Publikasi ini mengungkap kisah dan geliat kopi Nusantara. Keanekaragaman kopi, sejarah, industri, tren ”ngopi”, hingga kisah berbagai gerakan sosial yang tumbuh diungkap di dalamnya.
Menikmati secangkir kopi sudah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia. Hal tersebut terlihat dari tingkat konsumsi kopi di Indonesia yang mencapai 5 juta kantong berukuran 60 kilogram pada periode 2020/2021 berdasarkan data International Coffee Organization (ICO). Padahal, pada periode sebelumnya hanya 4,81 juta kantong berukuran 60 kg, yang artinya meningkat sekitar 4,04 persen.
Indonesia menjadi surganya kopi, dengan penghasil kopi nomor keempat di dunia. Beragam sisi kopi diulas tuntas dalam buku Jelajah Kopi Nusantara (Penerbit Buku Kompas, 2021). Buku yang berisi kumpulan tulisan bertemakan kopi ini menceritakan jenis kopi di Indonesia, kopi sebagai bagian dari wisata dan tradisi, penanaman kopi, perdagangan kopi, hingga kaitannya romantisisme kopi dengan petani.
Buku setebal 354 halaman ini mengungkap keberadaan kopi sebagai warisan yang abadi. Salah satunya kopi Mandheling. Kopi Mandeling sebutan dagang untuk kopi arabika yang berasal dari dataran tinggi Sumatera Utara, tetapi dikirim melalui pelabuhan Natal, Kabupaten Mandailing Natal. Kopi ini nyaris dilupakan sebab tanaman kopi sempat dibabat akibat harganya anjlok sejak sepuluh tahun lalu. Tak hanya itu, hasil panen kopi terus menurun karena kualitas benih kurang baik sehingga kebun kopi diganti dengan tanaman lain.
Saat kebutuhan kopi meningkat, produksinya justru menurun. Fenomena tersebut diamati oleh Dewan Penasihat Kopi Spesialti Indonesia, Surip Mawardi. Kenaikan suhu permukaan bumi mengakibatkan tanaman kopi harus ditanam di lahan yang kian bergeser ke atas. Akibatnya, lokasi tanaman kopi sebelumnya digantikan tanaman lain.
Perkebunan kopi juga masih harus berhadapan dengan hama dan penyakit. Hama dan penyakit pada tanaman kopi juga bisa muncul dari bibit tanaman atau obat-obatan dari luar. Seperti kopi yang berasal dari Papua akan berisiko terkena hama dan penyakit jika mendapatkan obat kimia. Resep alami seperti gula, beras, dan lainnya menjadi obat nonkimia yang biasa digunakan untuk membasmi hama atau penyakit yang menyerang tanaman kopi.
Jelajah Kopi Nusantara juga mendapati ada berbagai ragam cara masyarakat menikmati kopi. Kehadiran warung-warung kopi menjadi penanda sejarah, sebut saja di Maluku banyak politisi menjadikan warung kopi sebagai area diskusi, bertemu konstituen, dan ruang unjuk kekuatan politik. Salah satunya adalah Rumah Kopi Trikora di Ambon yang berdiri di perbatasan daerah komunitas Islam dan Kristen.
Tradisi ngopi menjadi salah satu cara masyarakat berkomunikasi. Terjalinnya komunikasi dapat dilakukan di warung kopi tanpa memandang kelas sosial. Warung-warung kopi tersebut bahkan bisa dijadikan destinasi wisata. Belitung menjadi salah satunya. Dahulu daerah ini dikenal sebagai tambang timah, tetapi kini menjadi kota wisata yang mengandalkan paket ngopi. Setiap orang dapat berkunjung ke Warung Kopi Ake yang berdiri sejak 1922 dan Kong Djie sejak 1943.
Kopi dan wisata bisa menjadi penyangga ekonomi yang potensial. Selain Belitung, Bali juga bisa menjadi destinasi wisata terkait penggunaan kopi dalam tradisi Bali. Kopi menjadi bagian dari banten saiban, yakni sesaji yang dipersembahkan bagi leluhur setiap hari.Tradisi banten saiban ini tidak hanya di rumah saja, tetapi di tempat usaha seperti kafe juga dapat disiapkan.
Kopi menempati ruang sakral di hati orang Bali. Setiap 25 hari sebelum hari raya Galungan, dalam sebuah upacara Tumpek Uduh atau Tumpek Wariga, penduduk Bali akan menyambut turunnya Sanghyang Sangkara, dewa penjaga tumbuh-tumbuhan, di Pura Kopi. Selain Bali, kopi juga menjadi daya tarik wisata di Kampung Adat Waerebo, Nusa Tenggara Timur. Wisatawan diajak menikmati kopi sejak dari kebun petani.
Kumpulan tulisan tentang manis pahitnya kopi diharapkan dapat memunculkan semangat untuk membangkitkan aroma kopi Nusantara. (LITBANG KOMPAS)