Dag-dig-dug Menembus Kabut demi Kopi Bali
Tim Jelajah Kopi Nusantara Kompas singgah di Pulau Bali pada 28 Januari-3 Februari 2018. Kami singgah di Bali untuk mengetahui seluk-beluk kopi di ”Pulau Dewata”, pulau di mana dikenal sebagai salah satu pusat kopi enak dunia.
Kali ini, tim terdiri dari Buyung Wijaya Kusuma, Dahlia Irawati, Riza Fathoni, Cokorda Yudistira, dan Ketut Wiryana.
Begitu mendarat di Bali, kami mendatangi kedai-kedai kopi di Denpasar. Kami langsung terkesima dengan hal-hal unik.
Hampir semua tempat ngopi atau kafe yang kami singgahi terdapat semacam sesaji yang disebut banten saiban yang ditempatkan di dekat meja kasir atau tempat khusus sesaji.
Banten saiban semacam persembahan bagi leluhur sebelum nak (orang) Bali beraktivitas. Dengan banten saiban, terlihat sekali betapa tradisi bagi orang Bali sudah ibarat urat nadi. Tak dapat dipisahkan.
Direkatkan dengan kopi
Kami pun turut menikmati eksotisme tradisi Bali tepatnya di Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Ketika kami tiba di sana, bertepatan dengan upacara piodalan di pura keluarga Tunggalan Sanggah Cekoh Desa Munduk, yakni upacara memperingati hari lahir leluhur.
Upacara menjadi istimewa karena saat itu pertepatan dengan bulan penuh atau purnama sekaligus fenomena gerhana bulan.
Mangku Gede Sedana, anggota keluarga tersebut mengatakan, piodalan di pura mereka menjadi istimewa karena bertepatan dengan purnama. ”Ketika hari suci bertemu purnama, keistimewaannya bertambah karena gelombang kesucian lebih besar,” ujarnya.
”Dengan piodalan saat purnama ini, harapannya keluarga besar kami mendapat keselamatan, kebahagiaan, dan lebih baik pada masa mendatang. Kebaikan serupa semoga juga tercurah untuk seisi alam,” ditambahkan Sedana.
Meski sebagian besar dari tim Jelajah Kopi Nusantara Kompas bukan ”nak” Bali, kami tetap disambut dengan baik. Kami juga dibolehkan menyaksikan ritual upacara di pura keluarga tersebut.
Tentu saja, kami harus menghormati tradisi Bali, yakni ketika masuk ke dalam pura harus memakai kain. Untungnya, rekan kami dari Bali sudah membawakan kain untuk seluruh rombongan. Ia pun mengajari kami cara memakai kain.
Sambil menunggu proses upacara, sebagai tamu, kami mendapat suguhan, yakni segelas kopi Bali. Suguhan itu sungguh pas, apalagi kami sedang dalam perjalanan mengulik kisah kopi di Bali.
Sambil menyeruput kopi, pada akhirnya kami membahas banyak hal. Membahas soal budaya Bali hingga pada berbagai hal soal kopi.
Masih tradisional
Hari Selasa (30/1/2018), kami menyambangi pabrik kopi merek Banyuatis di Jalan Raya Seririt, Singaraja, Kabupaten Buleleng. Bersama pemilik pabrik dan manajer pabrik, kami berkeliling mulai dari area penyimpanan kopi, sangrai, hingga fasilitas pengemasan.
Yang menarik, kami menemukan pabrik kopi besar itu masih menggunakan alat sangrai tradisional yang pengapiannya menggunakan kayu bakar.
Gede Pusaka Harsadena (42), pemilik usaha kopi merek Banyuatis, bahkan kemudian rela menjadi sopir kami ketika kami diajak mengunjungi kebun kopi milik mereka di Desa Munduk.
Menurut Pusaka, dia tahu jalan pintas yang lebih cepat. Dia juga lebih paham medan sehingga waktu tempuh dari Singaraja menuju Desa Munduk tidak terlalu lama.
Seorang pemilik pabrik, yang biasanya ke mana-mana diantar seorang sopir, hari itu justru menjadi sopir kami. Salah satu sikap ramah nak Bali. Suksma.
Berkat Pusaka, kami kemudian berhasil mengeksplorasi kebun kopi di Desa Munduk. Kami menjadi memahami praktik perkopian di Bali.
Dari Munduk kami bergerak menuju Kintamani. Perjalanan ini ibarat menembus jalur pegunungan tengah menuju ke pegunungan timur.
Awalnya, perjalanan kami sangat menyenangkan. Meniti jalur berkelok sepanjang pegunungan, menikmati hijaunya alam, ditemani kabut tipis yang berlarian.
Ketika hari beranjak senja, hujan pun tiba. Cuaca tiba-tiba menjadi tidak bersahabat. Hujan melebat, angin kencang datang, dan gelap mulai pekat.
Kami melambatkan laju mobil, tetapi tidak sampai berhenti. Tapi kondisinya sempat memburuk karena jarak pandang sangat terbatas, hanya 1 meter.
Ketika cuaca sedikit membaik, kami memutuskan terus berjalan. Apalagi, malam akan semakin gelap, dan jalan akan semakin tidak kelihatan. Sebagian besar jalur yang kami lalui juga berupa hutan. Dan, belum tentu hujan akan berhenti pada malam hari.
Mobil kami kemudian melaju dengan kecepatan kurang dari 20 kilometer per jam. Ketika kabut masih tetap menyapa, kami melintas jalan naik-turun dan berkelok. Sisi kanan dan kiri, kami cermati adalah jurang atau tebing.
”Kalau mau berdoa, sekaranglah saatnya,” celetuk salah seorang di antara kami. Celetukan itu makin membuat tegang seisi mobil. Malam semakin hitam karena mendung. Deru hujan bersahutan dengan derik cenggeret hutan.
Pada salah satu tikungan yang menanjak, mobil di depan kami terlihat terlalu ke kanan dan nyaris keluar jalur aspal. Beruntung, sang sopir bertindak sigap dan seketika menghentikan kendaraan.
Setelah cukup menarik napas lega, dan berdoa, kami pun kembali berjalan pelan. Waktu terasa sangat lamban. Hingga akhirnya kami mulai memasuki Kintamani dan tiba di hotel tujuan sekitar pukul 21.00 Wita.
Apakah kami trauma dengan perjalanan kami? Tentu tidak. Seandainya ada tugas serupa, kami akan dengan senang hati mengulanginya. Siapa bisa menolak keramahan Bali dengan eksotisme alam dan tradisinya. Dengan catatan, kami akan lebih berhati-hati, terutama apabila menempuh perjalanan pada saat hujan dan di waktu malam.
(COKORDA YUDISTIRA)