Krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 membuat posisi pers semakin terancam. Padahal, fungsi pers sangat penting, lebih dari sebelumnya. Negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi pers dari ancaman ini.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran pers semakin penting dan relevan pada masa pandemi Covid-19 ini, tetapi tantangan pers juga semakin besar. Masih ada sejumlah regulasi mengancam kebebasan pers. Lebih dari itu, krisis ekonomi akibat pandemi ini memengaruhi masa depan dan keberlanjutan pers.
Padahal, keberhasilan melakukan komunikasi sangat menentukan kelancaran penanganan pandemi. Peran pers di sini sangat menentukan dan semakin penting. Pers berfungsi memasok informasi dan menjembatani berbagai pihak, termasuk pemerintah, untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat.
”Seharusnya negara hadir untuk melindungi industri pers karena industri ini merupakan sektor yang tidak boleh berhenti bekerja karena krisis,” kata anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, dalam diskusi daring bertema ”Korona dan Ancaman Kebebasan Pers” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam rangka memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia, Minggu (3/5/2020).
Bisnis perusahaan pers anggota SPS turun hingga 60 persen.
Data Serikat Perusahaan Pers (SPS) yang diterima Kompas menunjukkan, bisnis perusahaan pers anggota SPS turun hingga 60 persen. Kondisi ini berdampak pada pekerja pers, termasuk wartawan. Selain mengurangi halaman surat kabar, menurut Ketua Harian SPS Januar Primadi Ruswita, sejumlah perusahaan mengambil langkah efisiensi dengan memotong gaji karyawannya. Beberapa di antaranya juga sudah dan tengah mengkaji opsi ”pensiun” bagi karyawannya.
Dampak krisis akibat pandemi ini bagi wartawan terlihat dari data posko pengaduan yang dibuka Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan AJI Jakarta sejak 3 April 2020. Hingga 2 Mei, posko ini menerima 61 pengaduan wartawan dari 14 media di Jakarta dan sekitarnya. Dari jumlah itu, 26 wartawan mengadu karena pemutusan hubungan kerja (PHK). Adapun yang lainnya menyampaikan pengaduan karena dirumahkan tanpa gaji, pemotongan gaji, serta penundaan gaji atau tunjangan.
Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan dalam diskusi tersebut mengatakan, krisis ekonomi akibat pandemi menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers. ”Kesejahteraan wartawan harus memadai sehingga ia bisa bekerja dengan baik. Hampir tidak mungkin ada pers profesional dan kebebasan pers jika wartawannya tidak sejahtera,” katanya.
Karena itu, lanjut Agus, negara harus hadir memberikan perlindungan agar pers tetap berfungsi dengan baik. Caranya, memberikan afirmasi yang bisa berupa relaksasi pajak dan insentif dengan tetap menjaga prinsip kebebasan pers. Beberapa waktu lalu, Dewan Pers bersama konstituen pers mengusulkan melalui pemerintah agar negara memberikan insentif bagi perusahaan pers.
”Jangan hanya melihat (perusahaan) pers dari skala ekonomi, tetapi fungsi sosial politiknya. Selain itu, APBN adalah dana publik yang dialokasikan untuk kepentingan publik. Memperjuangkan daya hidup pers sama dengan memperjuangkan kepentingan publik,” ujar Agus.
Kekerasan terhadap wartawan
Selain kondisi ekonomi, sejumlah peraturan yang tidak berpihak pada pers masih mengancam kebebasan pers di Indonesia. Mulai dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), surat telegram Kapolri tentang tindak pidana pada ranah siber, hingga Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan RUU Cipta Lapangan Kerja yang tengah dibahas pemerintah dan DPR.
”Revisi KUHP sebenarnya ide bagus, masalahnya tidak terlihat semangat reformasi dalam revisi ini. Paling tidak ada sembilan pasal yang sangat ’karet’ dan mudah untuk menjerat wartawan atau dipakai orang-orang untuk mengintimidasi wartawan,” kata Manan.
Demikian juga dengan RUU Cipta Lapangan Kerja. Jika diundangkan, RUU itu juga bisa memperburuk iklim kebebasan pers di Indonesia yang tahun ini membaik lima poin, naik ke posisi ke-119 dibandingkan tahun lalu. Berdasarkan survei lembaga pemantau Reporters without Borders (RSF), kebebasan pers di Indonesia membaik karena adanya ekosistem yang mendukung kebebasan pers, yaitu Presiden Joko Widodo yang berada dalam posisi menempatkan kebebasan pers di masa jabatan keduanya ini.
Dengan kondisi tersebut, media di Indonesia dinilai dapat memainkan peran yang sangat menentukan dalam memastikan bahwa demokrasi berfungsi sebagaimana mestinya, terutama selama Pemilu 2019. Namun, setelah pemilu, Manan melihat, iklim politik di Indonesia berpotensi mengancam kebebasan wartawan dan media.
”Sejumlah wartawan mengalami kekerasan, bahkan dilakukan oleh aparat keamanan, justru ketika mereka sedang melaksanakan fungsi kontrol sosial. Kasus kekerasan terhadap wartawan setelah reformasi cenderung tinggi dan sebagian besar kasusnya tidak diproses secara hukum,” ujarnya.
AJI Indonesia mencatat, terdapat 53 kasus kekerasan terhadap wartawan pada tahun lalu, yang sebagian besar dilakukan oleh aparat keamanan. Sementara LBH Pers mencatat, terjadi 75 kasus kekerasan terhadap wartawan. Karena itu, AJI Indonesia mendesak aparat penegak hukum memproses dengan serius laporan kasus kekerasan terhadap wartawan dan media.