Bahasa tidak hanya menjadi media dasar penerimaan gagasan baru. Namun, mampu mengonsolidasikan kekuatan sosial.
Oleh
ARIEF NURRACHMAN
·5 menit baca
Pada peristiwa Sumpah Pemuda 1928, bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa yang mempersatukan segala perbedaan suku dan budaya bangsa. Konsensus bersama ini merupakan hasil perdebatan panjang sejak awal tumbuhnya pergerakan. Pada tahun 1920-an, ketika organisasi-organisasi bumiputra bermunculan, bahasa hanya digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pikiran politik.
Kala itu tiap organisasi masih menggunakan bahasanya masing-masing yang umumnya bahasa daerah, Melayu, Tionghoa, dan sebagian kecil bahasa Belanda. Namun, sebagian dari tokoh pergerakan mempunyai gagasan nasionalisme. Mereka sepakat, diperlukan adanya bahasa persatuan untuk melawan hegemoni kolonial Belanda.
Upaya memperkenalkan bahasa persatuan ini melewati pergulatan yang rumit, tidak hanya karena adanya pertentangan di antara tokoh-tokohnya atau friksi aliran politiknya, namun terjadi pergeseran makna bahasa yang digunakan sebagai akibat adanya perubahan sosial yang terjadi. Seperti penggunaan kata”proletar” (banyak digunakan di tahun sebelum 1920) diganti dengan ”ra’jat” (setelah 1927).
Situasi politik
Perubahan penggunaan kata tersebut sangat berhubungan erat dengan situasi politik yang terjadi pada periode waktu itu. Kata ”proletar” banyak dipakai oleh surat kabar Belanda ketika kapitalisme mulai masuk ke perdesaan sehingga menciptakan kalangan buruh. Baru ketika gagasan modern ditangkap oleh para tokoh pergerakan, kata ”proletar” mulai diganti oleh media-media nasionalis menjadi ”ra’jat”. Di sinilah terjadi pertempuran kata-kata di antara media massa Belanda dan media milik tokoh pergerakan nasional.
Proses pergeseran makna bahasa pada periode 1927-1928 bisa dibaca dalam buku Hilmar Farid dengan judul Perang Suara: Bahasa dan Politik Pergerakan (Komunitas Bambu, 2024). Buku ini merupakan hasil penelitian skripsi Hilmar pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia beberapa dekade silam. Pada buku setebal 140 halaman ini dibahas secara rinci, peran bahasa sebagai media gagasan baru akhirnya dapat menciptakan konsolidasi politik dan pergolakan sosial.
Hilmar memberikan latar bagaimana awalnya gagasan-gagasan baru itu bisa ditangkap dalam khazanah pengetahuan orang Indonesia, yaitu dari berkembangnya kapitalisme pada abad ke-19. Kapitalisme menciptakan pembedaan dalam kelas masyarakat. Tanah dan tenaga kerja menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Secara bertahap sistem ini menggoyahkan hubungan sosial dan ikatan-ikatan tradisional. Proses polarisasi dan pemusatan pemilikan tanah pada akhirnya memicu ketegangan dan konflik
Di sisi lain, kapitalisme juga membuat pemerintah kolonial membutuhkan sumber daya pamong praja untuk mengawasi administrasi modal yang ada. Usaha ini kemudian melahirkan orang-orang bumiputra yang menguasai dua atau bahkan tiga bahasa sekaligus, yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan penguasa kolonial.
Gagasan nasionalisme
Pengalaman pendidikan modern ini membentuk kesadaran yang baru bagi kaum bumiputra yang mengalaminya. Di sekolah-sekolah, mereka belajar banyak hal modern dalam bahasa Belanda ataupun Melayu. Penggunaan bahasa ini memaksa mereka meninggalkan bahasa serta alam pikir yang dirumuskan dalam bahasa tersebut dan mulai berpikir dalam bahasa modern. Mereka inilah yang kemudian mengembangkan gagasan modern tentang ”bangsa” di Hindia Belanda, termasuk di dalamnya ide tentang nasionalisme.
