Merayakan kekayaan Nusantara bisa lewat berbagai cara, salah satunya dengan kopi. Selera boleh saja berbeda. Namun, saat kisah mengalir bersama secangkir kopi, perbedaan bukanlah menjadi satu pemisah.
Musnardi Moenir tidak menampik banyak petani dan pemilik usaha kopi kerap mampir di kedainya yang dikelolanya di Kota Sungai Penuh, Jambi, Korintji Heritage. Di sana, petani dan pemula usaha kopi arabika, robusta, ataupun liberika berkumpul. Sembari minum kopi bareng, banyak hal dikupas bersama, mulai dari mengolah biji kopi yang benar, mengemas produk, hingga menggaet pasar. ”Kebersamaan akhirnya selalu terjalin di sana,” katanya, Selasa (17/7/2018).
Petani dan para pelaku usaha dengan beragam jenis kopi produksi kini berkumpul kembali. Mereka akan datang untuk menyemarakkan Festival Kopi Nusantara yang digelar harian Kompas dan Bank BRI pada 19-22 Juli di Bentara Budaya Jakarta di kawasan Palmerah, Jakarta. Ada di antaranya pelaku kopi arabika dari kaki Gunung Kerinci, robusta di wilayah adat di kaki Gunung Masurai, hingga para penyeduh liberika dari pesisir Jambi.
Mereka melebur bersama pelaku kopi dari ujung timur hingga barat negeri ini. Festival kopi selama empat hari itu menghadirkan citra negeri kopi Aceh yang lekat dengan kopi gayonya, Sumatera Utara dengan kopi Mandailing dan Sidikalang. Di ujung timur, kopi Wamena dari Pegunungan Jayawijaya dan kopi Dogiyai dari Pegunungan Mapia. Ada pula petani kopi dari Jawa Timur dan Flores, bahkan pendatang baru dari tanah humba, Sumba. Turut serta di dalamnya kedai-kedai kopi di Jakarta.
Ubah wajah
Kopi di negeri ini awalnya datang sebagai sebuah komoditas. Kedatangannya pada 1699 telah mengubah wajah Nusantara. Ada kisah penguasaan, pembaruan, dan masuknya kultur baru. Kisah-kisah itulah yang menjadi cikal bakal rasa Nusantara.
Dimulai dari tanah Preanger, biji kopi yang didatangkan dari Malabar, India, tahun 1699, menjelma menjadi sebuah peradaban perkebunan. Jutaan pohon kopi ditanam dan berton- ton kopi dikirim ke Eropa. Sejarah pahit kopi pun tak bisa dilepaskan dari kisah tersebut.
Kisah kopi berlanjut ke pesisir hingga pedalaman Jawa, Sumatera, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara, bahkan Papua. Di tempat-tempat itu kopi tak sekadar menjadi bagian dari minuman, tetapi lebih dari itu menjadi bagian dari kekayaan kultur hingga daya hidup masyarakat setempat.
Di Aceh, kopi menjadi roh di kehidupan berkebun para petani. Kopi pun menjadi bekal para pejuang gayo dalam bergerilya di masa kemerdekaan. Kopi juga membawa perubahan besar di Papua. Tanaman yang diperkenalkan para misionaris ini menjadi modal masyarakat pedalaman untuk bisa menatap perubahan zaman.
Napas hidup warga di Bali juga tak lepas dari kopi. Di zaman modern ini, kopi bersinergi dengan wisata dan menjadi daya baru di perdesaan, di antaranya di Sumatera Selatan, Lampung, dan Flores. Lebih jauh lagi di Jambi, kopi menjadi jembatan ekonomi dan lingkungan. Kini, kopi menyemarakkan lagi nama Sidikalang, Jawa, dan Toraja.
Sekitar 2 juta hektar perkebunan kopi tersebar di penjuru negeri. Beragam rasa kopi bisa didapatkan, berikut berbagai cara menikmatinya. Setelah tiga abad lebih ditanam di negeri ini, kopi pun telah menjadi sebuah subkultur tersendiri, membuka peluang sekaligus tantangan.
Kisah kopi itu dirajut harian Kompas bersama BRI sejak Desember 2017 hingga Maret 2018 melalui liputan jurnalistik Jelajah Kopi Nusantara. Tim Kompas merekam jejak aroma kopi, pergerakan budaya yang dibawanya, termasuk tantangan dan peluangnya. Karya jurnalistik berkaitan dengan kopi dan kultur tersaji dalam rangkaian narasi, fotografi, dan video.
Kisah-kisah itu bisa menjadi modal untuk mengenal lebih dekat dengan kopi sebagai kultur sekaligus komoditas. Potensi yang besar ini bisa digali sebagai potensi. Momentum ini jangan sampai lewat dengan hampa. Kini, mari menikmati kekayaan rasa Indonesia dalam secangkir kopi! (NIT/ITA)