JAKARTA, KOMPAS--Pemerintah akan menjaga pasokan bahan pangan pokok dan barang konsumsi di desa untuk mengatasi inflasi di perdesaan. Selain bahan pangan pokok, pasokan barang konsumsi juga penting karena masyarakat desa sudah mengonsumsi produk-produk industri.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita kepada Kompas di Jakarta, Jumat (3/8/2018), mengatakan, saat ini masyarakat desa tak hanya mengonsumsi pangan pokok, tetapi juga barang-barang konsumsi lain. Untuk menjaga harga pangan pokok, pemerintah akan memastikan ketersediaan pangan pokok di desa tercukupi.
Untuk menstabilkan harga telur dan daging ayam ras, pemerintah akan meminta peternak menambah suplai telur dan ayam. Adapun untuk menstabilkan harga beras, operasi pasar dapat dilakukan di desa melalui Perum Bulog dan jaringannya.
“Agar masyarakat desa mendapatkan barang-barang konsumsi dengan harga yang relatif sama dengan di kota, kami akan meminta pelaku usaha ritel bekerja sama dengan warung-warung di desa,” kata dia.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah merintis kemitraan antara ritel modern dengan warung-warung sejak tahun lalu. Namun, program kemitraan itu belum berjalan optimal dan belum menyentuh daerah perdesaan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi nasional pada Juli 2018 sebesar 0,28 persen. Sementara, inflasi di perdesaan lebih tinggi dari inflasi nasional, yakni 0,82 persen. Inflasi tertinggi terjadi di kelompok bahan makanan yang sebesar 1,40 persen, yang dipicu kenaikan harga telur ayam ras, daging ayam ras, dan cabai rawit.
Inflasi tersebut tidak dimbangi dengan peningkatan pendapatan masyarakat desa, terutama petani. Hal itu terlihat dari nilai tukar petani (NTP) yang peningkatannya terbatas.
NTP hanya tumbuh 1,82 persen, dari 100,31 pada semester I-2017 menjadi 102,14 pada semester I-2018. Khusus nilai NTP Tanaman Perkebunan Rakyat, pada Juli 2018 sebesar 97,01 atau di bawah batas ideal NTP yang sebesar 100.
Angka NTP di bawah 100 menunjukkan petani mengalami defisit. Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsi. Pendapatan petani turun dan lebih kecil dari pengeluarannya.
Pasokan
Secara terpisah, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta A Tony Prasetiantono menyampaikan, pada dasarnya inflasi di desa adalah masalah pasokan barang-barang konsumsi hasil industri yang tidak tersedia dalam jumlah yang cukup dan waktu yang tepat. Kesenjangan dalam hal kuantitas pasokan dan ketepatan waktu distribusi itu harus diatasi.
“Hal ini antara lain disebabkan distribusi barang yang kurang baik. Ketersediaan infrastruktur yang baik dan konektivitas antar daerah akan sangat membantu,” kata Tony.
Akan tetapi, menurut Tony, inflasi akibat kenaikan harga bahan pangan di desa, terutama telur dan daging ayam ras, merupakan persoalan distribusi. Ia mencontohkan, pada satu desa ada produsen telur. Namun, belum tentu produsen itu menjual telur-telurnya di desa tersebut.
Telur itu bisa juga dijual ke luar daerah. Jika terjadi kelangkaan telur dan harganya naik, berarti daerah tersebut tidak memiliki data produksi dan distribusi. Akibatnya, mereka tidak dapat mengantisipasi kelangkaan suplai telur di daerahnya.
“Untuk itu, pemerintah daerah perlu membuat data komprehensif dari sisi produksi, distribusi, dan konsumsi. Hal itu bertujuan agar tidak terjadi kelangkaan pangan di daerahnya sendiri,” tambah Tony.
Dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi, 26 Juli, Presiden Joko Widodo menekankan pengendalian inflasi melalui ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi. (HEN/KRN/JUD)