Memulai Keberanian Kecil untuk Melawan Pelecehan Seksual
Mayoritas korban pelecehan seksual mengaku takut melawan pelaku. Kini, sejumlah perempuan melawan ketakutan tersebut sambil merapal harapan untuk mengakhiri mata rantai pelecehan.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·4 menit baca
Saat ditanya, mayoritas perempuan mengaku marah saat dilecehkan orang lain, baik secara verbal (catcall) maupun fisik. Kendati demikian, amarah itu tidak pernah tersampaikan dengan baik. Rasa marah dan trauma mereka simpan rapat-rapat dalam hati. Di kemudian hari, amarah terhadap pelaku balik menyerang diri sendiri. Mereka menyalahkan diri karena ”gagal” menjaga diri.
Pelecehan seksual yang dialami Annisa (23) dua tahun lalu mengubah dirinya. Persona yang ditampilkan pelaku rupanya cuma manipulasi. Ia tidak akan lagi bersikap ramah terhadap orang asing, khususnya laki-laki. Ia tidak ingin kejadian pahit pada masa lalu terjadi lagi.
Menurut karyawan swasta ini, pelecehan seksual terjadi di dalam kereta. Pelakunya seorang lelaki berusia 30-an tahun dan merupakan oknum aparat penegak hukum. Ia disentuh ketika tidur.
”Sebelumnya, kami berkenalan dan ngobrol. Dia bercerita tentang istri dan anaknya. Aku benar-benar enggak menyangka akan diperlakukan begitu karena dia terlihat sangat menyayangi istrinya,” kata Annisa saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Rasa takut, marah, dan sedih bercampur jadi satu saat pelecehan terjadi. Ia ingin berteriak, tetapi badan tak mampu. Sentuhan si pelaku mematikan kemampuan tubuhnya untuk bergerak. Sambil pura-pura tidur, Annisa menahan tangis.
Setelah lima menit berlangsung, Annisa bangun, lalu pergi ke toilet. Ia mengunci diri di toilet selama 4,5 jam sambil menangis. Annisa diam di sana hingga keretanya tiba di Malang, Jawa Timur. Ia menunggu cukup lama hingga semua penumpang keluar, termasuk si pelaku. ”Aku enggak mau ketemu orang itu,” katanya.
”Padahal, saat itu aku memakai rok dan kerudung panjang. Pakaianku tidak ’mengundang’. Ternyata benar yang orang bilang bahwa pelaku pelecehan tidak memandang pakaian korban. Pikiran mereka saja yang bejat,” ucap Annisa.
Kejadian itu menimbulkan trauma. Ia tidak pernah mau lagi naik kendaraan umum. Kalaupun harus pergi dengan kereta atau pesawat, ia akan selalu minta duduk di sebelah perempuan. Ia juga mengubah cara berpakaiannya menjadi lebih santai. Itu karena ia tahu menutup aurat rapat-rapat bukan jaminan terlindung dari pelecehan.
Menyangkal diri
Menurut psikolog Tika Bisono, para korban pelecehan seksual punya kecenderungan untuk diam saat dilecehkan karena shock. Setelah itu, mereka akan menyangkal kejadian yang baru dialami (Kompas, 27/2/2020).
Padahal, saat itu aku memakai rok dan kerudung panjang. Pakaianku tidak ’mengundang’. Ternyata benar yang orang bilang bahwa pelaku pelecehan tidak memandang pakaian korban. Pikiran mereka saja yang bejat.
”Mereka menghindar agar tidak terasa seperti habis mengalami pelecehan seksual dan ingin melupakannya. Ketika korban marah, itulah masa ketika mereka menyadari realitas yang terjadi. Di saat itu pula mereka sudah bisa berpikir rasional,” kata Tika.
Menurut Tika, sosialisasi kepada masyarakat untuk menghadapi pelecehan seksual masih minim. Sejumlah korban mengaku bingung untuk melaporkan kasus pelecehan yang dialaminya. Hal ini sedikit banyak membuat pemberantasan kejahatan pelecehan sulit dilakukan.
Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016 oleh Badan Pusat Statistik yang didanai Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan, dari tiga perempuan Indonesia berusia 15-64 tahun atau sekitar 28 juta orang pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual oleh pasangan dan selain pasangannya. Lokasinya mencakup ruang privat dan publik, di kota dan di desa (Kompas, 20/1/2018).
Mereka menghindar agar tidak terasa seperti habis mengalami pelecehan seksual dan ingin melupakannya. Ketika korban marah, itulah masa ketika mereka menyadari realitas yang terjadi.
Menurut Catatan Kekerasan terhadap Perempuan 2018 oleh Komnas Perempuan, kekerasan yang paling menonjol terjadi di ranah KDRT/RP (kekerasan dalam rumah tangga/ranah pribadi) dengan angka 71 persen atau 9.637 kasus. Dari data itu, tidak sedikit yang mengalami kekerasan seksual.
Sementara itu, ada 3.915 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah publik atau komunitas. Kasus yang terjadi adalah pencabulan (1.136 kasus), pemerkosaan (762 kasus), pelecehan seksual (394 kasus), dan persetubuhan (156 kasus).
Berani menyangkal
Mahasiswa Yogyakarta, Thalia (23), pernah mengalami pelecehan verbal. Kejadian berlangsung di siang bolong saat ia berkendara di sekitar kampus. Ia lalu mematikan mesin motornya dan mendatangi pelaku.
”Aku pakai baju tertutup, tetapi tetap saja di-catcall. Saat aku tanya alasan kenapa mereka bersiul, mereka langsung kicep. Aku langsung pergi setelahnya,” kata Thalia.
Rasa marah dan takut yang ia rasa saat menerima pelecehan. Namun, ia memutuskan untuk melawan. Ia ingin mengakhiri rasa takutnya ketika dilecehkan secara verbal. ”Kalau tidak dilawan, (mereka) akan keterusan. Karena inilah (pelecehan), aku sampai takut bicara dengan laki-laki,” katanya.
Mahasiswa program studi hukum, Gina (20), juga pernah melawan pelaku pelecehan verbal. Ia jengah diganggu oleh sejumlah pedagang kaki lima di sekitar tempat indekosnya.
”Setelah berkali-kali di-catcall, akhirnya aku berhenti dan melototi mereka. Mereka sepertinya sadar dan tidak pernah lagi menggangguku,” kata Gina.
Semangat melawan pelaku pelecehan disebarkan juga di media sosial. Aktris Hannah Al Rashid menyebarkan semangat tersebut di Twitter. Dalam cuitannya, ia menceritakan pengalaman pelecehan verbal yang dialaminya hari ini. Ia pun menghampiri dan menegur si pelaku.
”Some of these men push their luck, some are just ignorant. Let’s educate them,” cuitnya.