Dari Korban Hingga Jadi Konselor
Ketergantungan terhadap napza ibarat masuk dalam perangkap. Saat terjebak di dalamnya, orang akan kehilangan kewarasan sehingga tidak tahu mana jalan keluarnya. Demikian cerita para korban yang akhirnya jadi konselor.
Jangan pernah menyentuh napza-Narkotika, Psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Sekali masuk, siapapun sulit melepaskan diri. Hanya ada satu kunci untuk bisa terbebas, yakni diri sendiri.
“Mau masuk ribuan panti rehabilitasi, mau ribuan konselor, semuanya tidak akan berhasil, kalau tidak benar-benar keluar dari diri sendiri,” papar Sanca Hariadi (34) mantan penerima manfaat di Balai Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan zat adiktif lainnya (BRSKP Napza) Galih Pakuan, Bogor, Jawa Barat, Minggu (22/3/2020).
Ia menegaskan, tekad dari diri sendiri pun, tidak serta merta membuat korban penyalahgunaan napza bisa seratus persen kembali. Meskipun sudah berniat tak menyentuh obat-obat terlarang itu, cara hidup, pergaulan, dan situasi di lingkungan bisa menyeret seseorang kembali mengonsumsi napza. Ibarat lagu, terjatuh dan terjatuh lagi, bahkan berulang kali terjatuh.
Korban penyalahgunaan napza, saat keluar dari rehabilitasi bisa saja sudah bersih, tapi jika dirinya tidak kuat mental dan imannya, maka ia bisa kembali terjerat. Hanya sedikit yang benar-benar pulih dan terbebas dari jerat napza. Banyak yang berujung kematian atau (jika mujur) menjadi penghuni rumah sakit jiwa.
Motivasi utama adalah anak perempuan saya. Dia lahir saat saya di penjara. Sudah terlalu banyak sakit hati yang saya buat untuknya.
“Mungkin hanya sedikit yang pulih. Angkatan saya dulu, satu asrama sekitar 140 orang, yang benar-benar bangkit hanya sekitar 10-20 orang, sisanya 120 orang Wallahu a’lam. Jadi, enggak ada yang bisa menjamin kita pulih. Semua itu, kembali ke diri sendiri,” tegas Sanca yang juga mantan anggota Kepolisian Daerah Aceh.
Sanca menjadi polisi 12 tahun, dan diberhentikan dari kepolisian karena menggunakan napza. Ia mengenal napza sejak kelas II SMA, ketika ayah dan ibunya berpisah. Saat sudah berhenti sebagai polisi pun dia tetap hidup dengan napza. Keluarganya pun hancur. Hingga akhirnya pada bulan April 2017, ibunya membawa Sanca ke BRSKP Galih Pakuan.
Awalnya dia sangat marah, tetapi setelah bertemu dengan para konselor (yang dulunya pernah menjalani rehabilitasi), Sanca mulai menyadari bahwa yang dilakukannya selama ini salah. Dia juga sempat menjadi asisten konselor.
Namun awal tahun 2018, Sanca kembali goyah. Keluar dari balai dia terjatuh lagi dalam jerat napza. Pada Oktober 2018, dia memutuskan kembali ke BRSKP Galih Pakuan. “Saya kontak konselor senior. Bro gua rusak lagi, gua mau balik. Saya datang sendiri ke Galih Pakuan,” tutur Sanca yang mendapat tawaran mengikuti pendidikan untuk menjadi konselor.
Dia bertekad tidak akan jatuh ke lubang yang sama, dan memilih mengabdi di BRSKP Napza Galih Pakuan, sebagai petugas pemulihan (konselor). “Live is choice (hidup adalah pilihan). Dengan mengabdi di balai rehabilitasi, ketika melihat teman-teman penerima manfaat itu akan selalu mengingatkan diri saya, saya seperti bercermin diri sendiri,” ungkap Sanca.
Perjalanan panjang menemukan titik balik
Sanca adalah salah satu dari penerima manfaat di BRSKP Galih Pakuan, yang kini memilih mengabdi di balai tersebut. M Yusuf Novara Putra (38) yang dikenal di balai sebagai “konselor senior” sudah melalui perjalanan panjang sebelum akhirnya menemukan titik balik, keluar dari jerat napza dan kembali menata kehidupan baru meraih mimpi yang sebelumnya hilang karena napza.
