku dan mereka sangat senang dengan kehadirannya.
Kata istriku, "Dia dulu sempat bercita-cita jadi penulis. Sayangnya, apa yang sudah diusahakan tidak berhasil. Ditambah ditinggal kawin pacar, akhirnya jadi gila."
Sapono memang sudah gila sejak sebelum aku menikahi kakaknya, sehingga tidak ada sesuatu pun yang kutahu tentang penyebab lelaki itu menjadi gila. Cerita-cerita dari istriku ini terkumpul dalam kepala dan semakin lama melahirkan rasa iba padaku. Aku tidak lagi cemas pada Sapono, sekali pun sesekali ia tidur di ruang tengah yang mana juga terkadang jadi tempat bagi anak-anakku menonton TV sampai ketiduran.
Seorang yang dulunya waras, yang mempunyai cita-cita menjadi seorang penulis, sehingga bakal mampu menikahi sang pacar demi kehidupan yang sempurna, tentu saja, jika suatu hari menjadi gila, tidak terlalu berbahaya kalau dibanding dengan orang yang gila karena melihat kejadian-kejadian terkait kematian dan darah. Aku tidak paham teori macam ini, tapi aku yakin saja bahwa Sapono memang tidak membahayakan keluargaku. Kegilaan karena ditinggal cinta, buktinya membuat ia begitu lembut dalam menanggapi permintaan anak-anakku akan dongeng.
"Ayo, Paman, cerita lagi yang lucu-lucu!" desak mereka.
Sapono menjawabnya dengan meminta mereka belajar lebih rajin supaya mendapat ranking satu, sehingga kemudian akan dia bacakan cerita karangannya yang paling lucu sejagat raya. Bagaimana itu tidak bisa kusebut lembut?
Sayangnya, keberadaan Sapono di rumah, yang sudah mulai tidak kucemaskan ini, menjadi berbalik ke kondisi semula setelah suatu pagi laki-laki itu bertemu perempuan cantik di tepi sungai dusun.
Aku tidak kenal perempuan cantik itu, karena dia memang warga baru. Tetapi orang dusun bilang, "Saya pikir dia bidadari. Tapi, bidadari, kok, setiap hari belanja tahu, tempe, dan sayur asem! Begitu dikonfirmasi ... Wah, wah, ternyata dia manusia yang wajahnya bagaikan bidadari!"
Semua orang tahu sebenarnya perempuan cantik itu sudah bukan perawan. Ia tidak hidup bersama seorang lelaki lagi, karena suaminya meninggal dua atau tiga tahun silam, saat berdinas sebagai pilot. Jadi, kepindahannya ke sini adalah demi menjalani hidup damai dan melupakan kesedihan akibat ditinggal suami mati.
Perempuan cantik itu juga belum punya anak dan tinggal di rumah berdua dengan pembantu yang tugasnya mengurusi rumah, tidak termasuk pergi berbelanja kebutuhan dapur. Kata warga yang mulai mengenalnya dengan baik, si cantik itu memang senang memasak, sehingga tugas apa pun selain memasak, barulah digarap pembantunya.
"Saya tidak bisa makan kalau bukan hasil masakan saya sendiri," begitulah katanya suatu ketika.
Nah, perubahan Sapono terjadi setelah dia bertemu secara tak sengaja di tepi kali, saat perempuan cantik tersebut pergi belanja. Setiap pagi, Sapono sering pergi ke tepi sungai untuk melamun dan mencari ikan untuk dilepas kembali ke alam bebas. Pagi itu dia tidak mendapat seekor ikan pun, melainkan pulang dengan wajah berbunga-bunga karena baru saja ketemu bidadari.
Waktu pertama mendengar kesaksian Sapono tentang perempuan cantik itu, tentu saja aku belum tahu kalau dia adalah tetangga baru di dusun ini. Tentu saja aku juga tak begitu saja berpikir bahwa ucapan Sapono memang berdasarkan fakta.
"Itu memang benar-benar bidadari, Mas!" katanya dengan penuh semangat.
"Orang tidak perlu mikir lama buat menentukan kalau dia memang bidadari. Hanya saja, saya lihat-lihat, kok tidak ada sayapnya?"
"Cuma mimpi, mungkin. Saya kira kamu mimpi semalam, dan karena pagi belum benar-benar hilang kantukmu, maka seolah-olah kamu sedang ketemu dengan bidadari," sahutku dengan santai.
