Tak Sekadar Memberitakan, ”Kompas” Membantu Mencarikan Solusi bagi Petani Kopi
Masih melekat di ingatan kami tentang pertemuan dengan para petani di kebun di pelosok negeri. Dengan keringat dan kecintaannya pada pohon kopi, mereka memetik dan memproses sendiri kopi terbaik untuk diolah. Mereka bekerja sambil bercerita tentang kisah mereka.
Kini, setelah setengah tahun berlalu, kopi-kopi yang dipetik dari beberapa penjuru Nusantara itu tersaji di pelataran Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Tidak hanya untuk kami, tetapi untuk masyarakat yang datang selama Festival Kopi Nusantara di BBJ, 19-22 Juli 2018.
Seduhan kopi robusta Sungai Penuh, misalnya, menggugah pengunjung datang ke gerai mereka. Aromanya menguar di sekeliling gerai. Di hadapan pengunjung, petani Jambi membuat seduhan robusta sambil bercerita tentang kebun mereka di kaki gunung setinggi 1.200 meter di atas permukaan laut.
”Tempat kami cocok dengan arabika. Namun, karena pendahulu kami sudah menanam robusta, kami pun melanjutkan tradisi. Robusta bukan kopi kelas dua, dia bisa jadi bintang jika tahu cara mengolah dan menyajikannya,” kata Edhi sambil menawarkan secangkir kopi robusta mereka.
Kopi robusta tersebut sedikit beraroma buah dengan rasa cokelat sebagai rasa akhirnya. Keunikan rasa itu menjadikan kopi itu laris manis di gerai Jambi.
Kopi hasil tanam di ladang juga diracik oleh Mama Elisabeth dari Sumba Barat Daya. Mama Elisabeth datang membawa kopi andalan kelompok mereka, robusta sumba. Robusta ini istimewa karena ketika disangrai medium dia akan mempunyai sentuhan rasa cokelat.
Hari pertama festival kopi, robusta Mama Elisabeth langsung habis terjual. Hari berikutnya, ia pun memilih menyangrai green bean yang disimpan untuk melayani konsumen yang masih penasaran dengan kopi cokelatnya.
Mama Elisabeth dan kelompok taninya girang betul dapat mengikuti Festival Kopi Nusantara. Mereka baru sekali ini ikut pameran dan kopinya diapresiasi.
Jalan membuka pasar kopi pun mulai terbuka. Selama ini, jalan mereka membangun kopi lokal tak selalu mulus. Mereka benar-benar mulai dari nol, mulai dari mengumpulkan petani yang satu ide, merawat kebun, hingga menyemangati mereka untuk petik merah walau terkadang kopi mereka tetap ditawar rendah.
Selain menghadirkan petani-petani, seperti Pak Edhi dan Mama Elisabeth, juga hadir pelaku usaha kopi, pembuat mesin kopi, hingga pemilik kafe. Jumlah total ada 24 gerai.
Siapa pun yang hadir akan ditawarkan tester kopi beraneka ragam dari Aceh hingga Papua. Dipertontonkan pula berbagai proses pengolahan kopi. Kisah mereka pun larut dalam cangkir kopi yang mereka hidangkan.
Jatuh bangun
Niat Kompas, tentu adalah niat baik. Niat kami adalah memanggungkan petani kopi tidak hanya dari sisi pemberitaan, tetapi juga memperkenalkan mereka ke hadapan publik. Bahkan, syukur-syukur mempertemukan petani kopi dengan pembeli.
Namun, tidak selalu mudah untuk memboyong petani ke Jakarta. Beberapa pemerintah kabupaten, terutama di Jawa, dapat langsung mengirim petani dari daerah mereka. Ongkos tak terlalu mahal dan waktu pun bisa diatur. Sebaliknya, petani dari luar Jawa harus mengeluarkan daya upaya untuk dapat tiba di Jakarta.
Petani Jayawijaya, Papua, misalnya, hampir gagal berangkat karena keterbatasan tempat dan anggaran. Kompas sebenarnya telah mengirimkan surat undangan untuk mengikuti festival sejak lama, tetapi para petani kopi tetap membutuhkan waktu persiapan yang tidak singkat.
Sekuat tenaga, para petani mengumpulkan tidak kurang dari 200 kilogram kopi dari Lembah Baliem. Kopi itu baru saja dipanen. ”Kami sudah siap kapalkan itu kopi. Kami sudah perhitungkan biaya kapal untuk sampai di Jakarta. Namun, satu hal yang jadi persoalan, ternyata jadwal kapal salah. Kami tak bisa kirim itu kopi ke Jakarta. Padahal, banyak yang menanti. Kami sudah pucat, ha-ha-ha. Masa iya cuma bawa orang,” kata Paulus Sarira, salah seorang petani Jayawijaya.
