Mayoritas Warga Cemas Selama Pandemi Covid-19, Butuh Layanan Dukungan Psikososial
Mayoritas masyarakat mengalami kecemasan selama pandemi Covid-19. Padahal, kecemasan dapat memengaruhi turunnya imunitas seseorang. Pemerintah perlu memperluas layanan dukungan psikososial terhadap masyarakat.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mayoritas masyarakat mengalami kecemasan dalam aspek pendidikan, ekonomi, agama hingga interaksi sosial selama pandemi Covid-19. Dalam hal ini, dukungan psikososial perlu diperluas untuk menjangkau lebih banyak masyarakat.
Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) dan Ikatan Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (IKA FKM) Universitas Airlangga merilis hasil studi psikososial masyarakat Indonesia di masa pandemi covid-19. Kondisi psikosial dipotret dari lima aspek, yakni pendidikan, ekonomi, pekerjaan, agama, dan interaksi sosial.
Studi tersebut dilakukan pada periode 6-13 Juni 2020 dengan cara menyebarkan kuesioner secara daring. Responden yang terlibat sebanyak 8.031 orang dari 34 provinsi. Adapun uji mutivariat yang dilakukan menggunakan the multinominal logistic regression.
”Dari studi ini disimpulkan bahwa banyak masyarakat yang membutuhkan layanan dukungan psikososial selama pandemi covid-19,” kata Sekretaris Jenderal Persakmi Rachmad Pua Geno saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (30/6/2020).
Hasil dari studi menjelaskan bahwa 56,5 persen masyarakat Indonesia mengalami kecemasan selama pandemi Covid-19. Pendidikan menjadi aspek yang paling dicemaskan, yakni sebesar 74 persen. Diikuti dengan aspek interaksi sosial (67 persen), pekerjaan (63 persen), ekonomi (58 persen), dan agama (55 persen).
”Mayoritas yang merasakan cemas adalah kelompok usia 30-39 tahun, yakni 60,16 persen, dan perempuan, 77,7 persen,” tambah Rachmad.
Dari aspek pendidikan, kecemasan masyarakat dipengaruhi oleh sulitnya memahami materi (37,4 persen), terkendala kuota internet (30,2 persen) dan terkendala sinyal (19,28 persen). Pengaruh lainnya karena kualitas gawai yang kurang mumpuni atau kurangnya penguasaan guru dan dosen pada pembelajaran daring.
”Mereka mengatasi kecemasan dengan bertanya kepada teman jika menghadapi materi yang sulit dipahami. Untuk mengatasi kendala sinyal, mereka mencari fasilitas Wi-Fi,” kata Ketua IKA FKM Universitas Airlangga Estiningtyas Nugraheni.
Untuk aspek ekonomi, kecemasan yang dihadapi oleh masyarakat dipengaruhi oleh kurangnya pemasukan (58,59 persen) dan bertambahnya pengeluaran (17,8 persen). Dalam mengatasi kecemasan ini, masyarakat cenderung berhemat dan mencari alternatif lain untuk mendapatkan pemasukan.
Pengurangan pendapatan selama pandemi Covid-19 juga menyebabkan 30,3 persen masyarakat merasa cemas dalam pekerjaan. Selain itu, mereka cemas karena sulit berkoordinasi dengan teman kerja, tidak dapat membagi waktu, khawatir menggunakan transportasi umum dan menghadapi kantor yang belum siap menerapkan protokol kesehatan.
”Masyarakat mengatasi kecemasan tersebut dengan meminta perpanjangan waktu bekerja dari rumah. Ada juga yang curhat melalui media sosial,” kata Esti.
Dari sisi agama, masyarakat yang merasa cemas karena tidak dapat beribadah di tempat ibadah adalah sebanyak 77,34 persen. Sebanyak 14,63 persen juga cemas karena tidak dapat bertemu dengan saudara seiman dan 6,78 persen cemas karena tidak mendapatkan ilmu agama.
”Angka ini mungkin dipengaruhi oleh tradisi Idul Fitri yang tidak dapat dilakukan selama pandemi Covid-19,” kata Rachmad.
Sebanyak 1,25 persen juga cemas karena takut dianggap tidak beragama. Mereka kemudian mengatasi kecemasan tersebut dengan cara curhat lewat media sosial. Cara lain untuk mengatasi kecemasan adalah dengan mendengarkan ceramah daring dan membaca kitab suci.