Yusuf lah yang menantang Sanca ketika dia mau kembali ke BRSKP Galih Pakuan. Sanca boleh kembali, tapi dengan satu syarat jalani semua perawatan sesuai kesepakatan. “Tidak boleh pakai pola lama, dan harus ikut aturan main yang kita sepakati,” papar Yusuf yang akrab disapa “Bro Cupi”.
Baca juga: LP Kelebihan Penghuni, UU Narkotika Diusulkan untuk Direvisi
Sekitar lima tahun yang lalu (2015), Yusuf masuk ke BRSKP Galih Pakuan, setelah melewati berbagai rehabilitasi di berbagai tempat dengan berbagai cara dan model. Di balai itu, merupakan ke-13 kali dia masuk balai rehabilitasi. Yusuf yang mengenal napza jenis heroin sejak Kelas 1 SMP, selama puluhan tahun berulang kali terjerat napza. Hidupnya hancur, keluarganya, juga karier pekerjaannya. Bahkan, ketika selesai rehabilitasi di Galih Pakuan, dia tetap ditolak keluarga dan lingkungannya.
“Napza itu seperti masuk rumah sambil memegang bom waktu, dan pemicunya diri kita sendiri, tinggal kapan kita meledakkannya. Maka, untuk keluar dari kuncinya kita, karena napza semuanya adalah benda mati yang tidak mungkin mendatangi kita, kalau bukan kita yang mendatangi,” ujarnya.
Meskipun tahu jalan keluar, menurut Yusuf, saat terjebak di dalamnya, orang akan kehilangan kewarasan sehingga tidak tahu mana jalan keluarnya. Akan tetapi, ketika seseorang menempatkan pemulihan sebagai yang terpenting, maka jalan keluar akan terbuka. Bahkan ada slogan di BRSKP “It work if you work” yang memberi arti pemulihan akan berhasil jika yang bersangkutan sendiri yang berusaha.
Lalu, apa yang menjadi titik balik Yusuf, sehingga dia berhasil keluar dari jerat napza. “Yang pasti saya capek. Saya ingat kata-kata salah satu keluarga bahwa saya enggak akan pernah sembuh dan pulih. Itulah satu satu motivasi buat saya berhenti. Namun motivasi utama adalah anak perempuan saya. Dia lahir saat saya di penjara. Sudah terlalu banyak sakit hati yang saya buat untuknya,” ujar Yusuf yang kini menebus hari-harinya yang hilang bersama putrinya yang berusia 10 tahun.
Saat ini, Yusuf bersama Sanca dan belasan konselor lainnya (total 21 orang) setiap hari mendampingi para korban penyalahgunaan napza di BRSKP Galih Pakuan. Sebagian besar hidup mereka tercurah di balai itu. “Kami ingin siapapun yang di balai itu pulih. Paling tidak bisa mengubah pandangan orang, bahwa dia bukan sampah,” tegas Yusuf.
Dari berbagai daerah
Kepala BRSKP Galih Pakuan, Wahidin menyatakan saat ini penerima manfaat di balai tersebut berjumlah 149 orang. “Selain dari kota Jakarta, Bogor, dan Bandung, mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Padang, Riau, Palembang, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Jawa Timur,” ujarnya, Jumat (13/3/2020).
BRSKP Galih Pakuan, hanyalah salah satu balai yang berada di bawah Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial. Balai ini memberikan bimbingan, pelayanan, dan rehabilitasi sosial yang bersifat kuratif, rehabilitatif, dan promotif korban-korban penyalahgunaan napza yang dirujuk dinas/intansi terkait (dinas sosial, Badan Narkotika Nasional, kepolisian, dan instansi lainnya). Mereka mendapatkan bimbingan pengetahuan dasar, pendidikan fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan, resosialisasi serta bimbingan lanjut bagi eks korban napza agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Pemulihan berlangsung maksimal sembilan bulan.
Dari sejarahnya, BRSKP Galih Pakuan Bogor, sudah berdiri sejak 1982 dengan nama Panti Sosial Pamardi Putra “Galih Pakuan” Bogor. Mulai beroperasi tahun 1983 dengan nama Panti Rehabilitasi Sosial Korban Narkotika “Putat Nutug”, dan tahun 2018 menggunakan nama BRSKP Napza Galih Pakuan.
Sejak awal 2002, balai ini menggunakan metode Therapeutic Community dengan pendekatan ilmu pekerjaan sosial. Sayangnya, meski sudah 37 tahun berdiri, balai ini hanya menampung korban penyalahgunaan napza laki-laki (usia 15-50an tahun). Padahal, banyak pula perempuan yang menjadi korban penyalahgunaan napza.