Menatah Jalan Geopark Gunung Penanggungan
Gunung Penanggungan, Mojokerto, memiliki daya ”magis” tinggi berupa keanekaragaman geologi dan nilai kelangkaan arkeologi. Daya ini berpotensi menjadi ”palu” yang mampu menatah jalan menuju warisan taman bumi dunia.
Gunung Penanggungan di Jawa Timur memiliki daya ”magis” tinggi berupa keanekaragaman geologi dan nilai kelangkaan arkeologi. Daya ini berpotensi menjadi ”palu” yang mampu menatah jalan menuju warisan taman bumi dunia sebagai pilar konservasi, edukasi, dan ekonomi berkelanjutan.
Air suci dari sumber air keramat di kaki Gunung Bekel di sebelah barat laut puncak Penanggungan, Kabupaten Mojokerto, mengalir dari dinding yang menempel di lereng bukit. Alirannya mengucur melalui pancuran berupa batu relief, mengisi kolam di sekelilingnya hingga sekarang.
Jutaan tapak kaki manusia telah meniti bebatuan di sumber air yang dikenal sebagai Patirtan Jolotundo ini sejak abad-10 Masehi (M). Tulisan relief berangka tahun Saka 899 atau 977 M yang terpahat di salah satu bebatuan menjadi bukti yang tak terbantahkan. Jutaan bahkan bisa jadi miliaran liter kubik air suci telah ”ditimba” dari patirtan yang menjadi bagian dari jejak arkeologi di Penanggungan ini.
Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Jatim, Edi Tri Haryantoro, mengatakan, jejak arkeologi lain bertebaran di kaki, lereng, hingga punggung gunung. Profesor Van Romondt dalam artikelnya, ”Peninggalan-peninggalan Purbakala di Gunung Penanggungan”, tahun 1951 mencatat sekitar 82 bangunan candi.
Penanggunggan juga merupakan gunung purba dengan keragaman geologi (geodiversity) yang unik yang mencerminkan proses evolusi bumi di daerah tersebut.
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jatim pada 1995 telah menginventarisasi dan mendaftar ada 106 bangunan dan benda cagar budaya di lereng Penanggungan. Adapun Universitas Surabaya (Ubaya) bersama Nigel Bullough dalam surveinya secara simultan mencatat 113 bangunan dan cagar budaya.
Baca juga : Melasti di Gunung Penanggungan
”Data itu menunjukkan betapa besarnya potensi arkeologi di Penanggungan meskipun untuk memastikannya perlu dikaji kembali secara komprehensif,” ujar Edi Tri dalam diskusi Mengangkat Potensi Geopark yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, Sabtu (28/11/2020).
Saking banyaknya jejak arkeologi yang mengelilinginya, gunung yang secara administratif berada di Kabupaten Mojokerto dan Pasuruan ini mendapat julukan ”Gunung Seribu Candi”. Uniknya, bangunan cagar budaya dan benda cagar budaya itu memiliki konstruksi yang menempel di dinding gunung (Mengenal Situs Purbakala Di Gunung Penanggungan, Ubaya 2013).
Di sebelah barat laut, misalnya, terdapat Candi Kama, Candi Sadel, Candi Kendalisodo, dan Candi Kendali. Di lereng utara, misalnya, ada Candi Merak, Candi Lemari, Candi Yudha, Candi Pandhawa, dan Candi Penanggungan. Sementara itu, di lereng sebelah timur terdapat Candi Wayang, Candi Griya, Candi Dharmawangsa, dan Candi Gajah.
Kelangkaan budaya
Keberadaan candi itu memiliki muatan nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan agama, kebudayaan, sosial, dan bidang lainnya sehingga patut dilestarikan. Pada masa kejayaan Majapahit (1350-1389 M), misalnya, Penanggungan dianggap sebagai gunug suci Pawitra yang ditandai beberapa pertapaan tempat bermukim para Rsi (baca: resi).
Kakawin Negarakertagama karya Mpu Prapanca (1365 M) menyebutkan, dalam perjalanan keliling wilayah setiap tahun, Raja Hayam Wuruk tidak pernah lupa mengunjungi bangunan suci para Rsi di Pawitra ini. Itu mencerminkan pentingnya merawat pluralisme agama yang saat itu mewarnai keyakinan masyarakat Majapahit.
Baca juga : Melihat Jejak Peradaban Di Taman Arkeologi
Selain nilai penting, jejak arkeologi di Penanggungan memiliki nilai kelangkaan budaya yang sulit ditemukan di tempat lain. Contohnya, ide tentang arsitektur, ragam hias, dan material bangunan. Contoh lain, arsitektur candi berundak yang menjadi jalur asli pendakian ke puncak ternyata bermakna kontra akulturasi dalam konteks pembentukan kebudayaan.
”Ada aspek politik yang melatarbelakanginya. Ketika kekuasaan Majapahit guncang di era Putri Suhita (1429-1447 M), rakyat jelata percaya gunung-gunung berkesempatan muncul kembali, tetapi dengan lapisan Hindu di luarnya,” kata Tri Edi.
Banyaknya peninggalan berujud bangunan suci di Gunung Penanggungan menjadi karakter khas yang tidak dijumpai di tempat lain di Nusantara. Keberadaan Patirtan Jolotundo di sisi barat dan Patirtan Sumber Tetek di sisi timur menjadi bukti gunung sebagai tempat suci.
Dalam kaitan dengan upaya pengembangan Geopark Penanggungan di bidang budaya berpeluang diintegrasikan dengan pusat peradaban era Majapahit yang banyak ditemukan di Kecamatan Trowulan, Mojokerto, seperti kolam segaran, Candi Tikus, dan Candi Bajang Ratu agar lingkupnya menjadi lebih luas.