Penyebab kecemasan pada aspek interaksi sosial didominasi oleh kurangnya interaksi dengan saudara, tetangga dan teman (45,56 persen) serta kekhawatiran atas kondisi keluarga (34,07 persen). Faktor lainnya adalah bosan di rumah (10,41 persen), perasaan kehilangan (8,53 persen) dan tinggal di indekos dengan banyak orang (0,43 persen).
Untuk mengikis kecemasan itu, mereka tetap bersosialisasi menggunakan masker dan menjaga jarak. Mereka juga mengatasi bosan dengan bermedia sosial. Sebagian masyarakat bahkan memutuskan untuk mudik.
Layanan diperluas
Dalam hal ini, Persakmi dan IKA FKM Universitas Airlangga mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menyediakan layanan dukungan psikososial yang lebih luas kepada masyarakat. Tidak hanya untuk yang sakit, masyarakat yang sehat secara fisik juga butuh saluran konsultasi dengan para ahli.
”Selama ini layanan dukungan psikososial tersebut hanya diberikan kepada orang yang terkonfirmasi covid-19,” kata Rachmad.
Studi psikososial masyarakat Indonesia pada masa pandemi Covid-19 ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi pemerintah untuk memetakan kelompok-kelompok yang membutuhkan layanan tersebut, misalnya kelompok usia 30-39 tahun, perempuan, petani, serta orang yang belum atau tidak bekerja.
Menurut Psikolog Klinis yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Fitri Fausiah, kecemasan berlebih yang terus-menerus dapat menurunkan imunitas tubuh. Padahal, pada masa sekarang imunitas tubuh sangat dibutuhkan untuk melawan Covid-19 (Kompas, 28 Maret 2020).
Pendiri Psychological Healthcare Center (IndoPsyCare) Phil Edo mengatakan, kecemasan juga dapat memengaruhi produktivitas seseorang sehingga roda ekonomi tidak dapat berputar sebagaimana mestinya. Hal ini ia amati dari sejumlah pasien yang datang ke kliniknya selama pandemi Covid-19.
Beberapa pasien yang merasa cemas juga datang ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan Covid-19. Mereka datang bukan karena mengalami gejala, tetapi karena kecemasan berlebih. ”Sumber daya yang seharusnya bisa untuk pasien Covid-19 justru digunakan untuk mereka,” katanya.
Menurut Edo, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi kecemasan. Pertama adalah dengan melakukan relaksasi rutin tiga kali sehari setiap selesai makan. Teknik relaksasi apa pun bisa dilakukan, asal tubuh bisa menjadi rileks.
Salah satunya adalah dengan relaksasi pernapasan. Caranya adalah dengan menarik napas selama 4 detik. Kemudian tahan napas selama 5 detik sebelum diembuskan selama 6 detik. Hal itu bisa diulang sebanyak tiga kali.
”Bisa juga dengan cara progressive muscular relaxation, yaitu mengencangkan otot tangan selama 2 detik dan melepaskannya selama 4 detik. Ulangi selama tiga kali untuk seluruh otot dari telapak kaki hingga alis,” ujarnya.
Selain relaksasi pribadi, cara mengatasi kecemasan lainnya adalah melalui konsultasi daring dengan para psikolog di layanan sejiwa milik Kementerian Kesehatan. Konsultasi daring juga bisa dilakukan di aplikasi-aplikasi gawai serta biro dan klinik terpadu.
”Bisa juga dengan cara progressive muscular relaxation, yaitu mengencangkan otot tangan selama 2 detik dan melepaskannya selama 4 detik. Ulangi selama tiga kali untuk seluruh otot dari telapak kaki hingga alis,” ujarnya. Bisa juga lewat bantuan psikiatri, yaitu berkonsultasi tatap muka secara langsung dengan psikiater di rumah sakit untuk mendapatkan bantuan farmakoterapi,” katanya.
Sementara itu, berdasarkan tingkat pendidikan, masyarakat lulusan SMA lebih merasa cemas dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi. Lulusan SMA yang merasa cemas mencapai 77,8 persen. Sebanyak 21,4 persen di antaranya mengaku sangat cemas.
”Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap proteksi kecemasan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, kemungkinan tingkat kecemasannya semakin kecil,” kata Rachmad.