Minimum Pemesanan SBN Ritel Akan di Bawah Rp 1 Juta
Kebijakan penurunan minimum pemesanan SBN ritel tetap harus berhati-hati. Potensi perebutan dana antara pemerintah, perbankan, dan korporasi, dengan adanya SBN ritel ini, sulit dihindari.
Oleh
karina isna irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan berencana menurunkan batas minimum pemesanan surat berharga negara ritel menjadi di bawah Rp 1 juta per unit. Penurunan batas minimum pemesanan ini untuk menarik lebih banyak minat investor ritel, terutama dari kalangan muda atau milenial.
Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman mengatakan, wacana penurunan batas minimum pemesanan Surat Berharga Negara (SBN) ritel masih dalam kajian. Sejauh ini belum disepakati besaran minimum yang akan berlaku, tetapi pasti di bawah Rp 1 juta per unit.
”Kebijakan itu (penurunan minimum pemesanan SBN ritel) belum akan diberlakukan tahun ini,” kata Luky yang dihubungi, Senin (27/1/2020).
Saat ini, Kemenkeu menetapkan minimum pemesanan SBN ritel sebesar Rp 1 juta, sementara maksimum pemesanan Rp 3 miliar. Ketentuan itu berlaku sejak pertengahan 2018 saat penerbitan Savings Bond Ritel (SBR) seri SBR003. Sebelumnya, batas pemesanan minimum Rp 10 juta dan maksimum Rp 5 miliar.
Kini, wacana penurunan batas minimum pemesanan SBN ritel kembali mengemuka. Kemenkeu tengah mengkaji penurunan minimum pemesanan SBN ritel dari saat ini Rp 1 juta menjadi kisaran Rp 100.000 per unit-Rp 500.000 per unit. Tujuannya untuk menjangkau lebih banyak investor ritel kelompok muda.
Kemenkeu tengah mengkaji penurunan minimum pemesanan SBN ritel dari saat ini Rp 1 juta menjadi kisaran Rp 100.000 per unit-Rp 500.000 per unit. Tujuannya untuk menjangkau lebih banyak investor ritel kelompok muda.
Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), Ifan Mohamad Ihsan, berpendapat, penurunan minimum pemesanan SBN ritel akan direspons positif oleh pasar. Semakin kecil batas pemesanan minimum, jumlah investor yang dapat dijangkau akan meningkat. Terlebih, tren pemesanan SBN ritel kini didominasi kelompok milenial.
”Kalau nantinya terealisasi, potensi tambahan investor dari kalangan mahasiswa mungkin akan bisa bertambah. Hal ini berkaca dari program Yuk Nabung Saham yang sukses menjangkau kalangan itu dengan minimum investasi yang kecil,” kata Ifan.
Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kemenkeu mencatat, jumlah investor milenial meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2017, porsi milenial hanya berkisar 20 persen-23 persen dari total jumlah investor SBN ritel. Pada 2018, porsinya melonjak menjadi 42,22 persen dan meningkat lagi pada 2019 menjadi 51,24 persen.
Pada 2020, Kemenkeu akan menerbitkan SBN ritel sebanyak enam kali, terdiri dari SBR, sukuk tabungan (ST), sukuk ritel (Sukri), dan Obligasi Ritel Indonesia (ORI). Target volume dari enam kali penerbitan SBN ritel itu berkisar Rp 40 triliun-Rp 80 triliun. Sebelumnya, tahun 2019, penerbitan SBN ritel dilakukan sebanyak 10 kali.
Penerbitan SBN ritel menjadi salah satu strategi pembiayaan defisit APBN 2020 ditargetkan sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Adapun total kebutuhan pembiayaan pada 2020 sebesar Rp 741,84 triliun yang akan dipenuhi dari utang luar negeri Rp 163,55 triliun (22,05 persen) dan utang domestik Rp 578,29 triliun (77,95 persen).
Berhati-hati
Menurut Ifan, kebijakan penurunan minimum pemesanan SBN ritel tetap harus berhati-hati. Potensi perebutan dana antara pemerintah, perbankan, dan korporasi, dengan adanya SBN ritel ini, sulit dihindari. Penarikan dana dari masyarakat jangan sampai menimbulkan efek persaingan dengan institusi lain.
Kebijakan penurunan minimum pemesanan SBN ritel tetap harus berhati-hati. Potensi perebutan dana antara pemerintah, perbankan, dan korporasi, dengan adanya SBN ritel ini, sulit dihindari.
Langkah pemerintah menurunkan selisih imbal hasil (spread) SBN ritel secara bertahap cukup tepat untuk memperkecil potensi perebutan dana. Spread SBN ritel menurun dari semula 2,55 persen menjadi saat ini 1,65 persen. Penetapan spread SBN ritel yang tinggi untuk menarik minat awal investor.
”Saat itu, instrumen SBN ritel relatif baru. Namun, perlahan dengan sosialisai dan edukasi yang terus-menerus dilaksanakan oleh pemerintah, spread sudah mulai dapat ditekan,” ujarnya.
Ifan menambahkan, penurunan spread SBN ritel juga dibarengi dengan tingkat kupon atau imbal hasil yang semakin kompetitif. Dengan demikian, investor diharapkan dapat memilih instrumen investasi yang paling sesuai dengan profil dan kebutuhan. Daya tarik SBN ritel bisa dipertahankan dengan penurunan minimum pesanan.
Jumat pekan lalu, lembaga pemeringkat keuangan Fitch Rating mempertahankan peringkat surat utang Indonesia pada level BBB per Januari 2020 dengan proyeksi stabil. Fitch menilai prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah relatif stabil, dengan beban utang yang rendah dibandingkan dengan negara berkembang lain.
Menurut Fitch, porsi utang pemerintah tahun 2020 diperkirakan meningkat pada kisaran 30,1 persen produk domestik bruto. Peningkatan utang bukan masalah apabila Indonesia konsisten melakukan reformasi struktural. Salah satunya dengan menyusun omnibus law di bidang investasi dan perpajakan.
Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja dan RUU Perpajakan diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan menarik investasi asing langsung dalam jangka menengah. Kedua RUU itu dipastikan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020.
Di sisi eksternal, Fitch memproyeksikan kondisi pasar keuangan Indonesia cukup stabil. Defisit neraca transaksi berjalan diperkirakan pada level 2,7 persen PDB pada 2019 dan 2020. Seiring berjalannya reformasi struktural, defisit transaksi berjalan akan menyempit menjadi 2,6 persen pada 2021.