Beruntung, petani Papua dapat membawa sedikit kopi saat naik pesawat. Itu pun hanya 15 kilogram dan menyebabkan ekstra bagasi saat penerbangan dari Wamena ke Jakarta. Mereka paham betul biayanya membengkak tetapi tetap nekat.
Ketika ”lapak” mulai digelar di BBJ, di hari pertama pun banyak yang mau membeli. Namun, petani Jayawijaya bersiasat dengan membatasi pembelian. ”Kami minta dipesan saja. Kalau semua dijual, kami mau pajang apa,” ujar Sarira.
Langkah itu berhasil, kopi dari Jayawijaya tidak ludes seketika. Persoalannya, para petani Papua kebanjiran pesanan. Ada pembeli, misalnya, yang meminta pasokan hingga 1 ton. Volume kopi yang jujur saja sulit untuk dipenuhi.
Tingginya permintaan juga dialami oleh petani Aceh yang juga hadir di BBJ. Mereka sebenarnya banyak membawa green bean, tetapi tetap kewalahan. Setelah bertanya ke jaringan kedai Aceh di Jakarta, akhirnya mereka berhasil ”mengimpor” kopi dari kedai Aceh terdekat dari Palmerah.
Ini karena kopi yang mereka boyong dari Aceh Tengah telah habis terjual di hari kedua.
Kejadian unik lain adalah ternyata terjadi kompromi di antara pembeli karena lebih tinggi permintaan. Ini unik karena pembeli tidak menaikkan harga atau melelang kopi itu kepada pembeli dengan harga tertinggi, tetapi ikut menyaksikan dan mengamini kompromi di antara pembeli.
Ahmad dan Yolita, misalnya, ada dua pembeli yang sempat ”memperebutkan” dua green bean Tanggamus yang tersisa. ”Kami akhirnya bagi karena sama-sama mau dan barangnya tersisa sedikit. Petani pun bingung mau jual ke siapa, saya atau ibu itu. Ya sudah kami berbesar hati dibagi, toh nanti bisa pesan lagi,” kata Ahmad sambil tersenyum.
Menyatukan banyak pihak
Pengunjung yang datang tak hanya pembeli, tetapi juga mereka yang memedulikan nasib petani kopi. Tidak heran bila bangku-bangku panjang yang diletakkan tak jauh dari gerai-gerai kopi itu mewadahi dialog informal terkait kopi.
Yusfar Lubis (70), pensiunan guru yang tinggal di Bandung, rela berangkat pukul 03.00 untuk dapat datang ke BBJ. Kehadirannya khusus untuk menemui tim penulis Jelajah Kopi Nusantara. Terus terang kami terharu saat menemui sendiri Pak Yusfar.
Di usianya yang terbilang sangat senior itu, beliau menempuh perjalanan sejauh ratusan kilometer dengan angkutan umum hanya untuk menyampaikan kegelisahannya. Di dalam tas tuanya, Yusfar bahkan membawa kliping koran Kompas terkait tulisan Jelajah Kopi Nusantara untuk mengingat pesan-pesan apa yang ingin ia sampaikan kepada kami.
”Saya juga petani. Saya tahu bagaimana kondisi hulu pertanian di negeri ini. Saya rela datang agar anak-anak muda tetap semangat mengkritisi negeri ini dan membawa perubahan di kemudian hari,” kata Yusfar dengan penuh semangat.
Sayang sekali, Pak Yusfar tak dapat bergabung dalam dialog bersama-sama para petani dan pelaku industri kopi. Itu karena angkutan travelnya sudah menanti untuk mengantarnya kembali ke Bandung.
Kompas juga kedatangan banyak tamu. Mereka bahkan berkenan ikut serta dalam dialog yang diadakan di ruang pamer BBJ. Di dalam ruangan itu, terjadilah interaksi di antara para peneliti, pemangku kebijakan, pengusaha, pemilik kedai kopi, petani, perbankan, hingga konsumen.
Menawarkan solusi
Semua pihak bahkan dapat mengungkapkan curahan hatinya, menyatakan pendapat hingga menyampaikan solusi.
