JAKARTA, KOMPAS -- Transaksi penjualan produk makanan olahan dalam Trade Expo Indonesia atau TEI 2018 melonjak 4,5 kali lipat dibanding tahun lalu. Kenaikan itu menandakan minat global pada produk makanan olahan meningkat.
Lonjakan itu tampak dari transaksi penjualan produk makanan olahan yang pada TEI 2018 yang mencapai 434,51 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 6,35 triliun. Pada TEI 2017, transaksi tercatat 78,61 juta dollar AS.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, kenaikan transaksi 4,5 kali lipat itu mempertegas potensi produk bernilai tambah di pasar global. "Transaksi ini menggembirakan. Produk makanan olahan memang salah satu nilai jual Indonesia," katanya saat ditemui setelah jumpa pers di Jakarta, Jumat (9/11/2018).
Dibandingkan produk lainnya, makanan olahan merajai transaksi TEI 2018 dengan proporsi 31,72 persen. Produk kimia menempati posisi ketiga dengan proporsi 10,47 persen dan nilai transaksi 143,36 juta dollar AS.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman mengatakan, pembeli yang paling berminat dengan produk olahan Indonesia berasal dari Cina dan AS. Sementara, negara-negara nontradisional yang berminat berasal dari Afrika dan Amerika Latin.
Secara spesifik, produk makanan-minuman olahan yang paling diminati terdiri dari kudapan, biskuit, permen, dan minuman kemasan. "Peningkatan permintaan ini didongkrak oleh inovasi produk, misalnya dari segi variasi bentuk dan rasa," ujar Adhi saat dihubungi Kompas.
Inovasi produk itu, menurut Adhi, menarik minat negara-negara tradisional seperti Cina dan AS. Dia mencontohkan, ada pelaku usaha dari AS yang berminat dengan minyak kelapa sawit merah Indonesia.
Berbeda dengan negara-negara tradisional, negara-negara nontradisional lebih mementingkan harga. Adhi mengatakan, negosiasi harga itu terjadi karena negara-negara tersebut mempertimbangkan fluktuasi nilai tukar mata uang.
Inovasi
Selain itu, pelaku usaha produk makanan-minuman olahan mendapatkan masukan dari segi kemasan. "Mereka (negara-negara peminat) menginginkan model kemasan yang sederhana, misalnya dengan satu warna. Kami juga harus menyesuaikan standar label pada kemasan dengan sejumlah negara," tutur Adhi.
Agar tren kenaikan itu terjaga, Adhi mengimbau pelaku usaha untuk berinovasi dalam mengembangkan industri makanan-minuman. Inovasi itu tidak hanya dari segi produk, tetapi juga material dan desain kemasan.
Di sisi pemerintah, Adhi mengharapkan negosiasi tarif maupun nontarif dengan negara-negara tujuan ekspor diperkuat. Selain itu, negosiasi penghalang teknis (technical barrier) juga perlu diperhatikan.
Contohnya, masalah dokumentasi di Amerika Latin. Adhi menyebutkan, ada perbedaan standar dalam bentuk susunan dokumen yang menyertai produk ekspor.
Secara umum, TEI 2018 mencatat jumlah transaksi mencapai 8,49 miliar dollar AS atau sekitar 4 kali lipat dari target sebesar 1,5 miliar dollar AS. Sebelumnya, transaksi TEI 2017 tercatat 1,406 miliar dollar AS.
Tindak lanjut
Sebagai tindak lanjut TEI 2018, Enggartiasto mengatakan, pemerintah akan mengadakan kunjungan kerja ke Aljazair. “Ada potensi pasar minyak kelapa sawit mentah, alas kaki, dan tekstil yang besar di sana,” ucapnya.
Namun, Aljazair bukan anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization). Oleh sebab itu, Enggartiasto meminta pelaku usaha manajemen risiko perdagangan diperkuat karena tidak ada hakim jika terjadi sengketa.
Dalam kesempatan yang sama, Enggartiasto mengatakan, transaksi Indonesia dalam China International Import Expo sudah mencapai 4,7 miliar dollar AS. Pameran internasional yang digelar di Shanghai itu berlangsung pada 5 - 10 November 2018.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Arlinda menambahkan, kontribusi terbesar pada pencapaian itu berasal dari penandatanganan nota kesepahaman dagang pada hari pertama sebesar 3,75 miliar dollar AS. Adapun produk yang diminati terdiri dari, batu bara, produk kelapa sawit, dan kopi.