Para nelayan di Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Sulawesi Tengah, rata-rata sudah melaut lagi seusai gempa dan tsunami lalu.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
DONGGALA, KOMPAS — Para nelayan di Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Sulawesi Tengah, rata-rata sudah melaut lagi setelah gempa dan tsunami lalu. Mereka tak lagi trauma untuk melaut. Peralatan mereka bikin sendiri dengan bantuan dari berbagai pihak.
Nelayan umumnya melaut lagi tiga bulan setelah gempa dan tsunami pada 28 September 2018. ”Saya melaut dengan perahu yang saya perbaiki. Perahu sempat rusak karena dihantam tsunami,” kata Irpan Dg Karompo (54), nelayan Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Rabu (28/8/2019).
Irpan menceritakan, perbaikan perahu itu dilakukannya dengan modal sendiri. Ia membeli kayu untuk menambal bagian yang patah atau bocor. Selain itu, ia juga membeli mesin ketinting.
Saya melaut dengan perahu yang saya perbaiki. Perahu sempat rusak karena dihantam tsunami.
Saat ini, Irpan bisa mendapatkan Rp 100.000 per hari setelah tangkapan dikurangi untuk konsumsi keluarga. Dia bersama nelayan lainnya biasa melaut pada subuh hingga siang hari.
Kisman Djilo (50), nelayan lain yang juga penyintas tsunami Desa Loli Tasiburi, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, juga sudah lama melaut. Awalnya, ia menangkap ikan dengan sero, bahasa lokal untuk menyebut penangkapan ikan dengan membuat perangkap ikan di pinggir laut. Setelah itu, ia mendapat bantuan perahu bersama kelompoknya.
”Sebanyak 11 anggota kelompok semuanya sudah melaut. Kami murni nelayan sehingga bergantung pada laut. Bantuan dari berbagai pihak cukup membantu,” ujar Ketua Kelompok Nelayan Lumba-Lumba itu.
Di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, nelayan umumnya melaut 5 bulan setelah tsunami. Nelayan pada mulanya melaut dengan perahu yang diperbaiki. Setelah itu, ada bantuan perahu dari berbagai pihak. Namun, tak sedikit juga yang membeli sendiri perahunya.
”Saya nelayan. Saya tidak bisa menunggu untuk memulai beraktivitas,” ujar Arwin (52), nelayan yang mulai melaut 5 bulan setelah tsunami dengan perahu yang dibelinya sendiri.
Kecamatan Banawa di Donggala dan Kelurahan Lere di Kota Palu contoh dua wilayah yang dihantam gempa dan tsunami. Selain rumah hancur, alat-alat penangkapan ikan juga hancur.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perwakilan Indonesia dan Timor Leste pada Rabu ini menyalurkan bantuan kepada 2.650 nelayan di Donggala dan Palu yang terdampak tsunami. Bantuan berupa kotak pendingin (cool box) dan jaring.
Penyerahan bantuan dilakukan di Anjungan Gonenggeti, Donggala. Turut hadir, Direktur Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulfikar Mochtar, Wakil Kepala Perwakilan FAO Indonesia dan Timor Leste Ageng Herianto, Sekretaris Daerah Provinsi Sulteng Hidayat Lamakarate.
Ageng menyampaikan, FAO memberikan perhatian khusus kepada nelayan dan juga petani kecil setelah gempa dan tsunami. Tujuannya untuk pemulihan sumber ekonomi keluarga mereka. Total bantuan untuk nelayan Rp 3 miliar.
Hidayat menyatakan banyak pihak yang membantu para nelayan untuk pulih secara ekonomi. Pihaknya mengucapkan terima kasih atas keterlibatan berbagai pihak tersebut.
Selain jaring dan kotak pendingin, bantuan dari berbagai lembaga/yayasan yang telah diterima nelayan selama ini berupa perahu dan uang tunai.
Potensi besar
Zulfikar mengingatkan, perikanan tangkap memiliki potensi besar. Pada 2018, tercatat stok atau potensi ikan 13 juta ton, naik dari 2013 yang 6 juta ton. Potensi tersebut harus dimanfaatkan dengan baik dengan dukungan besar kepada nelayan, seperti bantuan kapal.
Untuk mengoptimalkan potensi tersebut, Zulfikar menyatakan pemerintah daerah bisa menggerakkan badan usaha milik daerah menggarap sektor perikanan. Selama ini jarang BUMD menggarap sektor perikanan. Padahal, dengan cara itu, ekonomi di sektor perikanan bisa terbuka lebar, mulai dari pemasaran, penyediaan fasilitas pendukung, sekaligus menambah pendapatan asli daerah.