Sekadar contoh, petani di Sumatera Utara mengungkapkan persoalan rendahnya harga kopi. Menurut mereka, di tingkat petani, kopi ceri merah hanya dihargai Rp 8.000 per kilogram, untuk kopi ceri merah dan kuning Rp 6.000 per kilogram, dan kopi asalan bahkan Rp 4.500 per kilogram.
Dengan harga serendah itu, ketika petani hanya dapat menanen 50-100 kilogram kopi per tahun, pendapatannya pun menjadi sangat minim. Hidup petani pun menjadi sulit. Padahal, bila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, harga kopi ceri merah, misalnya, dapat mencapai Rp 17.000 per kilogram.
Diskusi pun menjadi hiruk-pikuk. Semua ingin bicara, walau yang menggembirakan semua pihak ingin berbicara untuk menawarkan solusi. Pelaku usaha kopi, misalnya, menyarankan para petani untuk tetap mempertahankan ”petik merah” dan memasuki proses di hilir dengan mulai menyangrai kopi. Harga jual pun diharapkan menjadi lebih tinggi.
Terkait pengolahan tambahan itu, wakil dari Kementerian Perindustrian menawarkan pembelian alat pengolahan kopi dengan diskon 30 persen. Sementara wakil dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian langsung menawarkan pendampingan berupa pembinaan desa binaan kopi.
Bicara pemasaran memang terkadang tidak selalu mudah. Dari berbagai diskusi selama festival itu, terungkap pula bahwa petani kopi yang sudah menjalankan proses produk hilir pun terkadang kebingungan dalam mencari pasar.
Ini menjadi persoalan terutama bagi petani yang bermukim jauh dari kota besar. Green bean, kopi panggang, dan kopi gerus mereka ternyata tak banyak terjual di tingkat lokal. Harus diakui, penikmat kopi―terutama mereka yang fanatik dengan kopi–masih bermukim di kota-kota besar di Indonesia.
Kegelisahan itu ternyata langsung ditangkap oleh pihak-pihak yang tadinya tidak saling mengenal. Pasar pun secara spontan terbentuk.
Usai acara, petani dari Malang, Jawa Timur, membisikkan kabar baik ke Kompas. Mereka ternyata berhasil mendapatkan permintaan dari perusahaan pengolahan kopi dengan harga yang bagus dan volume yang besar. Alhamdulillah. Kami turut senang.
Festival Kopi Nusantara, yang digelar oleh Kompas bekerja sama dengan BRI, memang ingin mendekatkan petani dengan pasar. Tidak hanya itu, kami ingin membuka mata petani dengan mempertemukan mereka dengan banyak pihak terkait. Tujuannya agar petani kopi menjadi lebih berdaya.
Apalagi, dalam penjelajahan kami ke berbagai sentra pertanian kopi di Indonesia, petani yang kami temui cenderung hanya menjual green bean bahkan buah ceri ke pengepul. Akibatnya, keuntungan yang mereka kantongi begitu tipis dan membuat hidup petani kempas-kempis.
Terlepas dari adanya kekurangan dalam penyelenggaraan Festival Kopi Nusantara, berkumpulnya banyak pihak dalam festival itu membuktikan bahwa niat baik biasanya diganjar dengan hasil yang baik pula.
Sekali lagi ini tidak mudah. Tidak mudah mengumpulkan petani dari berbagai wilayah di Indonesia. Di internal Kompas pun, mungkin tanpa diketahui, kami kerap bertengkar menjelang hari-H festival kopi ini. Baik secara lisan maupun ”perdebatan” di media-media percakapan.
Perdebatan atau silang pendapat itu tujuannya sekali lagi baik. Bukan untuk saling menjatuhkan antarsesama pegawai Kompas, melainkan demi menghadirkan pelayanan yang terbaik bagi para petani ataupun pengunjung Festival Kopi Nusantara. Namun, jangan khawatir, setelah ”perkelahian-perkelahian” itu akhirnya kami kembali ngopi bareng di selasar BBJ.
Jadi, kami pada akhirnya sungguh terharu sekaligus bahagia. Siapa sangka di tengah keterbatasan, waktu, tenaga, dan modal; akhirnya banyak pihak dapat berkumpul di Bentara Budaya Jakarta. Kami berkumpul demi satu tekad untuk meningkatkan kehidupan petani dan turut berkontribusi di dalam memajukan industri perkopian di Nusantara.
Tentu, kami juga berharap pembelaan dan dukungan kami terhadap para petani kopi dan dunia kopi di Indonesia tidak hanya berhenti pada festival tempo hari. Kini, kami sedang merancang langkah selanjutnya dan semoga kita segera dapat berkumpul kembali. Semoga.