Hilirisasi berbagai komoditas domestik jadi keniscayaan bagi Indonesia jika ingin membangun perekonomian. Kunci suksesnya ada pada kemauan politik pemerintah dan konsistensi pelaksanaannya.
Oleh
FX LAKSANA AS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemauan politik pemerintah berikut konsistensi implementasi kebijakan jadi penentu sukses atau tidaknya hilirisasi berbagai komoditas dalam negeri. Tanpa itu, hilirisasi hanya akan jadi wacana klasik yang timbul-tenggelam sesuai situasi yang sedang hangat.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, hilirisasi berbagai komoditas domestik menjadi keniscayaan bagi Indonesia jika ingin membangun perekonomiannya menjadi maju dan menyejahterakan penduduknya. Kunci suksesnya terletak pada kemauan politik pemerintah berikut konsistensi implementasi kebijakannya.
”Hilirisasi adalah keniscayaan. Ini adalah kebijakan yang sebetulnya baru akan kita rasakan manfaatnya pada jangka menengah-panjang. Dalam jangka pendek, kita akan berdarah-darah dulu. Ada pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan. Oleh sebab itu, kuncinya adalah kemauan politik pemerintah dan konsistensi implementasinya,” kata Faisal di Jakarta, Senin (13/01/2020).
Hal ini disampaikan sebagai tanggapan atas pernyataan Presiden Joko Widodo pada pembukaan Rapat Koordinasi Nasional PDI-P di Jakarta, pekan lalu, tentang komitmen pemerintah untuk melakukan hilirisasi di sejumlah komoditas domestik. Dengan demikian, ekspor Indonesia yang selama ini masih banyak berupa bahan mentah bisa berubah ke barang setengah jadi dan barang jadi. Upaya ini ditujukan antara lain untuk mengurangi defisit transaksi berjalan.
Defisit transaksi berjalan pada triwulan III-2019, mengacu data Bank Indonesia, adalah 7,7 miliar dollar Amerika Serikat atau 2,7 persen terhadap produk domestik bruto. Meskipun membaik dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya, neraca transaksi berjalan Indonesia yang masih defisit masih terus menjadi persoalan struktural yang dihadapi Indonesia selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
Defisit transaksi berjalan berimplikasi terhadap berbagai aspek perekonomian nasional. Hal itu antara lain rentannya rupiah terhadap gejolak global, rapuhnya sektor keuangan domestik, dan berisikonya anggaran negara.
Faisal menyatakan, sejumlah pihak menikmati struktur ekspor dalam bentuk mentah. Oleh sebab itu, keinginan untuk mentransformasi ekspor dari barang mentah ke barang setengah jadi atau barang jadi akan menuai tentangan dari pihak-pihak yang diuntungkan dari ekspor bahan mentah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor utama nonmigas Indonesia di 2018 adalah minyak kelapa sawit, batubara, bijih tembaga, lignit, kopi, dan tanaman obat dan rempah-rempah. Hilirisasi akan menciptakan nilai tambah sehingga agregat nilai ekpsor juga akan meningkat.
”Pro dan kontra pasti ada. Pasti akan ada lobi-lobi yang akan dilakukan, terutama oleh pihah yang dirugikan dengan kebijakan hilirisasi,” kata Faisal.
Oleh sebab itu, jika memang benar-benar menyadari pentingnya hilirisasi, Faisal melanjutkan, pemerintah harus tegas dan konsisten. Ini tidak saja untuk memastikan tercapainya target hilirisasi, tetapi juga menjamin kepastian bagi dunia usaha. Sebab, kepastian menjadi hal mendasar yang dibutuhkan investor.
Konsistensi tersebut, menurut Faisal, juga akan dibaca oleh dunia usaha sebagai preseden. Jika pemerintah tidak konsisten dengan kebijakan hilirisasi di bidang pertambangan, kebijakan hilirisasi di bidang lainnya pun akan diragukan juga. Demikian pula sebaliknya.
Peta jalan
Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, menyatakan, pemerintah telah memiliki peta jalan hilirisasi sejumlah komoditas. Untuk itu, pemerintah akan mengimplementasikannya. ”Sudah ada peta jalannya. Sudah dibuat dan disampaikan oleh Menko Maritim,” kata Fadjroel.
Presiden, dalam acara di PDIP pekan lalu, menyatakan akan mengurangi ekspor barang mentah, antara lain nikel. Selama ini, Indonesia mengekspor nikel mentah berjuta-juta ton. Ke depan, Indonesia ingin membangun industri baterai lithium untuk baterai mobil listrik yang bahan bakunya adalah nikel tersebut. Untuk itu, per Januari tahun ini, pemerintah menghentikan eskpor nikel. Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia.
”Komoditas yang lain juga banyak. Satu per satu akan kita stop. Mungkin tahun depan, bauksit. Tahun depannya, timah. Tahun depannya, batubara, kopra, stop. Ingat kopra, minyak kelapa bisa dijadikan avtur. Ini sudah hampir ketemu. Kalau ini ketemu, semua pesawat bisa kita ganti dengan kelapa yang dihasilkan rakyat,” kata Presiden.
Pada saat yang sama, menurut Presiden, Indonesia juga akan terus mengurangi impor. Salah satu kebijakannya adalah dengan optimalisasi konsumsi minyak sawit mentah dometik untuk kebutuhan dalam negeri melalui program wajib mencampur solar dengan biodiesel. Dengan demikian, impor migas yang tinggi bisa turun.
Tahun lalu, porsi biodisel adalah 20 persen. Tahun ini, porsinya naik menjadi 30 persen. Dampaknya adalah Indonesia menghemat devisa Rp 110 triliun. Porsi biodiesel tersebut akan terus ditingkatkan. Pada level 50 persen, Presiden memperkirakan negara akan menghemat devisa lebih dari Rp 200 triliun.