JAKARTA, KOMPAS — Permintaan kopi, baik pasar global maupun domestik, terus meningkat. Namun, produktivitas perkebunan kopi di Indonesia masih rendah. Oleh karena itu, pemerintah harus turun tangan untuk meningkatkan produksi, termasuk membuat penelitian untuk mencari bibit murni kopi.
”Selama ini komoditas kopi dilakukan sendiri oleh rakyat sehingga produktivitasnya tidak bisa maksimal. Oleh karena itu, pemerintah harus turun tangan membantu,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution saat membuka diskusi Strategi Kebijakan dan Program Pengembangan Kopi Indonesia untuk Merespons Kebutuhan Agroindustri Kopi Global di Jakarta, Rabu (8/8/2018).
Darmin mengatakan, beberapa tahun terakhir, pertumbuhan konsumsi kopi mencapai 8,8 persen, sedangkan pertumbuhan produktivitas kopi cenderung stagnan, yakni 0,3 persen. ”Jika terus seperti ini, bisa-bisa dalam 2-3 tahun mendatang kita harus mengimpor kopi. Kebutuhan kopi untuk konsumsi domestik sangat besar,” kata Darmin.
Produktivitas yang rendah selama ini, menurut Darmin, karena petani tidak mendapatkan informasi yang lengkap untuk menghasilkan kopi berkualitas. Praktik yang terjadi, petani menjual gabah kopi dalam keadaan kering, lalu semua prosesnya hingga menjadi kopi yang siap minum, dilakukan di luar. Akibatnya, petani hanya mendapat 2 bagian dari keuntungan kopi, sedangkan yang 8 bagian diambil pedagang dan pabrik pengolahan kopi.
”Dengan keuntungan yang sedikit, petani tidak cukup modal untuk memperbesar lahan, meremajakan tanaman, dan menjaga kualitas biji kopinya,” ujar Darmin.
Saat ini luas areal kebun kopi di Indonesia 1,25 juta hektar, yang terdiri dari kebun kopi robusta (0,91 juta hektar atau 73 persen) dan arabika (0,34 juta hektar atau 27 persen). Baik robusta maupun arabika hampir semuanya dikelola petani. Luas kebun kopi yang dikelola setiap keluarga petani umumnya hanya sekitar 0,71 hektar per keluarga untuk robusta dan 0,58 hektar untuk arabika.
Padahal, idealnya satu keluarga mengelola 2,69 hektar kebun kopi robusta dan 1,44 hektar untuk arabika.
”Dengan luas dan produktivitas yang ideal, petani memiliki penghasilan yang cukup untuk keberlanjutan kebunnya sekaligus meningkatkan taraf hidupnya,” kata Darmin.
Persoalan
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Pranoto Soenarto mengatakan, persoalan dalam komoditas kopi memang cukup banyak. Persoalan itu termasuk masih banyak spekulan yang mempermainkan ketersediaan kopi. ”Persoalan kopi bisa diatasi jika ada kekompakan dan tidak ada spekulan yang menetapkan harga tinggi karena ketersediaan kopi di pasaran terbatas,” kata Pranoto.
Menurut dia, berapa pun jumlah kopi yang digelontorkan ke pasar, pasti terserap. Kondisi itulah yang membuat spekulan mempermainkan harga. Hal ini merugikan petani dan konsumen.
Petani kopi dari Mandailing Natal, Sumatera Utara, Mahfus Nasution, mengatakan, kendati harga kopi di masyarakat cukup tinggi, harga di tingkat petani cenderung rendah. Sebab, petani menjual biji kopi dalam bentuk basah. ”Petani ingin segera mendapatkan uang, jadi dijual dalam kondisi habis panen. Harganya rendah, cuma Rp 30.000 per kilogram gabah basah,” kata Mahfus.
Selain itu, petani juga kesulitan meningkatkan produktivitasnya. ”Di desa kami ada 300 petani kopi. Mereka ingin mengembangkan produk, tetapi tidak bisa karena tidak ada lahan,” ujarnya.