Tinjau Ulang Kurikulum Pendidikan Agama di Sekolah
Pendidikan agama di sekolah patut ditinjau ulang. Kurikulum yang cenderung menekankan ritual keagamaan saja perlu diperkaya dengan menanamkan kesadaran kehidupan berbangsa.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar & Riana Afifah
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan agama di sebagian sekolah selama ini rentan disusupi pemikiran-pemikiran yang antikonsep kebangsaan yang menghargai kemajemukan masyarakat. Kondisi ini perlu diatasi dengan memperbaiki kurikulum sehingga lebih mengutamakan etika, persatuan bangsa, dan pencapaian nilai-nilai kebaikan universal.
Gagasan itu mengemuka dalam peluncuran hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta bertajuk ”Suara dari Senayan: Pandangan Wakil Rakyat tentang Peran Negara dalam Pendidikan Agama”, di Jakarta, Rabu (5/2/2020). Hadir sebagai pembicara antara lain peneliti PPIM UIN Jakarta, Sirojuddin Arif; anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Maman Imanulhaq; Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzili; Direktur Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi; dan Guru Besar Antropologi UIN Jakarta Jamhari Makruf.
Survei dilakukan terhadap 575 anggota DPR dengan response rate 66,1 persen atau 370 anggota DPR sebagai responden pada periode 21 Oktober-17 Desember 2019. Salah satu hasilnya, di tengah maraknya isu toleransi yang terjadi secara sporadis di masyarakat, 53,25 persen responden menyatakan tidak ada masalah dalam pendidikan agama terkait dengan keragaman dan kebangsaan. Hanya 46,75 persen anggota DPR yang memandang ada persoalan serius. Dari jumlah tersebut, hanya 19,46 persen yang mengutarakan bahwa pendidikan agama kurang memberikan wawasan kebangsaan dan penghargaan atas perbedaan di masyarakat.
Belum ada keterbukaan yang memungkinkan terjadi diskusi dan pertukaran pandangan, baik dalam kelompok agama sama maupun yang berbeda. ”Dalam konteks meningkatnya pandangan dan bahkan perilaku intoleran, khususnya di lingkungan sekolah, temuan ini kurang menggembirakan,” kata Sirojuddin Arif.
Maman Imanulhaq, yang juga Ketua Kaukus Pancasila, mengkritik kurikulum pendidikan agama yang baru fokus pada hal-hal simbolik sebatas praktik ritual tanpa pendalaman relevansinya dengan kehidupan bermasyarakat. Akibatnya, muncul sentimen ultranasionalis yang seolah paranoid terhadap segala simbol keagamaan karena dianggap anti-Pancasila. Saat bersamaan, muncul kelompok ultrareligius yang memandang segala gerakan nasionalis tidak sesuai dengan tafsir agama.
”Kedua kelompok harus kembali ke jalan tengah, yaitu pemahaman mengenai nilai-nilai Pancasila,” katanya.
Pendidikan agama semestinya bisa menjadi jalur pemberian pemahaman, yaitu beragama untuk kemaslahatan bangsa kepada kelompok religius, termasuk membangun kepercayaan diri dan penghargaan kepada perbedaan. Adapun untuk kelompok ultranasionalis juga menjadi pengertian bahwa ekspresi religius adalah hak setiap warga negara dan tidak perlu distigma,” paparnya.
Pendidikan agama semestinya fokus pada hal-hal substantif, seperti budi pekerti, agama sebagai penguat kebangsaan, dan pelaksanaan ritual dengan tujuan universal. Menurut Maman, opsi jalan keluar atas masalah ini bukan dengan menambah jam pelajaran agama di sekolah, melainkan memperkaya konten pelajarannya.
Menurut Ace Hasan Syadzili, muatan pelajaran agama juga harus dibuat secara kritis. Topik-topik seperti khilafah dan jihad jangan dihapus, tetapi dibahas dengan persepsi kebangsaan. Tafsirnya disesuaikan dengan jihad sebagai kerja keras membangun masyarakat yang toleran.
”Kalau ada topik yang ditabukan, siswa malah akan mencarinya di sumber-sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan agama harus bisa membangun budaya berargumentasi kritis,” ujar legislator dari Fraksi Golkar itu.
Kalau ada topik yang ditabukan, siswa malah akan mencarinya di sumber-sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan agama harus bisa membangun budaya berargumentasi kritis.
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Antropologi UIN Jakarta Jamhari Makruf mengusulkan agar pembahasan mengenai pendidikan dan agama di DPR dikelola oleh satu komisi. Selama ini isu pendidikan bernaung di bawah Komisi X, sementara isu agama di bawah Komisi VIII. Apabila dikelola oleh satu komisi, visi kehidupan beragama untuk berbangsa dan visi pendidikan bisa diselaraskan.
Partai kurang berperan
Burhanuddin Muhtadi menyoroti sikap partai politik yang masih kurang menjalankan peran merawat kebinekaan dan mengikis intoleransi melalui kebijakan dan produk hukum. Dengan alasan menjaga keterpilihan dan perolehan kursi, sikap yang mengarah pada politisasi agama dipilih sejumlah partai politik.
Partai politik kehilangan perannya sebagai peranti merawat kebinekaan. Persoalannya bukan pada fraksi, komisi, atau individu anggota Dewan, melainkan parpol. ”Implikasi elektoral ini membuat partai yang nasionalis saja akhirnya tetap cenderung agak ke kanan. Itu mengkhawatirkan,” katanya.