Diincar Pencuri hingga Dicurhati ”Inang-inang” Kopi
Informasi dari seorang narasumber menggeser sejumlah rencana awal kami. Informasi itu didapat pada Senin (11/12/2017), hari pertama perjalanan Jelajah Kopi Nusantara Harian Kompas.
Saidul Alam, praktisi dan pengamat kopi di Kota Medan, yang mengingatkan kami. ”Jangan lupa singgah di Pasar Siborong-Borong. Transaksi kopi lokal terbesar wilayah sekitar Danau Toba ada di sana,” ujarnya.
Dibandingkan pasar-pasar tradisional lain di wilayah Danau Toba, Siborong-Borong yang terletak di Kabupaten Toba Samosir adalah yang terbesar. Saidul mengatakan, jika ingin mendapatkan gairah dan hiruk-pikuk perdagangan kopi lokal, Pasar Siborong-Borong adalah lokasi terbaik.
Jika ingin mendapatkan gairah dan hiruk-pikuk perdagangan kopi lokal, Pasar Siborong-Borong adalah lokasi terbaik.
Biasanya, satu hari menjelang hari pasar, para petani dari pedalaman mempersiapkan kopi yang telah diolah. Esok paginya, mereka akan berangkat menuju pasar. ”Petani biasanya ramai membawa kopinya ke pasar untuk dijual,” ujar Saidul. Ia mengatakan, transaksi kopi mulai ramai sekitar pukul 11.00 WIB.
Cerita dari Saidul membuat kami terkesan. Imajinasi kami pun segera liar dengan membayangkan perjalanan inang-inang petani yang membawa kopinya jauh-jauh dari pedalaman sampai ke pasar. Kami berharap mendapatkan gambaran utuh cerita petani dan kopi.
”Tapi, hari pasarnya itu besok,” ujar Saidul.
Informasi tambahan itu mengagetkan kami. Jarak dari Kota Medan ke Pasar Siborong-Borong sangat jauh, sekitar 260 kilometer. Waktu tempuhnya antara 7 jam dan 8 jam oleh karena belum terhubungkan dengan jaringan jalan tol.
Kami sempat ragu dapat tiba di pasar tepat waktu. Malam itu, sebagian rekan peliput sudah lelah. Setelah menempuh penerbangan dari Jakarta ke Kualanamu pada pagi hari, kami langsung menjelajahi kedai-kedai tua di kota Medan.
Langsung berangkat
Siang hingga sore hari, kami menggelar diskusi kopi, lalu dilanjutkan malamnya meliput tren usaha gerobak kopi. Hingga pukul 22.00 WIB, kami masih kelayapan di jalan-jalan di Kota Medan untuk berburu kisah tentang kopi.
Kami kelelahan tetapi bayangan tentang petani-petani kopi dari pedalaman tersebut terus menghantui. Akhirnya, malam itu juga kami putuskan tancap gas menuju Siborong-Borong.
Menjelang dini hari, kami baru sampai di Pematang Siantar. Sopir kelelahan dan minta waktu beristirahat. Kami mampir ke SPBU di Pematang Siantar. Sopir pun minta beristirahat di dalam mushala di SPBU itu. Anggota tim lainnya memilih beristirahat di dalam mobil. Kaca mobil dibuka sedikit agar udara tak pengap. Semua orang langsung terlelap.
Tanpa kami tahu, seorang pencuri berupaya membuka kaca mobil sopir dengan sebuah kawat tipis. Krek-krek.
Seorang pencuri berupaya membuka kaca mobil sopir dengan sebuah kawat tipis.
Nikson Sinaga, wartawan Kompas yang ditempatkan di Medan, spontan berteriak. Dia kebetulan tertidur di kursi depan sehingga terbangun.
Akibat teriakan Nikson, pencuri pun lari menghilang. Kami semua ikut terbangun. Kaget. Tak menyangka mobil kami menjadi incaran pencuri. Menurut Nikson, kejadian seperti itu sering terjadi. ”Sudah biasa itu di sini. Tapi tidak disangka juga mobil kita yang kena,” kata Nikson.
Perjalanan pun dilanjutkan. Kami sarapan dan ngopi sejenak di Kedai Kopi Kok Tong yang legendaris di Pematang Siantar. Kemudian, kami bertolak menuju Siborong-Borong. Karena perjalanan cukup lancar, sekitar pukul 11.00 kami sudah tiba di pasar itu.
Di pasar, tim segera menyisir keramaian. Beberapa orang berlalu lalang memanggul barang meski tak satu pun tampak membawa kopi.
Nyaris setiap karung kami cek seolah-olah kami ini penyelidik entah dari lembaga mana. Namun, bukan kopi yang didapat. Kebanyakan hanya pinang, kemiri, dan hasil bumi lainnya. Di manakah para petani dan kopinya?
Kami mulai bertanya kepada para buruh angkut dan pedagang. Mereka menunjuk pada sebuah lokasi di halaman luas dekat pasar. ”Di situ biasanya para pengepul mengambil kopi, tetapi sekarang sepi. Kopi sedang kosong,” kata seorang pedagang.
Kami langsung kesana. Memang sepi.
Hanya tampak inang-inang pedagang kopi berkumpul, tetapi tak ada biji kopi. Kami pun terduduk lesu. Tak lama, hujan deras mengguyur. Lengkap sudah kekecewaan kami.
Apa yang harus dilakukan dalam kondisi seperti ini?
Mendengarkan keluh kesah
Para inang yang berkumpul itu adalah petani hingga pengumpul kopi. Mereka bercerita dalam kondisi normal, puluhan hingga ratusan ton biji kopi dapat terkumpul dalam transaksi. Namun, masa panen kali ini benar-benar muram. Hasil produksi anjlok.
”Kalau dapat setengah kuintal saja, sudah bagus itu,” kata Suryani.
Petani lain menimpali. ”Apa ini namanya perubahan iklim? Yang pasti musimnya sedang tidak bagus,” ujarnya.
Mungkin kami sedang tidak beruntung. Namun, di sisi lain, kami menjadi tempat para inang petani dan pengumpul kopi berkeluh kesah. Kami seolah hanya tinggal duduk manis dan mereka semua yang seolah mendatangi kami untuk membawakan kisah-kisah mereka.
Makin lama, makin banyak orang berkumpul. Kepada kamilah seolah mereka melepaskan beban-beban hidup mereka. Berbagai keluhan mereka soal situasi kopi belakangan ini membuat kami merasakan nuansa muram. Itulah kondisi nyata yang sedang dihadapi petani.
Belakangan, tiap kali kami singgah di satu tempat dan mencicipi minuman kopi, kami kian menyadari betapa kayanya negeri ini. Harusnya, kopi tak hanya menjadi sumber devisa negara, tetapi yang terpenting adalah sumber kesejahteraan petani.