”Chunhuei Chi, profesor kesehatan publik pada Universitas Negara Bagian Oregon, mengatakan bahwa langkah yang dilakukan Pemerintah Taiwan...” merupakan kalimat biasa yang tersua di media. Begitu juga kalimat ”Kianoush Jahanpour, juru bicara Kemenkes Iran, mengimbau warga...”.
Siapa Chunhuei Chi? Profesor kesehatan publik di Universitas Negara Bagian Oregon. Siapa pula Kianoush Jahanpour? Juru bicara Kemenkes Iran. Setelah kedua nama mereka disebut, jabatan mereka menyusul. Tanda koma antara nama dan jabatan di kedua kalimat itu jelas fungsinya. Yang tertulis di belakang koma merupakan penjelasan tentang nama yang disebutkan sebelumnya.
Namun, ketika membaca ”Presiden Perancis Emmanuel Macron dalam pidato di televisi...”, anda melihat perbedaan cara menulis yang dapat menimbulkan tanda tanya. Sama halnya dengan ”Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang didakwa saat masih berkuasa...”. Mengapa tanda koma tiba-tiba hilang antara Presiden Perancis dan Emmanuel Macron? Begitu pula antara Perdana Menteri Israel dan Benjamin Netanyahu?
Jika lebih cermat dan teliti di samping ingin tahu lebih jauh, mungkin anda dapat menarik simpulan sementara: jika jabatan seseorang disebutkan lebih dulu baru namanya, tanda koma tidak diperlukan antara keduanya. Sebaliknya yang terjadi kalau nama orangnya disebutkan lebih dulu baru jabatannya. Benarkah? Menurut simpulan sementara memang benar. Namun, contoh berikut membantahnya.
”Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Kerja Sama Universitas Katolik Indonesia, Elizabeth Rukmini, mengatakan...”. Mungkin wartawan yang menuliskan nama Elizabeth Rukmini di antara dua tanda koma itu merasa bahwa nama jabatan itu terlalu panjang sehingga membingungkan jika ditambah dengan nama Elizabeth. Karena itu, nama Elizabeth ditulisnya dengan menempatkan dua tanda koma sebelum lanjutan kalimatnya.
Dulu ketika saya masih bertugas sebagai jurnalis, atasan saya menganjurkan bahwa jika mengungkapkan posisi dan nama seseorang, tulislah jabatannya lebih dulu baru namanya. Antara keduanya diberi tanda koma. Saran itu saya ikuti dengan fanatik. Belakangan saya merasa ada perkembangan baru dalam berbahasa, terutama di kalangan wartawan. Namun, perkembangan ini menimbulkan tanda tanya pula untuk tak mengatakan membingungkan.
Bagaimana jika jabatan yang disebutkan menyertakan nama orang? Misalnya, ”Direktur Utama RSPI Sulianti Saroso. Jurnalis media yang meliput peviko-19 (penyakit virus korona-19) menuliskan nama Mohammad Sjahril setelah nama Sulianti Saroso”. Seandainya ia tidak memberi tanda koma antara Sulianti Saroso dan Mohammad Sjahril, mungkin anda menduga semua yang tertulis adalah nama lengkap rumah sakit tersebut. Begitu pula, misalnya, kita menyebut Direktur Taman Ismail Marzuki Parakitri Winarto. Ini dapat menyesatkan. Bukan tak mungkin orang menduga nama yang tertulis adalah nama lengkap taman yang sedang direvitalisasi itu. Di sinilah tanda koma sangat berfungsi. Saya merasa kita sebaiknya mengevaluasi kembali fungsi tanda koma dan di mana harus menempatkannya.
SORI SIREGAR
Cerpenis