Rumit dan Mahal, Penyelenggaraan Pemilu di Tengah Pandemi Covid-19
Korea Selatan berhasil menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi Covid-19. Namun, penyelenggaraannya berat dan rumit. Indonesia diharapkan tidak memaksakan menggelar pemilu di tengah pandemi, seperti Korea Selatan.
Oleh
INGKI RINALDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemilihan umum tetap dimungkinkan untuk diselenggarakan di tengah pandemi Covid-19. Akan tetapi, tak mudah menyelenggarakannya. Selain rumit, juga mahal. Untuk Indonesia, pemilu diharapkan baru digelar setelah pandemi berakhir.
Kesimpulan itu mengemuka dalam diskusi daring bertema ”Pemilu di Masa Pandemi Covid-19: Belajar dari Korea Selatan”, Selasa (21/4/2020). Diskusi tersebut diselenggarakan bersama oleh International IDEA (International Institute for Democracy and Electoral Assistance), Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas, serta Rumah Kebangsaan.
Hadir sebagai pembicara, Manajer Program Senior International IDEA Adhy Aman dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini. Kemudian Direktur Rumah Kebangsaan Erika Widyaningsih sebagai moderator.
Menurut Adhy, bukan mustahil untuk menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi Covid-19. Hanya saja, penyelenggaraan itu tidak mudah dan mahal. ”Berat, sulit, rumit, dan mahal. Ini mesti diingat,” katanya.
Ia mencontohkan pemilu di Korea Selatan (Korsel) yang tetap digelar, beberapa waktu lalu.
Korsel menerapkan pemungutan suara awal pada 10 dan 11 April lalu yang diikuti oleh sekitar 25 persen pemilih sebelum tiba waktu pemungutan suara yang jatuh pada 15 April 2020. Dengan demikian, bisa mengurangi jumlah pemilih di hari pemungutan suara.
Selain itu, para pemilih bisa memberikan suara di tempat pemungutan suara (TPS) mana pun. Bahkan, pemilih bisa menyalurkan pilihannya melalui pos.
Kemudian bagi pemungutan suara di TPS, protokol pencegahan Covid-19 betul-betul diterapkan. Ini misalnya diatur lewat garis-garis antrean yang memberikan jarak aman antara pemilih satu dan lainnya. Selain itu, diterbitkan pula kode perilaku bagi pemilih. Di antaranya berisikan tentang ketentuan untuk menggunakan masker, membersihkan tangan dengan cairan antiseptik, penggunaan sarung tangan plastik, pemeriksaan suhu tubuh, dan menjaga jarak.
Adapun bagi petugas penyelenggara pemilu, diharuskan menggunakan penutup wajah, selain masker dan sarung tangan.
Tak berhenti di situ, model kampanye pun diubah. Penggunaan teknologi digital dimaksimalkan, termasuk di dalamnya penggunaan teknologi augmented reality (realitas berimbuh).
Poin terpenting dari pemilu di Korsel, menurut Adhy, dibutuhkan kerangka pemilu dan kerangka hukum yang baik. Misalnya saja praktik pemungutan suara lewat pos, kerangka hukum dan praktik sebelumnya sudah ada sehingga tinggal diperluas saja penerapannya.
Hal lain yang juga penting, kesiapan penyelenggara pemilu yang dinilai Adhy sangat profesional dan memiliki kecukupan sumber daya manusia dalam menyelenggarakan pemilu yang sulit itu. Alam politik di Korsel, imbuh Adhy, juga dinilai kondusif dan memaklumi kondisi di tengah pandemi.
Karena itulah, Adhy menegaskan, tidak dianjurkan mencomot begitu saja pengalaman negara lain, seperti Korsel, untuk diterapkan di Indonesia. Pasalnya, setiap negara mempunyai kemampuan dan kondisi yang berbeda-beda. ”Tapi, pengalaman dan contoh negara lain berguna untuk membantu kita mengambil keputusan dalam mempertimbangkan opsi-opsi yang ada,” ujarnya.
Untuk Indonesia, Titi Anggraini melihat terlalu berisiko memaksakan pemilu tahun ini, di tengah pandemi Covid-19. Pemilu dimaksud, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.
Sekalipun waktu pemungutan suara pilkada telah diputuskan ditunda menjadi digelar pada 9 Desember 2020, tetap saja penyelenggaraan pada akhir tahun tersebut berisiko.
Sebab, tidak memberikan waktu yang cukup bagi penyelenggara pemilu untuk beradaptasi dan menyusun skenario guna menghindari masalah yang mungkin muncul. Apalagi, kalau diputuskan penggunaan teknologi dalam pilkada, dibutuhkan instrumen hukum dan pelatihan petugas untuk mewujudkannya.