Jakarta, Kompas Dewan Kopi Indonesia dan Kementerian Pertanian menargetkan peningkatan produktivitas dengan menggenjot pendapatan petani kopi. Kusutnya tata niaga dianggap merugikan petani sehingga mereka tidak termotivasi untuk meningkatkan mutu dan jumlah produksi kopi.
Ketua Umum Dewan Kopi Indonesia (Dekopi), Anton Apriyantono, seusai pengukuhan pengurus, pembina, dan anggota periode 2018-2024 oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (11/3), menyatakan, kesejahteraan petani menjadi isu krusial dalam pengembangan kopi. Harga kopi yang diterima petani rendah, sehingga berdampak pada produktivitas kebun dan produksi kopi nasional yang juga rendah.
”Di hilir, harga secangkir kopi bisa puluhan ribu rupiah, sementara di tingkat petani harga kopi hanya Rp 8.000 per kilogram (kg). Kami tengah menyusun program jangka pendek, menengah, dan panjang. Salah satu fokusnya terkait peningkatan produksi,” kata Anton yang juga mantan Menteri Pertanian ini.
Menurut Anton, rantai yang panjang membuat harga jual kopi di tingkat petani tidak optimal. Salah satu model yang akan ditawarkan Dekopi adalah kemitraan antara eksportir dan petani, berikut lembaga penjamin dan perbankan sebagai penyokong modal. Dengan demikian, rantai pasok terpotong, sehingga petani dan eksportir bisa menikmati harga optimal.
Data menunjukkan situasi yang meredup beberapa tahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Kopi 2016 menyebutkan, luas kebun kopi rakyat terus turun dari 1,184 juta hektar pada 2014 menjadi 1,183 juta hektar pada 2015, dan 1,181 juta hektar pada 2016. Luas kebun milik perkebunan besar swasta juga terus turun pada 2014-2016, yakni dari 24.460 hektar, lalu 24.390 hektar, menjadi 18.900 hektar.
Sementara, hasil panen kopi dari kebun rakyat turun dari 613.000 ton pada 2014 menjadi 602.000 ton pada 2016. Sementara, produksi dari perkebunan besar anjlok dari 36.980 ton di 2015 menjadi 8.260 ton pada 2016. Adapun ekspor kopi Indonesia berfluktuasi, yakni 384.820 ton (2014), naik menjadi 502.020 ton (2015), namun turun lagi menjadi 414.650 ton (2016).
Dengan demikian, produktivitas kebun secara rata-rata tidak lebih dari 0,7 ton per hektar.
Padahal, menurut Amran, produktivitas kebun di Vietnam sudah mencapai 2-3 ton per hektar. ”Kami yakin dengan memacu produktivitas menjadi 2 ton-3 ton per hektar, tanpa menambah luas kebun, Indonesia bisa jadi produsen kopi terbesar dunia. Sebab luas kebun Indonesia paling luas,” ujarnya.
Indonesia bisa jadi produsen kopi terbesar dunia.
Modal
Amran menambahkan, Kementan menyiapkan anggaran lebih dari Rp 1 triliun tahun ini untuk membantu perbenihan di sektor perkebunan. Dia berharap, bantuan dapat meningkatkan produksi komoditas perkebunan Indonesia.
Petani kakao dan komoditas perkebunan lain menghadapi problem terkait permodalan. Menurut Ahmad Omen Khomeiny, petani kakao asal Luwu, Sulawesi Selatan, pada Jakarta Food Security Summit di Jakarta pekan lalu, modal dari perbankan masih sulit diakses petani. (MKN)