Petualangan Wartawan Kompas di Etiopia, ”the Land of Origin”
SENYAP. Telepon genggam saya tiba-tiba tidak dapat mengirimkan pesan apa pun dari aplikasi percakapan di Bandara Addis Ababa, Etiopia. Tidak ada satu pun surat elektronik yang masuk di telepon genggam saya. Padahal, ketika turun dari pesawat, lazimnya saya mengecek telepon genggam. Setidaknya, saya segera mengirim pesan ke keluarga bahwa telah tiba di tempat tujuan.
Ternyata, Kamis (25/5) itu, di Bandara Addis Ababa tidak ada jaringan internet yang bisa diakses. Saya sedikit kaget, bahkan mulai panik. Namun, begitu semakin jauh melangkahkan kaki, saya makin mengetahui ada banyak warga Etiopia yang marah-marah karena kehilangan akses terhadap internet meski internet sebenarnya belum menjadi candu bagi masyarakat setempat.
Namun, lebih mengejutkan lagi saat mendapat informasi bahwa jaringan internet di negeri itu dihentikan mungkin selama lebih dari seminggu penuh demi menghindari bocornya ujian nasional. Pada Juli 2016, Pemerintah Etiopia merasa ”kebobolan” karena lembar ujian masuk perguruan tinggi diunggah secara daring.
Bayangkan apabila itu terjadi di Indonesia. Banyak pekerjaan dan bisnis terbengkalai. Mungkin, kami, wartawan, kembali mengirim berita dengan mesin faksimile. Bayangkan jika itu terjadi di negara maju, berapa besar kerugian ekonominya?
Ketika keluar dari terminal kedatangan, ternyata kami tidak dijemput. Saya kemudian berinisiatif berjalan berkeliling mencari meja Ethiopian Tourism Organization untuk memesan kendaraan menuju ke hotel.
Sebelum mobil penjemput tiba, saya juga mencoba menukar mata uang dollar AS ke pecahan mata uang lokal birr. Kami menerima lembar demi lembar uang yang superdekil. Warna putih pada lembaran uang umumnya sudah berganti menjadi coklat atau kekuningan dengan beberapa luka sobekan di beberapa bagian. Ajaibnya, ketika hendak meninggalkan negeri itu, money changer tidak mau menukarkan lagi mata uang birr itu ke dollar AS. Betapa membingungkannya.
Ketika hendak meninggalkan negeri itu, ”money changer” tidak mau menukarkan lagi mata uang birr itu ke dollar AS.
Berkunjung ke Etiopia memang ibarat penjelajahan tiada henti. Negara di tanduk Benua Afrika ini memang tak lagi menjadi daerah gelap yang tak terpetakan seperti pada pertengahan abad ke-19. Namun, selalu ada kejutan kala menapaki tiap jengkal tanahnya.
Mengapa saya ke Etiopia? Bersama rombongan wartawan serta perwakilan biro wisata dari Amerika, Eropa, dan Afrika, kami diundang oleh Ethiopian Tourism Organization untuk berkeliling menyaksikan keunikan Etiopia selama lebih kurang 12 hari, sejak 25 Mei hingga 5 Juni 2017. Kami diundang, lho, tapi ya sudah, lupakan saja insiden tiada penjemputan di bandara.
Apa pun, undangan ini merupakan kesempatan yang sulit dilewatkan. Tidak banyak pula wartawan Kompas yang berkesempatan ke Benua Afrika. Di sisi lain, tiap tahun selalu saja ada banyak wartawan Kompas yang terbang hingga Benua Eropa dan Amerika.
Sekali waktu, pemandu di Museum Nasional Etiopia, Melaku Mehari, menyapa kami dengan kalimat ini, ”Dari mana pun kamu berasal, Etiopia adalah rumah pertamamu.” Welcome home, selamat datang di rumah kalian.
Ternyata, warga Etiopia pun meyakini negerinya merupakan lokasi Taman Eden, tempat diturunkannya Adam dan Hawa. Menurut Duta Besar Etiopia untuk Indonesia Arega Hailu Teffera, keyakinan itu diperkuat oleh hadirnya temuan-temuan arkeologis seperti tulang belulang Lucy yang berumur 3,2 juta tahun yang merupakan nenek moyang manusia.
