Menjelajah Atmosfer Asia, Timur Tengah, hingga Eropa di Kota Tua Surabaya
Kawasan kota tua Surabaya menyajikan suasana atmosfer seperti di Asia, Timur Tengah, dan Eropa. Kawasan ini menjadi salah satu destinasi favorit warga yang gemar sejarah dan fotografi.
Puluhan anak remaja silih berganti saling berfoto di tembok salah satu gedung tua di ujung Jalan Gula, Bongkaran, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (2/8/2020). Sebentar menempel di tembok, lain waktu mereka ganti posisi dengan naik naik tangga, yang kondisinya juga sudah lapuk dan kusam, kadang berdiri, lantas duduk sambil bikin gaya sekenanya.
Seorang pria berumur 50-an, yang pagi itu naik sepeda, pun langsung minta tolong difoto di tembok yang sudah rusak, terkelupas. ”Boleh saya difoto di tembok ini, kelihatannya eksotik betul spot ini,” katanya sambil menyodorkan telepon selulernya kepada Kompas.
Tembok bangunan tak berpenghuni di lorong Jalan Gula adalah gedung Internatio atau Internationale Crediten Handelvereeniging, tempat perdagangan di masa penjajahan Belanda yang juga digunakan sebagai markas pasukan sekutu ketika masa penjajahan.
Deretan gedung-gedung tua yang masih masih asli di ujung Jalan Rajawali itu merupakan satu dari ratusan gedung tua peninggalan Belanda di ”Kota Pahlawan”. Lokasi yang penuh sejarah di kota tua Surabaya itu kini menjadi tempat favorit warga untuk berfoto ria, termasuk para pesepeda yang gaungnya sekarang sedang merajalela.
Kawasan kota tua di kota metropolitan Surabaya yang tahun ini memasuki usia 727 tahun memang tak pernah sepi dari aktivitas warga. Sebagian masih menjadi pusat bisnis di kawasan Surabaya Utara, sebagian lain menjadi destinasi wisata untuk pecinta sejarah dan fotografi.
Pemerintah Kota Surabaya seakan belum berhenti melakukan penataan seluruh wilayah kota yang kini bependuduk 3,2 juta jiwa ini. Deretan ruko di Jalan Panggung dicat warna-warni agar sedap dipandang mata. Pedagang yang berjualan di kawasan itu pun ditata.
Baca juga: Surabaya Selalu Ada yang Mutakhir
Pemilik bangunan dan warga juga terlibat dalam menata lingkungan sekitarnya membuat hampir semua gang, jalan, dan lorong menjadi nyaman untuk dilalui baik berjalan kaki maupun bersepeda.
Keanggunan
Seperti diutarakan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, kawasan kota tua Surabaya benar-benar menyimpan keanggunan kota pahlwan ini. Di wilayah itu menjadi pusat segala aktivitas pemerintahan dan perdagangan. ”Betapa banyak nilai sejarah Kota Surabaya di kawasan yang berujung di Pelabuhan Kalimas di Tanjung Perak itu.
Eksotisme kawasan itu, menurut Risma, secara bertahap coba dihidupkan kembali dengan melakukan penataan, gedung dan lingkungannya. Upaya ini sekaligus untuk menghidupkan lagi kawasan itu sebagai titik pertemuan, dengan syarat tanpa merombak bangunan asli karena bersejarah dan bahkan banyak yang berstatus cagar budaya.
Suasana kawasan diupayakan dikembalikan saja seperti sediakala sehingga kelak bisa menjadi pusat pertemuan dari segala penjuru kota. Ibaratnya menjadi alun-alun kota. Setelah berputar-putar menjelajahi kota yang kini dihijaukan dengan 400 lebih taman, masuk keluar gang, naik perahu di Kalimas, maka langkah berakhir bisa di kawasan kota tua itu.
Baca juga: Surabaya Kembangkan Aplikasi Panduan Wisata
Mampir di kawasan itu akan menarik ketika muncul kafe, kedai kopi, warung makanan khas Surabaya yang otentik. Di beberapa titik juga ada pusat oleh-oleh sehingga kawasan kota tua bisa bangkit sesuai keinginan jaman. ”Roh kota tua Surabaya dihidupkan lagi mengikuti selera zaman tanpa ada secuil pun perombakan terutama bangunan,” kata Risma.
Kini memang nyaris tak ada hambatan ketika menjelajahi kota tua di utara Surabaya meski keluar masuk gang sempit. Seperti di Jalan Panggung yang semua rumah sudah dicat warna-warni oleh Pemkot Surabaya, ketika melintas seolah-olah berada di Eropa, dengan kekuatan pada lorong dan gedung tua.
Roh kota tua Surabaya dihidupkan lagi mengikuti selera zaman tanpa ada secuil pun perombakan, terutama bangunan.
Pedagang Pasar Pabean di sekitar itu juga tertib. Begitu selesai berjualan, semua properti, seperti tempat penyimpanan ikan dan meja berjualan, disusun rapi. Nyaris tak ada lagi benda yang menjorok ke badan jalan sehingga menyulitkan penjalan kaki atau pengendara roda dua.
Di sebelah Jalan Panggung, terdapat kawasan religi Ampel yang khas dengan nuansa Timur Tengah. Di tempat ini berdiri bangunan Masjid Sunan Ampel, salah satu wali sanga yang menyebarkan agama Islam di Jawa. Warga juga bisa menikmati sajian kuliner khas Timur Tengah, seperti roti maryam, nasi kebuli, nasi briani, dan gulai kacang ijo khas Ampel.