Keragaman geologi
Di sisi lain, Geolog ITS Amin Widodo mengungkapkan Penanggunggan merupakan gunung purba dengan keragaman geologi (geodiversity) yang unik, yang mencerminkan proses evolusi bumi di daerah tersebut. Komponen geologi ini, antara lain, mineral, batuan, fosil, struktur geologi, dan bentang alam, serta proses yang menyertainya.
Secara morfologi, puncak Penanggungan (1.653 meter) tidak berbentuk kerucut murni, tetapi ada delapan kerucut dengan ketinggian variatif yang mengelilinginya. Di sisi timur, misalnya ada Gunung Kemuncup (1.238 m), Gunung Bekel (1.260 m) di sisi barat laut, dan Gunung Wangi (987 m) di sisi utara.
”Banyaknya kerucut yang mengelilingi ini menjadi misteri tersendiri, misalnya kerucut mana yang proses terbentuknya paling tua,” ucap Amin Widodo.
Berdasarkan statigrafinya, ditemukan lapisan batuan yang beragam. Ada satuan aliran piroklastika, satuan lava, dan satuan lahar. Lapisan batuan yang beragam itu salah satu manfaatnya memunculkan banyak mata air sehingga menjadi kawasan hidrogeologi. Setidaknya ada sembilan mata air yang teridentifikasi dan dua di antaranya merupakan mata air besar.
Baca juga : Masuk Anggota UNESCO, Momentum Pembangunan Geopark Kaldera Toba
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Eko Budi Lelono mengatakan, tatanan tektonik Indonesia yang berada di antara pertemuan tiga lempeng, yakni Indo-Australia, Eurasia, dan lempeng Pasifik, menyebabkan negara ini memiliki keanekaragaman geologi yang unik dan berpotensi menjadi warisan geologi (geoheritage).
”Syaratnya, geodiversity ini harus bernilai tinggi, seperti nilai ilmiah dan pendidikan, estetika, budaya, wisata, dan lingkungan. Nilai inilah yang perlu dilindungi dan dilestarikan,” ujar Eko Budi.
Di Indonesia, situs warisan geologi didominasi oleh bentang alam vulkanik dan bentang alam kars. Jatim sendiri memiliki banyak potensi warisan geologi, seperti 13 warisan geologi di Gunungsewu Pacitan, 6 potensi situs warisan geologi di Trenggalek, dan 10 potensi situs di Bojonegoro.
Selain itu, ada 12 potensi situs di Banyuwangi, 22 keragaman geologi berupa goa di daerah kars di Tuban, dan 19 situs keragaman geologi di Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru yang tersebar di empat kabupaten.
”Sejauh ini, Badan Geologi belum pernah melakukan kegiatan identifikasi warisan geologi di Gunung Penanggungan. Namun, hal itu bukan berarti potensinya tidak ada, melainkan harus digali,” ucap Eko.
Pascapandemi
Geopark sendiri merupakan kesatuan daerah yang memiliki warisan geologi bernilai tinggi yang dikelola dengan konsep holistik dengan tujuan perlindungan atau pelestarian, pendidikan, dan memberi manfaat ekonomi secara berkelanjutan. Untuk membangun Geopark Penanggungan, prosesnya masih panjang.
Proses diawali dengan menggali atau mengidentifikasi warisan geologi, membentuk badan pengelola, menyusun rencana induk konservasi dan pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan ekonomi lokal. Kemudian menyusun peta deliniasi geopark, tema, panel informasi, publikasi, dan promosi. Selanjutnya membangun jejaring kerja sama dan masuk dalam jejaring nasional serta global.
Kepala Subdirektorat Geologi Mineral Pertambangan dan Panas Bumi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional /Bapenas Togu Pardede mengatakan, geopark mendapat perhatian serius dari pemerintah sebagai jalan pembangunan dan transformasi ekonomi.
Seperti diketahui, pandemi Covid-19 telah berdampak pada kondisi ekonomi global, antaralain berupa terkontraksinya pertumbuhan ekonomi, bertambahnya tingkat pengangguran terbuka, meningkatkan kemiskinan, dan turunnya kunjungan wisatawan.
Salah satu upaya pemulihan ekonomi pasca-Covid-19 ialah menggenjot penerimaan devisa melalui sektor pariwisata. Pemerintah pusat telah menetapkan destinasi pariwisata prioritas dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional 2020-2024, seperti Danau Toba, Bangka Belitung, Borobudur, Bromo-Tengger-Semeru, Banyuwangi, dan Lombok-Mandalika.
Dalam kebijakannya, pemerintah pusat telah mengubah paradigma pengelolaan sumber daya alam yang sebelumnya ekstraksi menjadi konservasi dan peningkatan nilai tambah berkelanjutan. Geopark menjadi salah satu program prioritas dan hal itu tecermin dari banyak kementerian yang terlibat mengurusi.
Geopark sebagai pariwisata alam berkelanjutan menjadi pemicu awal pemulihan ekonomi di masa pandemi karena mampu menyerap tenaga kerja dan memiliki efek ganda di sektor lainnya. Untuk membangun geopark, diperlukan sinergi dan kolaborasi antarsemua pemangku kepentingan yang terlibat, termasuk pemerintah daerah.
Kekayaan geologi dan arkeologi yang dimiliki Penanggungan tidak boleh disia-siakan. Waktunya menggali kekayaan agar lestari, berkontribusi pada nilai kehidupan, dan bermanfaat untuk kelangsungan ekonomi masyarakat. Daya ”magis” kekayaan geologi dan arkeologi harus dijadikan ”palu” atau kekuatan besar untuk menatah jalan menbangun Geopark Penanggungan.