Optimalisasi kegiatan jasa industri dinilai penting untuk meningkatkan daya saing produk manufaktur Indonesia. Hal ini tidak lepas dari porsi besar komponen jasa.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Optimalisasi kegiatan jasa industri dinilai penting untuk meningkatkan daya saing produk manufaktur Indonesia. Hal ini tidak lepas dari porsi besar komponen jasa dalam pembuatan suatu produk.
Salah satu kajian mengenai struktur biaya suatu produk menunjukkan bahwa porsi biaya langsung pembuatan produk hanya sekitar 6,5 persen. "Selebihnya adalah biaya riset dan pengembangan, jasa logistik, jasa promosi, jasa desain, dan lainnya," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ngakan Timur Antara di Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Ngakan mengatakan hal tersebut di sela pameran Jasa Industri di Kemenperin. Efisiensi layanan jasa berpotensi menurunkan biaya dan harga produk yang dijual sehingga daya saing produk pun akan meningkat.
Sektor manufaktur saat ini berkontribusi 19-20 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sumbangan jasa terkait industri diperkirakan dapat menambah 4-5 persen terhadap PDB.
"Dan (jasa terkait industri) ini masih mungkin bertumbuh pada masa mendatang. Apalagi Making Indonesia 4.0 memunculkan berbagai peluang baru di bidang itu," kata Ngakan.
Pemerintah ingin mempromosikan kepada masyarakat untuk lebih melihat peluang jasa industri. Sehingga, generasi muda pun akan memiliki lebih banyak sudut pandang dalam berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Ngakan menuturkan selama ini jasa terkait industri di PDB dimasukkan ke jasa. "(Hal ini) Karena kami belum memetakan secara eksplisit besaran jasa terkait industri. Kami nanti akan melakukan survei khusus untuk mendata nilai tambah yang diberikan jasa terkait industri," ujar Ngakan.
Apabila jasa terkait industri dimasukkan ke sektor industri, sumbangan industri terhadap PDB dapat melebihi 20 persen. Bahkan, menurut Ngakan, ada perkiraan sumbangan industri plus jasa terkait industri mendekati 30 persen.
"Kami akan melihat ke depan seperti apa, termasuk dalam membina dan mempertemukan pembuat jasa dan pihak yang membutuhkan jasa. Jadi, nanti ekosistem itu akan bisa produktif," ujar Ngakan.
Ngakan meyakini basis ekonomi Indonesia ke depan akan tetap di industri. Apalagi kontribusi sektor lain masih di bawah industri. Kontributor terbesar PDB, yakni industri, harus didorong apabila ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Apalagi Indonesia memiliki banyak tenaga kerja. "Sekarang angkatan kerja kita 133 juta orang plus anak-anak muda yang setiap tahun masuk ke pasar itu harus diberi lapangan kerja. Industri yang mampu memberikannya," kata Ngakan.
Dia menuturkan saat ini jumlah tenaga kerja di industri sekitar 18 juta orang atau sekitar 14 persen dari seluruh angkatan kerja di Indonesia. Industri membutuhkan sekitar 600.000 tenaga kerja per tahun.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menuturkan, Indonesia memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia cukup besar.
"Jadi sangat sayang kalau kita terlalu melompat ke jasa. Kita belum mengalami tahapan industrialisasi yang matang," kata Faisal.
Menurut Faisal Indonesia tidak dapat menyamakan diri dengan negara-negara lain yang memiliki keterbatasan SDA dan berpenduduk tidak sebesar negeri ini.
Dia mengatakan, dalam konteks ekonomi, ada modal dasar pembangunan nasional. "Faktor-faktor produksi banyak di industri. Jadi, kalau kita meninggalkan industri dan hanya fokus pada jasa, khawatirnya malah jadi bumerang," ujar Faisal.