Dengan kondisi kota tua yang sekarang, menurut Cintya (28), yang rutin bersepeda dengan rekannya menyusuri Kota Surabaya, kini semakin banyak pilihan rute bersepeda. ”Tinggal pilih mau tamasya bersepeda apalagi mau menyusuri sungai, taman, wisata sejarah, ataupun religi. Semua ada di kota ini,” ujar perempuan yang gemar fotografi ini.
Eksotime kekusaman
Spot untuk prewedding tak kalah banyak. Hampir seluruh gang, gedung tua, gedung bersejarah, termasuk jembatan merah. Seperti diungkap dosen Arsitektur-Interior Fakultas Industri Kreatif Universitas Ciputra, Surabaya, Freddy H Istanto, yang menganggap Surabaya sebagai kota modern dikembangkan dari konsep kota benteng.
Kawasan permukiman Belanda yang berada di sebelah barat dipagari dinding benteng masif. Batas sebelah timurnya adalah Kalimas. Di belahan timur ini dibagi dua oleh handelstraat (straat=jalan, handel=Perdagangan). Kawasan utara untuk warga Melayu dan Arab. Sebaliknya, sebelah selatan dihuni untuk orang-orang China.
Kawasan untuk Belanda dinamakan Eropa Kecil. Bangunan megah berderet-deret seperti syair lagu, ”Jembatan Merah sungguh gagah// berpagar gedung indah//....” Arsitek terkenal Belanda, terutama arsitek muda ketika itu, berpacu menggelar karya rancang bangunnya di kawasan kota tua Surabaya ini.
Kawasan kota tua Surabaya, menurut Direktur Sjarikat Poesaka Soerabaia (Surabaya Heritage Society) ini, menyisakan artefak-artefak indah, tidak hanya pada zamannya seratus tahun lalu. Namun, sampai sekarang bangunan-bangunan itu masih menampilkan keanggunan dan kemolekannya meski masih banyak yang tak berpenghuni.
Kawasan untuk Belanda dinamakan Eropa Kecil. Bangunan megah berderet-deret seperti syair lagu, ’Jembatan Merah sungguh gagah// berpagar gedung indah//....’
Di kawasan Melayu dan Arab, menurut Freddy, menghadirkan tidak hanya arsitektur yang khas, tetapi juga menampilkan budaya yang unik. Seperti juga kawasan Pecinan. Mutiara-mutiara Surabaya itu juga menghadirkan silang budaya antaretnis.
Bahkan, di tataran elite, keluarga marga Tjoa menikah dengan Nyai Roro Kinjeng (1739-1793), putri Kyai Tumenggung Onggojoyo, Bupati Pasuruan. Istri Tjoa Kwie Soe ini wafat pada usia 54 tahun, dimakamkan dalam kompleks pemakaman keluarga keturunan Tjoa yang terletak di sebelah barat Masjid Ampel.
Suasana kampung-kampung di kawasan downtown Surabaya akhirnya mewakili ketiga budaya itu. Arsitektur rumah di perkampungan-perkampungan itu menjadi refleksi kekuatan tiga kebudayaan itu. Hadir tiga bentuk arsitektur di perkampungan itu, yaitu arsitektur Jawa, China, dan kolonial. Bahkan, perkampungan itu menghadirkan arsitektur campuran.
Keberagaman inilah yang sekaligus menghadirkan keunikan sebagai latar ataupun obyek foto. Kalau ada yang bilang generasi muda sudah tidak mau mengunjungi kawasan kota lama Surabaya, label itu sudah tidak valid lagi. Generasi muda datang ke kawasan ini bahkan mencari kekumuhan dan suasana tempo dulu.
Kejujuran ekspresi
Kejujuran ekspresi masa lalu dihadirkan lewat dinding rusak yang menyuguhkan tembok itu adalah kejujuran susunan batu bata. Tangga kayu dengan kayu yang mulai lapuk di ujung Jalan Gula menjadi instagramable. Di spot tangga tua ini, saking banyaknya anak muda datang berfoto di sini, muncul jasa tukang parkir dan penjual minuman ringan.
Baca juga: Taman, Tempat Berbaur Arek Suroboyo Kian Merata
Kalau dulu rumah abu keluarga-keluarga Tionghoa di Jalan Karet diabadikan dalam foto dengan suasana kejayaannya tempo dulu, kini pun banyak warga kota yang datang untuk mengambil angle ini meskipun hanya di teras bangunan saja. Suasana Pecinan yang khas juga obyek yang menarik untuk foto prewedding. Begitu juga kawasan Melayu dan Arab, menghadirkan atmosfer Timur Tengah yang eksotis untuk foto pranikah.
Banyak komunitas berdatangan ke kawasan ini. Mulai dari komunitas gowes yang menjadikan kawasan kota lama ini tempat berkumpul dan tentu berfoto-foto ria. Lalu komunitas batik, yang datang lengkap dengan koleksi busana batik yang cukup banyak untuk modal foto-fotonya. Jangan bilang komunitas fotografi, ”tua itu indah” menjadi fokusnya.
Blusukan ke kawasan lama merupakan roh komunitasnya, maka jeprat-jepret itu menjadi kewajiban. Apalagi mereka punya kemewahan untuk ngotot bagaimana caranya bisa memasuki gedung atau bangunan tua, terutama yang nyaris tak terawat. Foto pun lalu merebak ke mana-mana, segera tersebar lewat media sosial dan viral. Inilah kota tua Surabaya, meski tua selalu banyak yang merindukan untuk kembali pulang ke kota pahlawan ini. Iki Suroboyo rek!