Penjualan di Domestik Turun, Potensi Ekspor Kendaraan Terbuka
Perubahan pola konsumsi, perlambatan ekonomi global, dan suku bunga kredit memengaruhi kinerja penjualan kendaraan di pasar domestik tahun 2019. Namun, peluang menggenjot ekspor kendaraan dianggap cukup terbuka.
Oleh
C Anto Saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah faktor dinilai mempengaruhi kinerja penjualan mobil di pasar dalam negeri. Di sisi lain, potensi ekspor pun dinilai terbuka, tetapi butuh langkah konkrit untuk mengoptimalkannya.
Sebagai gambaran, data dari PT Astra International Tbk yang bersumber Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutkan, penjualan mobil baru di pasar domestik tahun 2019 mencapai 1.026.921 unit. Angka ini turun dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 1.151.413 unit.
Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, faktor yang mempengaruhi kinerja penjualan mobil di pasar domestik antara lain perubahan pola konsumsi. Perubahan itu khususnya di kelas menengah dan atas yang lebih berhemat dan mengalihkan dana ke aset yang dianggap lebih aman seperti emas, deposito, dan sebagainya.
"(Perubahan pola konsumsi) Ini karena ada perlambatan ekonomi secara global, jadi, agak ikat pinggang dalam pembelian mobil baru," kata Bhima ketika dimintai pandangan lewat pesan tertulis di Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Penurunan suku bunga kredit kendaraan bermotor pun cenderung melambat, tidak secepat penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI 7-day Reverse Repo Rate, sehingga tidak direspon baik oleh calon debitur.
Hal lain yang berpengaruh dalam penjualan mobil adalah permasalahan kehati-hatian di sisi pembiayaan (leasing). "Beberapa tahun terakhir kredit macet perusahaan leasing naik, sehingga untuk menekan kredit bermasalah, mereka lebih selektif dalam memilih debitur," kata Bhima.
Setelah ada LCGC (low cost green car) atau kendaran hemat energi harga terjangkau, model kendaraan bermotor dianggap belum cepat beradaptasi dengan perubahan selera masyarakat. Dengan demikian ada kesan modelnya biasa-biasa saja alias kurang inovatif.
Menurut Bhima, kemunculan transportasi dalam jaringan (online) di kota-kota besar menjadikan generasi milenial malas membeli mobil baru. Hal ini antara lain berkaitan dengan aspek kenaikan biaya parkir, garasi, perawatan, dan lainnya.
Potensi ekspor
Sebelumnya, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika mengatakan, Indonesia masih memiliki pasar besar bagi pengembangan industri otomotif. "Rasio kepemilikan mobil di Indonesia masih 87 unit per 1.000 penduduk," kata Putu.
Sebagai perbandingan, kepemilikan mobil per 1.000 penduduk di Brunei Darussalam sebanyak 711 unit, Malaysia (439), Thailand (228), dan Singapura (147).
Terkait pasar ekspor, Bhima mengatakan, sebenarnya pasar mobil masih cukup lebar. Hal yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan penggarapan pasar ekspor antara lain kenaikan kualitas mobil.
Kenaikan kualitas mobil tersebut baik dari sisi penyesuaian Euro maupun mutu material dan pelayanan purna jual. "Seiring kepedulian masyarakat di belahan dunia soal isu lingkungan hidup, mobil yang hemat emisi/listrik akan lebih dicari konsumen," ujar Bhima.
Mobil yang hemat emisi atau mobil listrik akan lebih dicari konsumen.
Menurut Bhima, langkah yang dibutuhkan untuk meningkatkan ekspor adalah dengan mengoptimalkan peran duta besar atau atase perdagangan sebagai promoter produk otomotif Indonesia di negara penempatan. Selain itu, produsen Indonesia perlu dilibatkan dalam rantai nilai global sektor otomotif di negara maju. Dengan demikian secara otomatis standar onderdil atau bahan baku akan naik kelas.
"Dalam laporan Bank Dunia lalu, terbukti Indonesia kurang aktif dalam GVC; khususnya produksi mobil listrik," kata Bhima.
Upaya lain mengoptimalkan ekspor mobil adalah pembentukan insentif fiskal khusus untuk kendaraan berorientasi ekspor. "Mungkin perlu ada tambahan insentif dari yang sudah ada sebelumnya," katanya.
Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, ekspor mobil utuh (CBU/completely built-up unit) tahun 2018 mencapai 264.553 unit, kendaraan dalam bentuk terurai (CKD/completely knock down) 82.028 set, dan komponen 86,63 juta buah. Ekspor CBU periode Januari-Oktober 2019 sebesar 275.000 unit, CKD 37.000 set, dan komponen 68,1 juta buah.
Pangsa pasar otomotif Indonesia menyasar ke 80 negara lebih. Lima negara tujuan utama ekspor yakni Filipina, Arab Saudi, Jepang, Meksiko, dan Vietnam.
Pada tahun 2019, ekspor kendaraan CBU ditargetkan mencapai 400.000 unit. Angka ini diharapkan terus meningkat setiap tahun sehingga industri otomotif nasional dapat mengekspor CBU 1 juta unit di tahun 2025 mendatang.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, pada temu media terkait Kinerja Tahun 2019 dan Outlook Pembangunan Industri Tahun 2020 mengatakan, industri pengolahan -termasuk industri pengolahan nonmigas - berkontribusi penting terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional.
Data Badan Pusat Statistik yang diolah Kementerian Perindustrian menyebutkan, industri pengolahan nonmigas menyumbang 17,56 persen terhadap PDB nasional triwulan III-2019. Industri alat angkutan termasuk lima besar kontributor industri pengolahan nonmigas; yakni menyumbang 1,68 persen.
Sementara itu data Badan Koordinasi Penanaman Modal yang diolah Kemenperin (kurs 2019; 1 dollar AS per Rp 15.000), menunjukkan nilai investasi kumulatif sektor industri tahun 2019 (hingga September) sebesar Rp 1.216,2 triliun. Penambahan nilai investasi sektor industri sepanjang Januari-September 2019 sebesar Rp 147,3 triliun.
Nilai investasi industri kendaraan bermotor dan alat transportasi lain termasuk lima besar nilai investasi sektor industri Januari-September 2019; yakni Rp 8,39 triliun.
Industri otomotif pun berkaitan dengan berbagai industri lain, termasuk industri ban. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia Aziz Pane beberapa waktu lalu mengatakan, produksi ban saat ini sekitar 50 juta ban dan 70 persennya diekspor.