Ternyata, warga Etiopia pun meyakini negerinya merupakan lokasi Taman Eden, tempat diturunkannya Adam dan Hawa.
Tulang belulang Lucy kini tersimpan di Museum Nasional Etiopia. Museum itu pun mengusung slogan the Land of Origin alias tanah asal mula. Baiklah.
Sebelum mendarat, saya juga diberi tahu bahwa Etiopia memakai kalender Julian. Kalender itu mulai digunakan oleh Julius Caesar sejak 1 Januari tahun 45 sebelum Masehi. Kalender itu tetap digunakan karena pengaruh kuat Gereja Ortodoks.
baca: artikel Harian Kompas soal keragaman budaya dan kepercayaan di Etiopia
Yang membedakan kalender Julian dengan kalender Gregorius yang kita gunakan adalah lebih muda tujuh tahun. Wow, seolah-olah, seketika saya menjadi tujuh tahun lebih muda.
Dengan mobil jemputan, kami menuju persinggahan pertama kami yang cukup nyaman, hotel bintang empat: Golden Tulip. Hotel dengan 90 kamar, dengan tarif per malam rata-rata lebih dari Rp 1,5 juta.
Namun, kontras dengan hotel itu. Di tiap sudut di ibu kota Addis Ababa, kami menjumpai banyak gelandangan yang tidur di jalanan berdebu dengan selimut serupa sarung.
Di jalanan berdebu itu pula, penjaja bersimpuh di tepi jalan membakar jagung bakar. Pengemis dengan mudah dijumpai di setiap sudut kota Addis Ababa.
Kendaraan umum penuh sesak dengan penumpang terutama pada jam berangkat atau pulang kerja. Biasanya, warga mengular antre menunggu giliran masuk ke angkutan umum.
Obyek-obyek vital seperti bank dijaga superketat dengan pintu berterali besi. Bahkan, lokasi pembelian kartu telepon seluler pun dijaga empat penjaga keamanan yang mengecek dengan saksama isi tas kami. Saya memang terpaksa mencari nomor lokal karena kartu Telkomsel tidak dapat digunakan.
Ketatnya pengamanan menjadi sesuatu yang wajar karena Etiopia dikelilingi negara-negara yang masih berkonflik. Sebelum masuk bandara, misalnya, pengamanan bisa berlapis-lapis dan pelancong harus selalu siap sedia memperlihatkan paspor. Tidak usah kesal karena itu standar prosedur di Etiopia.
Kami memang berkali-kali menuju bandara untuk menggunakan jasa penerbangan. Setidaknya, kami terbang dengan tujuh penerbangan lokal untuk berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, dari utara hingga selatan Etiopia.
Kenapa tidak menggunakan angkutan darat? Ternyata, infrastruktur jalan di Etiopia terbilang ”horor” untuk perjalanan jarak jauh. Jalanannya berdebu serta tidak ada rumah makan atau toilet yang memadai. Bahkan, dalam satu jam perjalanan belum tentu bertemu dengan kendaraan lain.
Bahkan, dalam satu jam perjalanan belum tentu bertemu dengan kendaraan lain.
Addis Ababa juga seolah terletak di jantung negeri sehingga menjadi hub dari penerbangan-penerbangan di Etiopia.
Begitu ke luar dari ibu kota, alam pedesaan khas Afrika segera menyambut kami. Jelas pemandangannya lebih menarik daripada Addis Ababa.
baca: artikel Harian Kompas terkait kehidupan pedesaan di Etiopia
Ketika kami berkendara melalui jalan darat, seperti dari Arba Minch ke Turmi, ada banyak sekali anak-anak yang menari di kiri dan kanan jalan. Sembari menari, mereka berteriak, ”pen... pen...” atau ”highland... highland”. Kami sempat tidak mengerti maksudnya, tetapi kemudian kami diberi tahu bahwa ”pen” merujuk pada pulpen, sedangkan ”highland” adalah merek air minum kemasan.
Ternyata, mereka butuh pulpen untuk belajar, sedangkan botol air minum kemasan untuk membawa bekal air. Wilayah menuju Turmi memang tergolong daerah paling kering. Ketika saya melintas, terlihat banyak warga antre mengambil air di sumur-sumur pompa. Sungai-sungai di daerah ini pun telah mengering.
