Paradoks dalam Perekonomian Indonesia
Perekonomian Indonesia selama 20 tahun pasca reformasi mengalami paradoks. Sejumlah koreksi yang dilakukan memberi manfaat positif. Namun, pada saat yang sama, sejumlah persoalan juga melekat.
”Selama 20 tahun pasca reformasi, perekonomian Indonesia mengalami paradoks. Ini adalah tantangan yang harus segera diurai,” kata Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Atma Jaya Jakarta, Agustinus Prasetyantoko, dalam diskusi tentang 20 Tahun Pasca Reformasi yang digelar Harian Kompas, beberapa waktu lalu.
Paradoks itu setidaknya meliputi tiga hal. Pertama, perekonomian Indonesia melalui berbagai koreksi sistem moneter dan fiskal semakin memiliki daya tahan terhadap gejolak atau tekanan ekonomi. Namun, pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan.
Perbaikan daya tahan ekonomi terbukti saat krisis keuangan global di 2008. Saat itu, Indonesia mengalami gejolak tetapi tidak sampai jatuh pada krisis sebagaimana terjadi pada 1998.
Sementara, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan. Selama 1968-1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 7-8 persen per tahun. Ada periode yang pertumbuhannya di bawah itu, tetapi relatif pendek, yakni pada 1981-1987. Saat itu, laju pertumbuhan ekonomi bergejolak, dari yang terendah yakni 2,25 persen hingga yang tertinggi yakni 7,9 persen. Rata-rata sekitar 5 persen per tahun.
Krisis Asia menghantam di pertengahan Juni 1997. Pertumbuhan ekonomi tahun itu anjlok menjadi 4,7 persen. Titik nadirnya terjadi setahun kemudian, ketika pertumbuhan ekonomi mencapai -13,16 persen.
Pasca 1998 atau setelah reformasi, pertumbuhan ekonomi rata-rata tak sampai 6 persen per tahun. Kondisi ini terbantu ledakan harga komoditas. Pertumbuhan tertinggi periode pasca reformasi sampai dengan 2017 terjadi di 2011, yakni 6,5 persen.
Berikutnya, pertumbuhan ekonomi terus melambat dan akhirnya stagnan di kisaran 5 persen sejak 2014 sampai 2017. Bahkan, stagnasi bisa berlanjut tahun ini. Pemerintah dan DPR menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,4 persen. Sementara, berbagai instansi memproyeksikan 5,1-,5,3 persen.
Paradoks kedua terjadi di perbankan. Pasca reformasi, perbankan solid tetapi fungsi intermediasinya lemah. Sejumlah indiktor mengonfirmasi soliditas perbankan, di antaranya rasio kecukupan modal yang mapan, keuntungan yang terjaga, dan efisiensi yang membaik.
Adapun fungsi intermediasi yang lemah ditunjukkan dengan penyaluran kredit yang melambat setelah mencapai 25,5 persen pada 2011. Bahkan, pada tiga tahun terakhir, pertumbuhannya selalu di bawah 10 persen. Pola yang sama juga terjadi pada pertumbuhan dana pihak ketiga.
Paradoks ketiga adalah perekonomian Indonesia menjadi terbuka, tetapi sektor keuangan tipis sehingga rawan bergejolak. Investasi, baik langsung maupun portofolio, terus tumbuh. Namun, karena sektor keuangan domestik tipis, besarnya dana asing yang diinvestasikan dalam bentuk portofolio bisa sewaktu-waktu terbang ke luar saat terjadi gejolak keuangan global.
Untuk itu, Prasetyantoko melanjutkan, perekonomian Indonesia harus mengatasi setidaknya tiga masalah pokok, yakni sektor keuangan yang dangkal, daya saing industri yang rendah, dan kesenjangan ekonomi.
Periode selanjutnya
”Lalu apa tantangan di 2018 dan periode selanjutnya? Yang pasti tahun ini dan tahun depan adalah tahun politik,” kata Prasetyantoko.
Ketidakpastian yang bersumber dari politik itu terjadi di dalam negeri dan luar negeri. Dari dalam negeri, Indonesia akan menghelat pemilihan kepala daerah serentak di 2018 dan 2019, serta pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden-wakil presiden pada 2019.
Sejumlah negara dan kawasan juga mengalami ketidakpastian akibat politik, misalnya ketegangan di Timur Tengah, persoalan nuklir, dan kontroversi kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Semua ini akan memengaruhi perekonomian global.
Tantangan yang tengah dan akan makin dialami perekonomian nasional dan global adalah kemajuan teknologi. Hal mutakhir adalah pertumbuhan ekonomi digital dan revolusi industri 4.0.
”Artinya, makin tinggi ketidakpastian di 2018 dan tahun-tahun berikutnya. Indonesia adalah wahana yang bagus untuk mengkapitalisasi kemajuan teknologi. Setelah 20 tahun krisis, banyak pekerjaan rumah yang bisa diselesaikan. Teknologi bisa membantu. Syaratnya didesain dengan baik,” kata Prasetyantoko.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Aqil Siroj, mengatakan, pembangunan selama 20 tahun pasca reformasi belum menghasilkan keadilan sosial. Bahkan, kondisinya justru masih jauh dari harapan.
Hal ini antara lain tercermin dari ketimpangan penguasaan lahan. ”Ada perusahaan yang mengelola 5,5 juta hektar lahan. Sementara Jumadi, warga NU, tidak punya lahan garapan sama sekali,” kata Said.
Said mendesak pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk benar-benar mewujudkan keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan modal dasar untuk perekonomian Indonesia.
Tantangan
Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pembangunan selama 20 tahun pasca reformasi mencatatkan sejumlah capaian positif. Namun, tantangan struktural juga muncul, yang terutama menyangkut perubahan struktur demografi dan struktur perekonomian nasional.
Jumlah penduduk Indonesia meningkat 25 persen dari 207 juta pada 1999 menjadi 259 juta pada 2017 dengan dominasi penduduk usia produktif. Merujuk data Bank Dunia, 52 juta jiwa di antaranya adalah kelas menengah.
Bank Dunia melalui laporan 2014 juga menyebutkan, urbanisasi di Indonesia semakin intensif. Pertumbuhannya 4 persen per tahun.
Perubahan struktur perekonomian Indonesia merujuk pada perekonomian yang lebih terdiversifikasi. Peranan investasi lebih besar dalam perekonomian, dari 27 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 1997 menjadi 32,2 persen PDB di 2017. Porsi sektor jasa dalam perekonomian terus membesar. Sementara, sektor manufaktur cenderung menyusut. Porsi konstruksi juga meningkat seiring prioritas pemerintah pada percepatan pembangunan infrastruktur.
Tantangan struktural lain, lanjut Sri Mulyani, adalah kualitas sumber daya manusia yang rendah, kurangnya koordinasi pusat-daerah, dan tidak sinkronnya peraturan.