Upaya mewujudkan gagasan nasionalisme melalui bahasa bukan perkara mudah, mengingat adanya perbedaan bahasa sebagai akibat perbedaan kelas sosial kala itu. Hilmar menunjukkan bahwa kendati sama-sama berbahasa Melayu, terdapat perbedaan dialek yang disesuaikan dengan kelas sosialnya. Misalnya, dialek Melayu tinggi banyak digunakan kaum priayi yang memperoleh akses pendidikan dari pemerintah kolonial Belanda. Bahasa Melayu tinggi ini menjadi bahasa ”sah” yang dikembangkan oleh Belanda.
Di sisi lain, kebanyakan orang bumiputra menggunakan bahasa Melayu rendah yang berlainan, di samping bahasa daerah yang tetap menjadi bahasa ibu bagi setiap suku bangsa. Ciri bahasa Melayu rendah (selanjutnya berubah menjadi Melayu pergerakan) ini campuran dari kata-kata dari bahasa China, Belanda, Jawa, dan lainnya.
Pada awal pergerakan, bahasa Melayu pergerakan ini paling banyak digunakan oleh kaum pergerakan dalam terbitan mereka. Hampir di setiap pertemuan dan rapat digunakan bahasa Melayu pergerakan. Percetakan dan penerbitan menjadi kekuatan yang mengangkat bahasa Melayu pergerakan dari bahasa percetakan masuk ke dalam teks cetakan serta senantiasa mendobrak pembatasan, larangan, dan aturan dari pemerintah kolonial tentang bahasa.
Dalam perkembangannya, bahasa mampu menciptakan kekuatan-kekuatan sosial baru dalam masyarakat Hindia serta tumbuhnya organisasi-organisasi politik. Tampak adanya hubungan dialektik antara kabar dan pikiran politik, yang muncul dalam tulisan ataupun pertemuan dan aktivitas sehari-hari di organisasi, dalam pengertian bahwa kabar dan pikiran politik yang menggerakkannya.
Upaya pertarungan penyatuan bahasa ini semakin mendapat tantangan ketika memasuki periode politik etis. Pemerintah kolonial berupaya menangkal pengetahuan dari kaum pergerakan melalui bimbingan pendidikan (aneksasi spiritual) yang digagas oleh Snouck Hurgronje, seorang orientalis. Bimbingan pendidikan berupa keterampilan, seperti pertanian dan ilmu alam, sengaja disebarkan untuk meredam segala informasi yang berkaitan dengan pergerakan politik.
Misi ini direalisasikan dengan didirikannya Balai Poestaka pada 22 September 1917. Badan ini bertugas menerbitkan dan menyunting semua bacaan yang akan disebarkan oleh rakyat. Standardisasi bahasa yang digunakan di sekolah juga ditentukan oleh Balai Poestaka.
Upaya penyeragaman ini bagi sebagian penulis dipandang positif karena membawa sesuatu yang menguntungkan perkembangan bahasa Indonesia. Namun, bagi Hilmar, penyeragaman ini justru menghilangkan kosakata dalam bahasa Melayu pergerakan, misalnya kata ”demonstratie” diganti ”Volksraad”; ”pergerakan ra’jat” diganti ”gerakan ekstrim”, dan ”kapitalist jang mengisep darah” menjadi ”Pengoesaha” atau ”Saudagar”.
Gambaran itu menunjukkan, dalam proses pembentukan makna, pertarungan tidak hanya berlangsung di antara gagasan-gagasan dalam tubuh pergerakan, tetapi juga dengan pemerintah kolonial yang juga bereaksi dengan bersenjatakan bahasa. (LITBANG KOMPAS)
Data Buku
Judul: Perang Suara: Bahasa dan Politik Pergerakan