Di beberapa wilayah yang rawan kekeringan, Pemerintah Etiopia telah membangun dam raksasa. Dam terluas nomor tujuh di dunia pun dibangun di Etiopia, yang juga menyediakan listrik termurah di dunia.
Ketika mengunjungi Gondar, koordinator perjalanan, Weldegebriel Berhe, memperlihatkan dam dengan air yang mulai terisi oleh hujan pada awal musim. ”Kekeringan tak akan memunahkan peradaban kami. Memang ada jarak yang harus ditempuh untuk ambil air, tetapi juga akan selalu ada negara donor yang membantu kami,” kata Weldegebriel.
Membangun pariwisata
CEO Ethiopian Tourism Organization Yohannes Tilahun menegaskan, dirinya telah mendedikasikan setiap hari dalam hidupnya untuk menghilangkan citra negatif tentang Etiopia sebagai negara yang menderita bencana kelaparan. ”Ini sangat sulit. Sejak usia 10 tahun, saya sering ditanya soal bencana itu. Namun, kala itu, saya masih tidak tahu apa-apa,” ujar Yohannes, yang lama tinggal di Amerika.
”Sekitar 40 tahun lalu, kami tidak punya apa-apa selain anak-anak yang kelaparan. Sekarang, kami membangun ekonomi kami. Ini tugas berat. Salah satu sektor yang kami harapkan bisa membantu kami keluar adalah pariwisata. Jangan lihat kami sekarang, tetapi lihat akan menjadi apa kami nanti. Kami punya ambisi, kami punya talenta,” ditegaskan oleh Yohannes.
baca: artikel Harian Kompas soal pembangunan pariwisata di Etiopia
Diakui Yohannes, Etiopia melakukan banyak kesalahan di masa lalu. Kira-kira 25 tahun lalu, Etiopia merupakan negara gagal dengan 66 persen masyarakat berada di bawah garis kemiskinan. Saat ini, Etiopia tergolong sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat. Namun, defisit pendapatan Etiopia masih mencapai 10 miliar dollar AS.
Bagaimana Etiopia menatap masa depan? Sektor pariwisata jelas menjadi salah satu andalan pendapatan baru bagi Etiopia. Negara ini punya modal pariwisata yang sangat besar, mulai dari keindahan alam, sejarah, tradisi, hingga peninggalan arkeologinya. Keragaman suku bangsa juga melahirkan keragaman budaya. Belum lagi temuan arkeologi yang membawa perjumpaan pada masa awal peradaban manusia.
Di Gunung Simien yang dijuluki ”atap Afrika”, wisatawan dengan mudah bisa menjumpai monyet gelada dengan bleeding-hear hingga kambing ibex. Binatang liar seperti kuda nil dengan mudah dijumpai di habitat aslinya, antara lain di Danau Tana dan Danau Chamo.
Danau Tana yang merupakan danau terbesar di Etiopia juga sumber mata air bagi Sungai Blue Nil. Etiopia juga menjadi rumah bagi burung-burung liar. Nelayan dengan kapal daun papirus di Danau Tana pun selalu mengandalkan bangau untuk mencari daerah yang banyak ikannya.
Atraksi sejarah lain yang layak dijual antara lain peninggalan obelisk berumur 1.700 tahun di kota Aksum, Gereja Lalibela yang dipahat di bukit batu, kastel raja-raja di Gondar, dan kota Muslim Harar.
Jangan sembarangan memotret
Etiopia memang eksotis. Namun, jangan sembarangan memotret di wilayah pedesaan. Memotret berarti harus rela keluar uang. Biasanya, mereka menetapkan tarif 5 birr (1 birr setara dengan Rp 600) untuk satu kali jepret.
Menyiapkan banyak pecahan 5 birr bisa menjadi solusi bijaksana karena akan sulit menahan diri untuk tidak menjepretkan kamera begitu menyaksikan cara hidup penduduk yang masih sangat tradisional yang dilingkupi alam yang terlihat keras sekaligus indah.
koleksi foto-foto Harian Kompas terkait etiopia
Berkelana di pedesaan Etiopia sungguh pengalaman berharga. Alamnya indah. Meski jika harus menempuh perjalanan dengan berkendara mobil, sebaiknya Anda juga mengatur ritme buang air. Mengapa? Karena hampir tidak ada toilet umum yang bisa dijumpai.