Sapono marah mendengar bantahanku dan akhirnya aku minta maaf, karena setelah mendengar kabar tetangga baru dari seorang tetangga yang lain, dan setelah melihat dengan mata kepala sendiri betapa cantik janda itu, kurasa yang Sapono bilang memang masuk akal. Orang itu secantik bidadari.
Aku dan istri pun tahu semakin hari Sapono semakin tergila-gila pada janda muda itu. Ia mulai jatuh cinta setelah kami temukan sebuah surat di laci kamarnya, yang selalu terbuka.
Istriku bilang, "Bagaimanapun, pada akhirnya adikku selalu menderita."
Aku tidak menyahuti kata-kata itu, karena semua juga tahu betapa orang gila yang memendam cinta, tidak akan bisa berakhir baik, terlebih yang dia cintai orang waras.
Sampai beberapa minggu berlalu, perempuan itu belum tahu perasaan Sapono yang sebenarnya, tentu saja. Aku dan istri juga tidak mungkin bicara soal itu kepadanya. Itu memang tidak akan mungkin. Anak-anak menjadi sedih dan malas belajar, setelah tahu paman mereka malas membacakan dongeng lucu seperti dulu. Aku coba menulis cerita dan membacakannya buat mereka, tetapi tanggapannya sangat berbeda.
"Lebih baik Ayah cari duit dan yang tugas baca-baca cerita cukup Paman Sapono!"
Aku tahu aku tidak berbakat mengarang. Aku juga tidak bisa membujuk Sapono kembali ke rutinitasnya sebagai penghibur anak-anak lewat dongeng. Ia juga tidak lagi peduli dengan rutinitas melamun dan mencari ikan di pagi hari sehabis subuh. Ia bahkan tidak lagi menggubris ketika anak-anak memanggil dari ruang tengah untuk menemani mereka menonton.
Jatuh cinta membuat Sapono berubah. Sehari-hari dia berjalan ke seputar dusun, dan lebih sering duduk di pos ronda dekat rumah yang belum lama ini dibeli oleh sang janda. Di sekitar rumah itu Sapono sering terlihat, tapi tidak ada seorang pun yang tahu tentang maksud si lelaki gila ini.
Aku dan istriku tahu perasaan Sapono, tidak seperti orang-orang waras lain, sebab kami sering mendengarnya mengigau di malam hari. Ia terus menerus memanggil nama janda tersebut, "Maria, oh, Maria!" Lalu memeluk guling dengan erat seakan ada suatu momen yang mana dia berhasil merebut hati si janda dan memeluknya.
Setahun berlalu tidak membuat Sapono pindah haluan. Ia terus begitu sampai suatu kali, karena keasyikan melamun, saudara iparku tertabrak bus hingga tewas. Anak-anak dan istriku tidak sanggup melihat gudang bekas tempat Sapono. Walau disebut gudang, tempat itu sangat layak, sebab sesekali kupakai untuk berlatih tinju atau sekadar duduk dan mengobrol seru dengan teman-teman kantorku ketika kami liburan.
Akhirnya barang-barang di ruang yang pernah ditiduri dan dipakai Sapono, sudah aku singkirkan. Anggota keluargaku tidak lagi pergi ke sana, sekalipun tempat itu sudah kubersihkan dan kucat untuk menghilangkan suasana lama di saat Sapono masih berada di sini.
Mereka terus dan terus mengenang Sapono lewat buku-buku tulis yang disimpan iparku tersebut secara rahasia di tumpukan pakaiannya. Di dalam buku-buku tersebut, terdapat banyak cerita lucu dan sedih, hasil karangan Sapono sendiri, yang tidak pernah dilirik penerbit.
"Suatu hari nanti," bisik istriku pada salah satu anak kami. "Suatu hari nanti karya-karya luar biasa ini akan dibaca banyak orang. Kita hanya menunggu waktu saja. Paman kalian tentu tidak akan keberatan kalau tulisannya diterbitkan."
Dengan cara ini, anak-anak dan istriku, juga termasuk aku (tanpa bisa kumungkiri), akan lebih damai mengenang kehadiran sosok Sapono yang gila dan gagal meraih cita-citanya, ketimbang cuma mengenangnya sebagai bujang tak waras yang hidupnya tidak pernah dianggap ada. Buku-buku tersebut meneguhkan sosok Sapono yang jauh lebih berarti di hati kami.
Gempol, 2019
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).