Di Etiopia, tempat pengisian bahan bakar—yang di negeri kita menjadi andalan—ternyata tidak menyediakan toilet umum. Jika sudah kebelet, wisatawan terpaksa harus menggunakan layanan luar ruang alias buang air kecil di tepi jalan. Meski tentu saja harus berhati-hati dengan satwa liar khas Afrika.
Perjumpaan dengan obelisk
Kami juga berkesempatan mengunjungi kota suci lain bagi umat Ortodoks, Aksum. Di kota ini, Kristen pertama kali diterima oleh Raja Ezana sejak abad ke-4 Masehi.
Dianggap sebagai keturunan Salomo (Sulaiman) dan Ratu Sheba (Bilqis), warga Etiopia mengklaim tabut perjanjian berisi sepuluh perintah Tuhan telah dibawa oleh putra Salomo, Raja Menelik I, dari Jerusalem, dan kini tersimpan di Chapel of the Tablet di Aksum.
Buku sejarah kuno Mats’hafa Aksum yang disusun pada abad ke-15 juga menyebut Etiopia berasal dari nama Ityopp’is. Ia diyakini sebagai keturunan Nabi Nuh dari garis putranya, Ham, yang menurut legenda mendirikan Kerajaan Aksum dari 400 tahun sebelum Masehi.
Kerajaan ini memerankan peran penting di sekitar Laut Merah dan dulunya mencakup wilayah yang lebih luas, hingga Eritrea, Sudan, bagian barat Yaman, bagian selatan Arab Saudi, dan sebagian Somalia.
Kota Aksum bahkan diperkirakan berusia lebih dari 3.000 tahun sejak masa pemerintahan Ratu Sheba (Bilqis). Salah satu bukti tuanya kota ini adalah hadirnya empat monumen obelisk yang berusia 1.700 tahun.
”Rasanya sangat aneh melihat obelisk itu di Etiopia,” ujar Stanislao De Marsanich, jurnalis Italia, tiba-tiba.
Kami mengamati obelisk itu, kemudian beralih memandang bingung ke arah Stanislao. Apa anehnya? ”Dulu, saya sering janjian dengan teman saya untuk bertemu di obelisk,” ujarnya.
Ternyata, satu dari empat obelisk setinggi 24 meter itu pernah diboyong ke Roma, Italia, oleh tentara kaki tangan diktator Benito Mussolini. Setelah di Italia selama hampir 70 tahun, obelisk itu kini dikembalikan ke Etiopia pada tahun 2005.
Etiopia kini tak lagi melulu bicara tentang penderitaan, tetapi juga indahnya peradaban Afrika. Ketika Indonesia tidak selalu sukses memulangkan prasasti-prasasti dari sejumlah negara di Eropa, Etiopia sudah berhasil memulangkan obelisk. Pariwisata tampaknya segera mendapatkan ”panggung” di negeri itu.
Wajah-wajah keras kini juga berganti menjadi wajah-wajah yang selalu melambaikan tangan menyambut pendatang.
Hambatan tentu saja masih ada. Ketika hendak pulang dari Bandara Addis Ababa menuju Tanah Air, ternyata penerbangan saya yang dijadwalkan terbang tengah malam itu delay tiga jam. Padahal, saya harus transit di Kuala Lumpur sebelum ke Jakarta. Karena di atas kertas sudah pasti saya ketinggalan pesawat di Kuala Lumpur, maka bagaimana harus menghubungi kantor di Jakarta?
Seandainya ada internet, tentu saja memudahkan saya untuk mengganti jadwal penerbangan dari Kuala Lumpur menuju Jakarta. Tapi, internet mati! Akhirnya, saya memberanikan diri meminjam telepon genggam seseorang di bandara untuk mengirim pesan via SMS ke kantor Jakarta yang berisi: ”Tolong, penerbangan Kuala Lumpur-Jakarta diundur. Terserah jam berapa karena tidak bakal terkejar”.
Begitulah, sedikit ribet, tetapi itulah harga yang harus dibayar untuk menikmati keindahan Etiopia, the land of Origin.